Ada satu pertanyaan yang selalu membuatku kebingungan. Bukan pertanyaan rumit seperti cara menghitung jarak bumi dari bulan, atau mengapa bangsa Eropa cenderung lebih toleran terhadap laktosa daripada bangsa lainnya.
Pertanyaan yang membingungkan bagiku itu sangat sederhana, “Apakah kamu baik-baik saja?”
Sebetulnya, baik-baik saja itu seperti apa?
Kebingunganku yang paling mendasar adalah definisi dari baik-baik saja. Apakah baik-baik saja sama dengan selalu bahagia, ingin hidup selamanya, dan memiliki impian yang ingin diwujudkan?
Aku menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama. Bidang ilmu yang kutekuni adalah psikologi. Aku tahu, ada bermacam-macam asesemen untuk mengukur kesejahteraan mental seseorang.
Apakah kalau skormu baik, berarti kamu baik-baik saja?
Kalau begitu, kurasa aku tidak baik-baik saja
Seringnya, aku tidak sedih, tapi juga tidak bahagia. Perasaanku tidak jelas. Terombang-ambing seperti kantong plastik di tengah samudera.
Aku tidak benci hidup. Namun aku tidak keberatan mati. Sejujurnya, sejak kecil aku selalu memimpikan kematian.
Kupikir, selepas SMA aku akan meninggalkan dunia ini. Nyatanya, aku masih hidup sampai sekarang. Setiap tahun, aku berpikir apakah tahun ini aku akan mati?
Mungkin karena itu pula, aku tidak punya impian yang benar-benar ingin kuraih.
Katanya, aku punya kecenderungan untuk bunuh diri yang tinggi. Aku tidak menyangkal. Satu-satunya hal yang mencegahku untuk bunuh diri adalah takut masuk neraka.
Aku tidak ingat, kapan terakhir aku baik-baik saja?
Sejak kapan dan kenapa aku seperti ini?
Aku juga tidak ingat. Kadang, aku berusaha memikirkannya. Di waktu malam ketika aku tidak bisa tidur. Selepas subuh ketika aku mengendarai motor dan melintasi jalanan kota yang hampa. Saat aku melihat langit dan bulan yang berwarna putih.
Aku tidak tahu, apakah aku tidak ingat, tidak bisa ingat, atau tidak mau ingat. Sebab, aku suka melupakan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Aku tidak pernah ingat benar-benar mencintai kehidupan.
Tidak baik-baik saja menjadi identitas diriku
Sebab, aku bahkan tidak bisa ingat kapan aku tidak seperti ini. Di masa depan, aku tidak memiliki proyeksi sukses dan bahagia seperti milik orang lain.
Tidak baik-baik saja adalah bagian dari diriku.
Kesedihan ini adalah milikku.
Aku tidak ingin baik-baik saja
Tanpa kesedihan ini, aku bukan aku lagi. Seperti kalau namamu diganti atau rambutmu dipangkas habis dan tidak bisa tumbuh lagi.
Aku tidak ingin apa yang kurasakan akan terjadi pada orang lain. Aku juga selalu membujuk orang di sekitarku untuk setidaknya membagi kisahnya padaku, kalau segan menemui ahli profesional.
Namun, aku tidak melakukan hal yang sama pada diriku sendiri. Bahkan ketika aku ditekan habis-habisan oleh apa yang kusimpan dalam hati, sampai mau berteriak sekencang-kencangnya, aku tidak ingin berpisah dari duka.
Kurasa, aku dapat memahami surat terakhir Vincent van Gogh pada sang adik, “Kesedihan ini akan berlangsung selamanya. Aku berharap akan mati seperti ini.”
Aku masih tidak baik-baik saja
Tapi, aku tidak keberatan akan itu. Aku hidup bersama dengan kesedihan dan perasaan tidak baik-baik saja ini. Kami damai bertiga.
Aku tidak ingin ditolong oleh siapapun. Aku bahkan tidak yakin apa yang kurasakan perlu mendapat pertolongan.
Mungkin, terkadang, aku ingin ditolong karena aku merasa tidak ingin ditolong.
Aku bilang mungkin, karena aku tidak ingat. Aku hanya mengingat hal yang menyenangkan.
Ditulis oleh c/o/t/d.