Suatu sore, seorang anak pulang dari sekolah dengan wajah murung. Ia melangkah masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara tangisan tertahan dari kamar tersebut. Kedua orang tuanya bingung dan berinisiatif menyusul ke kamar untuk bertanya kepada sang anak. Sang anak hanya menjawab, “Aku berteman dengan seseorang yang sangat toxic. Dia itu toxic friend, tapi aku nggak bisa lepas dari pengaruhnya,” lalu kembali menangis.
Toxic friend? Kedua orang tuanya merasa asing akan istilah tersebut. Ketika mereka mencari di internet tentang arti toxic friend, keduanya terkejut. Apa yang terjadi? Apakah anak kita baru saja mengalami perundungan di sekolah? Apakah dia dimusuhi teman-temannya?
Seiring berjalannya waktu, seorang anak akan tumbuh dan berkembang menjadi lebih dewasa. Kedekatan antara anak dengan orang tua pun mulai menurun.
Anak akan mulai belajar mandiri, bergaul dengan banyak orang, hingga memiliki “dunia” sendiri. Salah satu kekhawatiran terbesar orang tua akan kondisi ini adalah tentang pergaulan anak.
Kekhawatiran tersebut muncul tentunya bukan tanpa alasan, Dear. Apalagi saat ini, lingkup pergaulan jadi semakin luas dengan adanya media sosial dan kemudahan berkomunikasi. Orang tua juga jadi tidak bisa terus-menerus memantau pergaulan anak.
Lalu, kalau tiba-tiba orangtua mendapati seseorang mengirimkan pesan berisi hujatan kepada anak melalui media sosial, apa yang harus dilakukan? Bagaimana sebaiknya orang tua bersikap?
Untuk memahami lebih lanjut tentang peran orang tua ketika anak terjebak pergaulan dengan seorang toxic friend, yuk simak beberapa tips berikut ini!
1. Mendengarkan dengan sepenuh hati
Ketika seorang anak sedang berada dalam suasana hati yang tidak menyenangkan karena baru saja mengalami kejadian buruk dengan teman yang toxic, biasanya ia hanya mengeluarkan satu atau dua pernyataan singkat.
Contohnya seperti, “Memang aku nggak layak buat dapat perhatian, ya,” atau “Wajar, sih, mereka ngelakuin itu, soalnya aku nggak populer.”
Saat kalimat-kalimat tersebut terlontar dari mulut anak, penting bagi orang tua untuk belajar mendengarkan dengan sepenuh hati dan saksama. Tidak perlu terburu-buru untuk memberikan masukan atau menyela dengan ucapan yang bisa membuat anak semakin sakit hati.
Orang tua perlu menunjukkan sikap empati kepada anak. Bisa dilakukan dengan berkata, “Ibu paham rasanya pasti sedih banget. Dulu waktu seusia kamu, Ibu juga mengalami hal seperti itu,” atau “Waktu SMA, Ayah pernah diperlakukan seperti itu juga, jadi Ayah paham perasaanmu saat ini. Nggak apa-apa.”
Berempati terhadap kondisi anak akan membuat ia merasa didengarkan dan dimengerti, sehingga dia akan mulai terbuka serta mau bercerita lebih lanjut.
2. Bertanya dengan pertanyaan terbuka, bisa memancing anak untuk bercerita
Setelah menunjukkan empati terhadap keadaan anak, orang tua bisa mulai meminta anak untuk bercerita dengan menanyakan pertanyaan, seperti, “Apa yang membuat kamu sangat sedih seperti ini?”
Nah, ketika anak sudah mulai terbuka dan mau bercerita, orang tua perlu kembali memunculkan sikap empati tersebut.
Kali ini bisa dilakukan dengan menyatakan bahwa kesedihan yang dirasakan sang anak memang sebuah hal yang wajar dan ia berhak untuk meluapkan kesedihannya.
3. Cobalah untuk menerangkan dan membantu menguraikan perbuatan yang dilakukan oleh toxic friend kepada anak
Bantu anak untuk menguraikan permasalahan (Photo by August de Richelieu from Pexels)
Jika anak masih terus menyalahkan diri sendiri atas masalah yang terjadi, orang tua bisa membantu untuk menguraikan masalah tersebut. Contohnya dengan menanyakan, “Memangnya kamu pernah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan temanmu?”
Membantu anak untuk menguraikan permasalahan akan membuat ia sadar bahwa permasalahan akibat teman yang toxic tersebut bukan salahnya. Orang tua perlu meyakinkan anak bahwa kondisi tersebut tentu tidak diinginkan dan memang tidak seharusnya terjadi.
