Alzheimer – Penyakit Alzheimer adalah semacam gangguan yang menyerang otak, sehingga seseorang akan kehilangan memorinya serta mengalami kesulitan dalam proses berpikir dan berperilaku. Gangguan ini merupakan salah satu jenis dari demensia. Beberapa orang mengira Alzheimer menyerang orang berusia lanjut saja, namun kenyataannya nggak begitu, lho! Orang-orang yang berada di bawah usia 65 tahunan bisa menderita Alzheimer. Kerusakan otak yang diakibatkan Alzheimer menyebabkan banyak neuron otak yang mati, sehingga bagian otak yang terpengaruh mulai menyusut.
Nah, kali ini Riliv akan berbagi kisah tentang seseorang yang ayahnya menderita Alzheimer. Simak bareng-bareng, yuk!
Ini adalah kisah hidup saya, William McDonald, dan ayah saya yang mengidap penyakit Alzheimer.
Hari-hari selalu saya lewati untuk membantu ayah. Setiap pagi, terlebih dahulu saya menyisir rambutnya dan mengajaknya jalan-jalan.
Saya memakaikan sepatu sandal di kedua kakinya agar beliau lebih mudah berjalan.
Sepanjang waktu yang saya habiskan bersamanya, banyak pelajaran sarat makna yang saya dapatkan.
Kesabaran adalah hal pertama yang ayah ajarkan
Langkahnya begitu pelan. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk berjalan dari pekarangan rumah ke pagar depan. Padahal, ayah merupakan seseorang yang gesit pada masa sebelum ia terkena Alzheimer.
Beliau menyingkirkan setiap daun yang ada di jalan agar pejalan kaki yang lain merasa lebih nyaman.
Ayah mengajarkan saya untuk lebih bersabar ketika berjalan berdua dengannya. Saya bertekad untuk terus memiliki sikap yang sama seperti ayah sampai tua nanti.
Kekuatan patut disyukuri karena merupakan sebuah anugerah
Dulunya, ayah bisa berenang melewati danau dengan cepat. Hanya butuh sebelas menit untuk berenang sedemikian hebatnya.
Saya selalu mengagumi kekuatan ayah yang tidak bisa saya temukan pada orang lain.
Kali ini, saya yang menjadi tangan kuat ayah. Ketika ingin meneguk root beer, saya akan memegangi gelas minumannya.
Lagi-lagi, beliau memacu saya untuk menjadi kuat selagi masih muda.
Berjuang dengan upaya sendiri selagi masih ada kesempatan
Setiap malam sebelum tidur, ayah selalu meminta saya untuk memasangkan kaus kaki di kedua kakinya.
Saya teringat kembali pada masa di mana ayah begitu gigih untuk melakukan apa pun sendiri. Beliau adalah sosok yang saya kagumi berkat kemandiriannya.
Ingatan saya tentang hal itu membawa kesan tersendiri bagi saya. Saya harus bisa memiliki ketekunan yang sama seperti halnya beliau!
—
Setiap saya termenung di malam hari sebelum tidur, saya semakin membenci Alzheimer.
Saya membencinya karena ayah dan penderita lainnya harus kehilangan kenangan indah yang mereka ciptakan, seperti sebuah scrapbook yang perlahan kehilangan tempatnya.
Namun, dari kisah ini, Ayah memberikan saya sebuah pelajaran berharga.
Saat-saat terakhir Ayah
Suatu hari, di tengah malam, saya mendengar dia memaki-maki salju yang turun. Dia lalu membangunkan saya dan berkata, “Malam ini turun salju. Ayo keluar dan bersihkan jalan masuk agar ibu dan saudara perempuanmu tidak kemasukan salju.”
Ibu saya meninggal bertahun-tahun yang lalu, dan saudara perempuan saya sudah lama pindah ke rumah mereka sendiri, tetapi saya berkata kepadanya, “Ayo keluar dan bersihkan trotoar.” Dia tersenyum. Kami berpakaian dan menyapu salju dari trotoar. Saat kami selesai, dia menangkup wajah saya dengan tangannya, menatap mata saya, dan mengangguk sekali. Di situlah saya sadar, bahwa ia selalu membersihkan trotoar sebagai rasa kasih sayang kepada keluarganya.
Masih ada lagi kisahnya. Waktu itu, ayah saya naik kursi roda. Ada musik yang diputar. Dia lalu mengulurkan tangannya kepada saya. Saya berdansa dengannya. Saudara perempuan saya memfilmkannya di ponselnya. Saya tidak tahu mengapa ayah saya meneteskan air mata.
Seminggu kemudian, ayah saya meninggal. Kakak perempuan saya mengirimi saya salinan video dia dan saya menari melalui email. Saya tidak memperhatikan lagu yang kami bawakan adalah, “Time to Say Goodbye.“
Hal terakhir yang ayah saya ajarkan kepada saya, dengan air mata berlinang, adalah menari mengikuti lagu yang dimainkan.
Disadur dari kisah William McDonald, “Lessons From My Father and Alzheimer’s: Strength, Perseverance and Dancing.”
Diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Rali Pramasuri Arta Meisa. Diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq, M.Psi., Psikolog.
Alzheimer memang tidak mudah untuk disembuhkan. Berbagai treatment seperti pengobatan medis dan terapi psikologi harus dilakukan secara rutin untuk mengurangi gejala-gejalanya, seperti kecemasan, delusi dan halusinasi, agresi, serta perilaku maladaptif lainnya yang bisa muncul. Jika kamu memiliki kerabat, saudara, atau orang tua yang mulai menampakkan gejala-gejala Alzheimer, ada baiknya kamu menghubungi profesional untuk lebih lanjutnya, ya! Di samping itu, kamu juga harus menguatkan mental. Sebab, merawat pasien Alzheimer tidaklah mudah. Psikolog Riliv bisa membantu kamu untuk tetap tangguh dalam menghadapi pengalaman sebagai caregiver pasien dengan penyakit kronis.
Discussion about this post