Gangguan Shopaholic – Kamu pasti pernah mendengar celetukan atau istilah yang sering dilontarkan kepada mereka yang menggemari belanja setiap saat khususnya saat menemukan diskon yakni shopaholic. Bukan hanya membeli barang yang dibutuhkan saja, namun para shopaholic juga sering membeli barang semata-mata karena diskon atau lucu!
Apakah mereka memiliki banyak uang sehingga seringkali berbelanja tanpa mengenal waktu?
Rupanya, kondisi ini dapat dijelaskan secara psikologis, loh! Dan tentunya tidak berkaitan dengan uang sama sekali.
Mengenal Istilah Shopaholic di Zaman Sekarang
Dari perspektif psikologi, shopaholic merujuk pada adiksi untuk membeli dan berbelanja tanpa henti yang dikenal dengan sebutan oniomania. Sebuah kondisi psikologis dimana seseorang jadi kecanduan belanja hingga merusak secara sosial dan finansial. Hal ini bisa menyebabkan penderitanya menumpuk barang di rumah meskipun tidak digunakan hingga berhutang untuk memuaskan kebutuhan pembelian loh!.
Kelihatannya aja hal sepele, padahal belanja kompulsif yang nggak disadari ini ternyata merupakan ganguan kesehatan mental loh!
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang bisa membantu untuk mengenali tanda-tanda shopaholic atau oniomania dari Olivia Mellan dan Sherry Christie, penyintas oniomania:
- Apakah kamu membeli barang yang kamu inginkan meskipun kamu tidak mampu membelinya?
- Apakah kamu membeli barang untuk membahagiakan dirimu atau memberikan dirimu reward?
- Ketika kamu tidak jadi membeli barang yang kamu inginkan, apakah kamu merasa merana, marah, atau agresif?
Apa jawabanmu? Yuk, jawab jujur!.
Compulsive Buying yang Tidak Dapat Dihentikan
Oniomania sendiri merupakan masalah kontrol impulsif yang tidak dapat dihentikan dan kini menjadi isu yang beredar di masyarakat. Kondisi ini juga dapat disebut sebagai compulsive buying dan gaya hedonis.
Kontrol impulsif ini juga serupa dengan adiksi seperti alkoholisme, gangguan makan, dan juga penyalahgunaan zat.
Seseorang dapat dikatakan mengalami oniomania jika dia berusaha untuk membeli barang untuk meredakan kecemasan atau pun stres yang dialaminya. Bagi para shopaholic, tidak ada yang lebih menarik daripada berbelanja dibandingkan berusaha mengatasi stres dengan pergi ke psikolog atau pun penanganan profesional lainnya.
Menariknya, compulsive buying atau pun pembelian terus-menerus ini juga diikuti dengan perasaan bersalah, loh! Inilah mengapa mereka seringkali merasa tidak nyaman dan berusaha ingin membuang barang-barang tersebut karena merasa tidak membutuhkannya lagi.
Yang dicari oleh para oniomania adalah kesenangan saat membeli dan berbelanja, tidak berkaitan sama sekali dengan barang yang dibeli.
Setelah kesenangan muncul, muncul kecemasan dan kemarahan mengapa dia membeli barang ini. Namun mereka akan kembali mengulangi perilaku berbelanja tersebut karena dengan cara itulah mereka bisa meredakan kecemasannya.
Aspek yang Mendasari Compulsive Buying
Gangguan shopaholic juga semakin berkembang seiring meningkatnya ekonomi pada masyarakat. Penelitian oleh Ary Yuniarti menunjukkan bahwa kemudahan berbelanja seperti credit card atau pun pembayaran digital bisa meningkatkan risiko ini.
Apalagi dengan banyaknya promo seperti Hari Belanja Nasional menyebabkan seseorang menjadi impulsif.
Bukan hanya remaja yang mengalami compulsive buying, tetapi kalangan dewasa hingga Indonesia.
Apalagi dengan adanya prinsip bahwa kemewahan sebuah barang akan memberikan status diri dan juga citra di lingkungan sekitarnya.
Selain itu, para oniomania seringkali mengalami perasaan depresif, marah, kesepian, dan juga kurangnya kepercayaan diri. Seorang wanita yang merasa tidak percaya diri dengan tampilannya akan terus menerus berbelanja pakaian yang trendi, namun belum tentu mereka akan mendapatkan kepuasan itu lagi.
Gejala Shopaholic Secara Emosional
Karena oniomania merupakan gangguan psikologis dan berbelanja hanyalah reaksi dari emosi yang dirasakan, maka penting untuk mengkaji perilaku ini dari segi emosionalnya.
Berikut adalah beberapa gejala emosional yang bisa diamati dari seorang compulsive buyer:
- Menghabiskan uang lebih daripada yang mereka bisa lakukan
- Berbelanja sebagai reaksi dari marah atau depresif, berusaha menghindari perasaan tidak nyaman
- Berbelanja untuk mengkompensasi perasaan bersalah di belanja sebelumnya
- Melukai hubungan karena berbelanja terlalu banyak
- Merasa tidak bisa menghentikan perilaku berbelanja
Mengatasi Gangguan Shopaholic
Seperti gangguan adiksi lainnya, para shopaholic harus segera mencari bantuan profesional seperti psikolog untuk menentukan langkah yang harus diambil.
Sangat sulit untuk menghentikan perilaku ini secara mandiri karena adiksi umumnya akan menghambat cara berpikir logis seseorang.
Intervensi psikologis akan sangat berguna untuk bisa menentukan alasan seseorang melakukan perilaku compulsive buying sehingga bisa segera menghentikan perilaku tersebut.
Selain itu, shopaholic juga akan belajar perilaku lain yang dapat digunakan untuk menuntaskan permasalahan kecemasan dan juga emosi yang melandasi perilaku tersebut. Dengan demikian, tidak akan ada risiko krisis finansial maupun menumpuk barang di rumah.
***
Sumber:
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-intelligent-divorce/201407/the-shopaholic
- http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_889551019352.pdf
- https://www.psychguides.com/behavioral-disorders/shopping-addiction/