Semoga tindakan ini bisa berguna untuk menenangkan anak, ya!
4. Jangan terburu-buru melaporkan perbuatan toxic friend. Bangun kepercayaan anak terlebih dahulu
Salah satu alasan yang sering kali membuat anak enggan bercerita adalah karena takut. Mungkin saja ia diancam oleh temannya jika berani mengadu. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk turut memahami posisi anak.
Orang tua perlu mencoba untuk bertanya tentang pendapat anak apabila mereka mendiskusikan persoalan tersebut dengan pihak sekolah, orang tua yang bersangkutan, dan pihak-pihak lain yang terkait.
Jika anak menolak padahal masalah tersebut cukup besar, cobalah untuk memberikan penjelasan kepada anak. Kalau anak masih tetap memilih untuk tidak melapor, hargailah keputusan mereka terlebih dahulu.
Orang tua perlu berjanji untuk tidak akan melapor tanpa persetujuan anak. Di lain waktu ketika suasana hati anak sudah membaik, orang tua bisa mulai membahas kembali tentang kesepakatan tersebut.
5. Kesabaran sangat dibutuhkan dalam menanggapi permasalahan toxic friend ini
Jangan ragu untuk berikan pelukan kepada anak (Photo by Gustavo Fring from Pexels)
Ada kalanya, masalah yang terjadi memang cukup serius dan membuat anak merasa terpukul. Dalam kondisi seperti ini, anak akan tetap memilih bungkam. Tidak mau bercerita. Apalagi kalau masalah tersebut baru saja dia alami.
Di sinilah peran dan kesabaran orang tua sangat diperlukan. Tidak perlu memaksa anak untuk segera bercerita. Pahami dulu kondisi anak yang sedang terpukul. Jika sang anak tidak mau buka suara, orang tua bisa memberi pelukan untuk mengembalikan ketenangan anak.
Orangtua juga bisa berkata, “Kalau belum mau cerita sekarang, nggak apa-apa, kok! Kapanpun kamu siap untuk cerita, kami juga akan siap mendengarkan,”
6. Bantu anak untuk menjaga jarak dari teman yang toxic
Dalam mengatasi permasalahan akibat toxic friend, peran orang tua pun dibutuhkan dalam membantu anak menjaga jarak dari teman yang toxic tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengenalkan anak kepada lingkaran pertemanan di luar lingkungan toxic.
Dengan memperkenalkan anak kepada lingkaran pertemanan yang sehat, anak akan terlatih untuk membedakan serta memilah teman.
7. Jika dibutuhkan, jangan ragu untuk datang ke profesional
Tidak semua permasalahan bisa dikendalikan sendiri hanya dengan bantuan orang tua.
Apabila permasalahan yang terjadi sudah cukup parah hingga membuat anak trauma, mogok sekolah, atau bahkan jadi pemurung dan pendiam, tidak ada salahnya untuk mengonsultasikan keadaan anak kepada profesional, seperti psikolog.
Psikolog tentu akan dapat membantu untuk memulihkan kondisi anak dan membuat anak merasa lebih baik. Psikolog juga bisa turut menguraikan inti permasalahan yang terjadi. Orang tua pun dapat belajar untuk mengenal anak lebih dalam.
Orang tua tidak perlu ragu untuk berkonsultasi ke psikolog. Apalagi saat ini sudah tersedia layanan konseling secara daring melalui aplikasi Riliv. Sebagai langkah awal, mencoba konseling daring dengan psikolog tentu bagus untuk dilakukan.
Barulah jika nanti psikolog yang bersangkutan menyarankan untuk berkonsultasi secara langsung dan melakukan beberapa terapi psikologis, orang tua bisa datang berkonsultasi tatap muka.
…
Itulah tujuh tips untuk memudahkan orang tua dalam membantu anak mengatasi masa-masa sulit yang diakibatkan oleh teman yang toxic.
Menjadi orang tua memang membutuhkan keterampilan lebih, apalagi di tengah zaman yang semakin canggih ini. Orang tua perlu lebih mengasah kemampuan, kepekaan, dan mengembangkan cara-cara yang lebih “canggih” pula agar bisa tetap menjaga anak dengan baik.
Referensi:
- Leonard, E. (January 12, 2020). Six Ways to Help Children Who Has a Toxic Friend. Psychology Today. Disadur dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/peaceful-parenting/202001/six-ways-help-child-who-has-toxic-friend