Merasa paling berkorban atas keputusan yang dipilih hingga lupa apresiasi diri sendiri, aku berujung pada akhir yang memaksa diri untuk menerima kegagalan.
Pada dasarnya, ini tentang aku, seorang mahasiswa yang menghadapi permasalahan-permasalahan semasa kuliah. Tentang keluar dari zona nyaman tanpa takut.
Memang hanya tentang gagalnya mahasiswa tahun ketiga. Tapi, siapa sangka, di tengah perjalananku berproses di kampus, banyak kejutan yang aku terima dalam jangka waktu hanya setahun.
Satu tahun yang memberiku pelajaran sangat bernilai. Pelajaran yang membentuk diriku yang sekarang. Ini cerita investasi waktu satu tahunku untuk memimpin organisasi pemuda di kampus, tahun 2018 lalu.
Tentang mimpi yang harus kita capai bersama
Semuanya berkumpul untuk pertama kalinya. Walaupun memiliki ketakutan untuk memulai periode kepengurusan, pada waktu yang bersamaan pula, kita semua punya ambisi untuk meraih mimpi bersama.
Aku selalu senang ketika berbicara didepan teman-teman. Menunjukkan seberapa bahagia dan semangatnya aku menahkodai kapal bersama-sama hingga ke ujung perjalanan.
Beberapa bulan pertama, semuanya masih baik-baik saja, bahkan semakin baik. Semangat masih membara, apresiasi ada dimana-mana, inovasi mengalir tiada henti.
Tidak akan sebaik ini tanpa bantuan semua orang didalamnya. Mereka adalah kekuatanku untuk selalu melayani sebagai pemimpin.
Niat untuk memperbaiki semuanya justru membuatku lupa untuk menjadi manusia
Di tengah kepengurusan, performa mulai menurun. Permasalahan-permasalahan mengantarkan kita ke situasi yang makin genting. Keadaan memburuk.
Aku tidak bisa tinggal diam. Aku mencoba berbicara dengan teman-teman pengurus dan dengan berat hati harus merelakan satu di antaranya.
Menuai kontra? Jelas. Tapi, memang inilah risiko pemimpin. Dibenci atas keputusan yang diambil ketika orang-orang tidak peduli proses di balik keputusan itu.
Orang berkata, “ini yang dinamakan The Pain of Leadership!”
Waktu terus berjalan dan kondisi tidak kunjung membaik hingga aku mulai menyalahkan diri sendiri. Tapi, aku harus tetap semangat karena semua akan tertuju pada pemimpinnya.
Mencoba baik-baik saja ketika kondisi justru sebaliknya jelas melelahkan. Aku pun lupa untuk menjadi manusia.
Seharusnya aku punya emotional intelligence yang lebih baik dari ini.
Menerima kegagalan dengan cara yang ternyata sederhana: Bersyukur
Di penghujung periode kepengurusan, kesimpulan dari semua hal yang telah dilakukan bersama selama satu tahun adalah tentang kegagalan meraih tujuan utama.
Menyalahkan diri sendiri, marah, atau menghindar justru melelahkan.
Semesta sengaja memberikan pengalaman ini agar aku tahu, bermimpi itu tidak bisa main-main.
Tapi, diriku di masa depan akan bersyukur melihatku apa yang aku lakukan saat ini. Atas keberanian untuk memimpin dan tetap setia melayani dengan sepenuh hati. Atas keikhlasan.
Menerima kegagalan itu tentang bagaimana kita merayakannya dengan mensyukuri setiap langkah yang telah dilalui.
Cobalah lebih menghargai diri sendiri, karena sangat membawa kebahagiaan.
Pada awalnya, rela menerima kegagalan jelas bukan perkara mudah. Tapi akhirnya, aku bisa menolak penderitaan akibat kegagalan. Aku tidak mau menderita terlalu lama.
Ada maksud di balik setiap hal dan aku telah belajar untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Aku siap untuk menerima tantangan lebih besar lainnya di masa depan.
Aku juga siap menerima kepastian diri di setiap keputusan yang aku buat.
Disadur dari:
Ditulis oleh Maulfa Putri, yang merayakan kegagalannya dengan berbagi kisah di sini.
—
Riliv membuka kesempatan bagi pembaca untuk berbagi cerita seputar pengalaman kesehatan mental. Kirimkan tulisanmu dalam file Word ke story@riliv.co
Discussion about this post