Pernikahan – Berbagai kisah tentang pernikahan memang tiada habisnya. Ada yang bahagia, namun ada juga yang menderita. Inilah kisah yang akan diceritakan oleh salah satu kontributor Riliv #YourStory kepada kita mengenai pernikahannya.
Menikah dan membina pernikahan selalu menjadi hal yang didambakan oleh setiap orang di dunia, terutama bagi perempuan.
Dimiliki dan dicintai oleh seorang laki-laki adalah tujuan hidup yang konkret dan dianggap sebagai ultimate happiness yang melengkapi kehidupan.
Namun, selama ini saya berpikir, apakah laki-laki yang baik itu ada di kehidupan nyata?
Saya tumbuh dengan doktrin bahwa menikah akan merenggut kebahagiaan saya
Selama ini, saya didoktrin oleh ibu bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
“Menikah itu repot. Ngurus suami, ngurus anak, masak, cuci-cuci, nyeterika, nyapu-ngepel buat orang lain dan nggak ada temennya lagi,” keluhnya.
It leaves a double-standard to me, when she in fact is married to a very loyal man and living in prosper. Bukannya kehidupan orangtua saya hancur berantakan, malah mereka bahagia-bahagia saja.
Intinya, menikah itu berarti kamu menyerahkan seluruh kehidupan pribadi dan tidak akan punya teman lagi. Kebebasan yang dijunjung tinggi itu pun akan direnggut oleh peristiwa hidup yang dinamakan berkeluarga.
Dasar pemikiran itulah yang tertanam setelah tumbuh dengan prasangka kehidupan pernikahan dari ibu saya.
Pernyataan itu pun dibenarkan oleh apa yang terjadi pada kakak saya
Seiring berjalannya waktu, saya melihat kakak pertama saya (perempuan) menikah. Terpaut dua belas tahun, saya melihatnya menikah di umur delapan tahun.
Kakak saya memutuskan untuk menikah muda, dengan laki-laki pilihannya yang berumur tiga tahun lebih tua darinya.
Ibu tidak merestui karena umur keduanya masih sangat muda dan kurang mapan secara finansial. Namun, kakak membicarakan cinta dan bersikukuh untuk tetap menikah.
Keduanya pun dikaruniai tiga orang anak laki-laki yang sangat lucu.
Sayangnya, tidak sampai sepuluh tahun, pernikahan mereka harus berakhir.
Ketika saya sudah yakin bahwa menikah itu tidak menyenangkan, keadaan berkata lain
Didukung oleh peristiwa itu, saya makin percaya dengan pernyataan ibu bahwa menikah bukan hal menyenangkan. Dampaknya adalah saya semakin tidak ingin menikah.
Di puncak ketidakinginan tersebut, malah sekarang didesak untuk mulai cari pacar.
Lalu, bagaimana bisa? Prasangka yang sudah ditanamkan, sekarang sudah dituai dan tidak bisa dicabut. Sulit untuk meyakinkan diri sendiri untuk menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang diinginkan.
Apakah aku harus menjadi cantik dan menarik?
Selain kakak pertama, kakak kedua saya (laki-laki) juga menjadi salah satu sosok yang berpengaruh.
Sejak saya kecil, ia selalu bilang bahwa saya kurang cantik karena fisik yang kurang menarik. Dia juga selalu berganti pacar dan membawa pacarnya ke rumah.
Setiap kali, dia juga secara tidak langsung mengatakan pada saya kalau, “begini loh jadi perempuan, supaya ada yang mau dan dikenalin sama keluarganya.”
Di lain sisi, saya merasa fisik yang enak dilihat bisa menjerumuskan diri sendiri.
Kakak kedua saya sangat temperamental, hingga bisa melayangkan tangannya ke wajah perempuan.
—
Memang masih banyak cerita dan pengalaman hidup orang lain yang lebih pahit dari apa yang saya lihat. Tapi sesekali menunjukkan sisi manusiawi, boleh juga ‘kan?
Penutup dan Pesan Riliv
Pernikahan, seperti yang dideskripsikan oleh kontributor di atas, adalah momok baginya. Namun, sebetulnya tidak semua pernikahan itu menakutkan.
Seperti yang sudah diceritakan tadi, teman kita di atas trauma dengan pernikahan disebabkan oleh hal-hal yang terjadi pada kakaknya. Jadi, belum tentu apa yang dialami kakaknya bisa terjadi pada dirinya. Setiap orang punya pengalamannya masing-masing.
Studi menunjukkan bahwa konflik dalam pernikahan bisa disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah peran gender. Misalnya, selama ini kita tahu bahwa laki-laki adalah penanggung jawab mencari nafkah. Sedangkan perempuan biasanya mengurus rumah tangga dan anak. Ada beberapa pasangan yang OK saja mengenai hal ini, namun pasangan lainnya bisa jadi tidak setuju. Inilah yang bisa menyebabkan ketidakpuasan dalam hubungan sekaligus menaikkan angka perceraian. Selain berpengaruh pada hubungan keluarga, konflik karena peran gender juga bisa mempengaruhi kehidupan profesional pasangan.
Memang, tidak semua orang harus mencari pasangan untuk menemukan kebahagiaan. Namun, jika hal itu didasari oleh trauma yang mendalam seperti teman kita di atas, ada baiknya kamu mengkomunikasikannya dengan psikolog! Siapa tahu, masalahnya bukan di pernikahan pada umumnya, namun ada pada diri kamu sendiri.
Di sisi lain, buat kamu yang sudah menikah, naik turunnya keadaan setelah menikah memang tidak mudah bagi untuk dijalani. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga memang bisa terjadi, namun bukan berarti kamu tidak bisa mengatasinya. Untuk itu, konseling pasangan dengan psikolog bisa membantu.
Jangan tunggu sampai semuanya makin parah! Yuk, konseling bersama psikolog Riliv supaya semua masalah bisa diselesaikan!
Ditulis oleh Rizka Annisa. Diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq, M.Psi., Psikolog.
Discussion about this post