Kapan Aku Bahagia? – Kamu pasti pernah bertanya pada diri sendiri pertanyaan “Kapan Aku Bahagia?”. Lalu jawabannya pun sudah dapat diprediksi yaitu “Aku akan bahagia saat (blablabla)”. Dua ilmuwan Harvard menemukan bahwa selama ini kita men-treatment kebahagiaan dengan cara yang salah. Lalu, dimana letak salahnya? Baca hingga akhir, ya!
Aku akan bahagia saat…
Aku akan bahagia saat punya pacar cantik. Aku akan bahagia saat punya rumah impian. Aku akan bahagia saat bisa menabung banyak. Itulah contoh-contoh kalimat kebahagiaan yang memiliki syarat.
Natalia Peart, dalam bukunya “Future Proofed” menjelaskan bahwa kita harus membuat kebahagiaan sebagai sebuah lifestyle, bukan sebagai tujuan. Baginya, dengan begitu kita bisa bahagia dari sekarang, bagaimanapun situasi kita saat ini.
Selama bertahun-tahun kita telah terjejali input yang salah bahwa kita harus mencapai satu titik situasi dulu, baru kita akan bahagia. Itu adalah satu pendekatan kuno. Pendekatan tersebut membuat kita mengacuhkan burnout yang dialami.
Formula bahagia yang salah
Sementara itu, penulis buku The Happiness Advantage, Shawn Achor yang mengajar di Harvard, memiliki pandangan senada dengan Peart. Dalam bukunya Ia berpendapat bahwa selama berdekade-dekade Ia meneliti hubungan sukses dan kebahagiaan, ternyata kita memang secara science menggunakan formula yang salah.
Kita terbiasa dengan sukses – lalu bahagia. Padahal, bahagia – lalu sukses adalah formula yang lebih make sense. Karena hanya dengan bahagia terlebih dahulu, kita bisa mengundang hal-hal positif yang akan mewujudkan sebuah kesuksesan.
Kapan Aku Bahagia? Ini Tips Bahagia Ala Ilmuwan Harvard!
Setelah membagikan formula kebahagiaan yang benar, Achor dan Peart juga secara sukarela membagikan tips bahagia ala mereka seperti yang tertulis di daftar berikut ini:
1. Stop berpikir kesuksesan di masa depan berkaitan dengan kebahagiaan
Shawn Achor menyarankan kepada muridnya untuk tidak mempercayai bahwa mereka akan bahagia bila memiliki pacar. Bila memang seperti itu, pasti semua orang yang memiliki pasangan akan bahagia.
Lihatlah ke sekelilingmu, bukti empirisnya sungguh nyata tak semua orang bahagia dalam sebuah hubungan.
2. Faktor eksternal bukan prediksi kebahagiaan
Yang termasuk dalam faktor eksternal dalam hal ini adalah uang, status hubungan, dan keadaan ekonomi bukanlah penentu kebahagiaan. Pada kenyataannya faktor eksternal hanya menyumbang 10 % pada kebahagiaan seseorang.
Sementara 90 % kebahagiaan jangka panjang tergantung dari bagaimana kita memproses faktor eksternal tersebut. Inilah mengapa ada orang yang bekerja dengan pekerjaan yang sama bertahun-tahun tapi tetap bahagia sementara yang lain menganggapnya sebagai beban.
3. Kebahagiaan adalah sebuah work ethic
Sangat penting bagimu untuk melatih otak agar selalu positif. Anggap otak seperti badan yang perlu dilatih kesehatannya. Lakukan hal positif seperti menulis jurnal bersyukur untuk membiasakan otak melihat sisi baik kehidupan.
Rasa bersyukur adalah satu bukti bahwa masa sekarang sudah bisa membuatmu bahagia daripada menunggu kebahagiaan di masa depan.
4. Gunakan pendekatan kalender, bukan pendekatan to-do-list
Tips bahagia ala psikolog Harvard selanjutnya berasal dari Natalia Peart. Baginya penting sekali untuk tidak lagi menjalani hari dengan pendekatan to-do-list. Membuat daftar pekerjaan apa yang harus dilakukan hanya akan membuat kamu merasa sudah capek hanya dengan melihatnya.
Lebih baik menjalani hari dengan pendekatan kalender. Satu hari ini kamu akan melakukan ini, hari berikutnya kamu akan melakukan itu. Pendekatan ini menyisakan ruang bagimu untuk melakukan hal lain yang bisa membuatmu bahagia seperti bertemu teman, melakukan hobi, nonton film, dll.
5. Bersiaplah berjalan pada ketidakpastian
Tidak ada yang stabil dalam hidup ini. Semua hal akan berubah bila memang sudah waktunya. Satu-satunya yang konstan hanyalah perubahan itu sendiri.
Peart menyarankan bahwa dalam berkarir kita harus sudah melirik freelance economy. Baginya, zaman sudah berubah. Daripada konsisten pada satu title job, lebih baik fokus pada value yang kamu miliki.
Dengannya, kamu akan terbuka untuk berbagai kesempatan meskipun di luar dari bidang ilmu yang kamu dalami. Yang harus dipegang dalam freelance economy, berarti kamu kamu harus tetap memegang gambaran besar akan karier tapi tetap terbuka untuk perubahan dan plot twist kehidupan.
6. Media sosial hanyalah dunia maya, hiduplah di dunia nyata
Bila kamu terlalu mudah terdistraksi oleh media sosial, yang ada kamu bukannya menjalani hidup hanya malah mengkurasi hidup. Perbandingan kebahagiaan dalam medsos sungguh tidak sehat.
Apa yang kamu lihat di sana tidaklah selalu nyata. Memang temanmu seperti selalu makan enak di restoran fancy, lalu ada juga yang berfoto dengan kendaraan keren barunya, ada teman lama yang sudah memiliki anak – itu hanya yang ditampilkan. Kita tidak tahu apa yang terjadi di behind the scene.
Itulah beberapa tips bahagia ala ilmuwan Harvard. Tipsnya tidak sekadar membagikan saja, tapi ada science-nya, lho.
Jadi, Kapan Aku Bahagia?
Bila kamu tidak bisa membuat perasaan bahagia saat ini, pasti ada sesuatu yang menahanmu untuk demikian. Padahal seperti apa yang telah kita pelajari, rasa bahagialah yang bisa membawa kesuksesan. Kalau sudah begini kamu perlu bantuan profesional.
Sudah pernah konseling dengan psikolog online? Ini zamannya kamu bisa konsultasi tanpa bertatap muka, lho. Install saja Riliv dan cari akar masalah mengapa kamu tidak bahagia serta solusinya!
Referensi:
- Achor, Shawn. (2011). When Will I Be Happy? huffpost.com
- Darrslaw, Michelle. (2019). Why Repeatedly Saying “I’ll Be Happy When” Could Be Holding You Back in Life and Your Career. oprahdaily.com
Ditulis oleh Uyo Yahya