Body positivity – Belakangan ini, gerakan body positivity marak dikampayekan di media sosial, khususnya di kalangan wanita. Memangnya, kenapa sih gerakan ini begitu penting? Yuk, bahas bersama-sama di sini!
Kenapa Body Positivity Muncul?
Tahun 2021 lalu, kampanye fashion ber-hashtag #ImBetterCurvy dari All Plus Size Store dan #FabFitsAll dari Fab Alley di Amerika Serikat menuai respon yang baik dan kerap dibicarakan di kalangan konsumen. Kedua kampanye ini merupakan bagian dari gerakan body positivity yang merupakan wujud apresiasi positif terhadap tubuh dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Gerakan body positivity dipelopori oleh Fat Acceptance Movement pada tahun 1960an untuk melawan diskriminasi terhadap orang-orang yang menderita obesitas. Orang-orang dengan berat badan di atas standar kerap jadi bahan ejekan di media pada masa itu, yang kita kenal sekarang dengan sebutan fat shaming.
Faktanya, fat shaming ini masih berlangsung hingga saat ini, dan akibatnya sangat buruk bagi kesehatan mental, antara lain memicu gangguan makan, anxiety, depresi, dan self-esteem yang rendah. Studi melaporkan bahwa orang-orang yang kena fat shaming akan rentan dikucilkan dari dunia pergaulan, di-bully habis-habisan, dan dianggap sebagai penyakit. Padahal kalau dipikir-pikir, mereka juga butuh dukungan dari kita untuk meniti gaya hidup yang sehat, lho! Maka dari itu, tujuan gerakan body positivity adalah melawan fat shaming maupun body shaming. Dampak body positivity begitu besar di kalangan masyarakat yang begitu terpaku terhadap beauty standard dan body image. Misalnya, harus punya tubuh langsing, berotot, kulit glowing, kaki yang jenjang bak model, dan semacamnya.
Kesalahan dan Dampak Negatif Body Positivity
Ternyata, gerakan body positivity itu nggak selamanya berdampak positif, lho! Sebuah riset dari Legault dan Sago (2022) membuktikan bahwa berpikiran positif terhadap tubuh itu nggak semudah kelihatannya. Malahan, kalau kita dipaksa untuk berpikiran selalu positif setiap saat, jatuhnya kita malah merasa semakin mempertanyakan dan nggak yakin dengan diri kita sendiri, sehingga self-esteem kita pun akan semakin menurun.
Menurut Alexis Conason, Psy.D. dari Psychology Today, body positivity itu hanyalah masalah mindset yang perlu diubah. Setiap orang bakal merasa lebih baik ketika mereka dapat menerima diri mereka sendiri dan nggak membenci tubuh mereka. Jadi, ada tidaknya gerakan body positivity sebetulnya nggak terlalu berpengaruh bila kamu sudah pede dengan keadaan tubuhmu. Tapi ingat, pede dengan tubuh bukan berarti kamu nggak sayang dengan tubuhmu, ya! So, please bedakan body positivity dengan glorifikasi obesitas!
Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Tiffany Powell di University of Texas Southwestern, menemukan bahwa bahwa 8% partisipan penelitian, atau hampir 1 dari 10 orang dengan obesitas, memiliki kesalahpahaman tentang berat badan mereka. Dengan kata lain, kebanyakan orang berlindung di kata ‘fat acceptance’ ketika mempromosikan gaya hidup tidak sehat. Yep, fat acceptance memang awalnya punya niat yang bagus, yaitu mengatasi bullying dan menuntut keadilan sosial terhadap orang-orang yang menderita obesitas. Namun, beberapa pihak malah mengartikan gerakan ini sebagai: “nggak usah olahraga karena kamu toh sehat-sehat saja” dan “kamu bisa makan apa aja asal kamu bahagia.”
Cara Tetap Pede dengan Kondisi Tubuh
Bukan Riliv namanya kalau nggak ngasih kamu tips agar tetap pede dengan keadaan tubuhmu. Sebuah studi oleh McCallum (2021) menyatakan bahwa cara terbaik menerapkan body positivity adalah memiliki self compassion. Mengonfirmasi yang sudah kita bahas sebelumnya, body positivity akan menjadi efektif bila kita berprasangka baik terhadap tubuh kita. Khususnya, bagi Teman-teman yang tengah berjuang dengan eating disorder, memiliki self compassion bisa membantu mereka untuk membangun kepercayaan baru terhadap body image.
In the end, kita semua cantik dan ganteng dengan cara kita masing-masing, kok! Jika kamu masih ragu dan terganggu oleh standar masyarakat soal tubuh yang ideal, mungkin sudah waktunya kamu menerapkan standarmu sendiri.
Yuk, lawan diskriminasi dan bullying dengan pikiran yang positif! Jangan lupa self care dengan Riliv untuk jaga diri kita tetap mindful setiap waktu!
Referensi:
Brewis, A. A., & Bruening, M. (2018). Weight Shame, Social Connection, and Depressive Symptoms in Late Adolescence. International journal of environmental research and public health, 15(5), 891. https://doi.org/10.3390/ijerph15050891
Cornelissen, P. L., & Tovée, M. J. (2021). Targeting body image in eating disorders. Current opinion in psychology, 41, 71–77. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2021.03.013
Geller, J., Samson, L., Maiolino, N., Iyar, M. M., Kelly, A. C., & Srikameswaran, S. (2022). Self-compassion and its barriers: predicting outcomes from inpatient and residential eating disorders treatment. Journal of eating disorders, 10(1), 114. https://doi.org/10.1186/s40337-022-00640-8
Legault, L., & Sago, A. (2022). When body positivity falls flat: Divergent effects of body acceptance messages that support vs. undermine basic psychological needs. Body Imag, 41, 225-238. DOI:10.1016/j.bodyim.2022.02.013.
McCallum, M., Ho, A. S., May, C. N., Behr, H., Mitchell, E. S., & Michealides, A. (2021). Body Positivity and Self-Compassion on a Publicly Available Behavior Change Weight Management Program. International journal of environmental research and public health, 18(24), 13358. https://doi.org/10.3390/ijerph182413358
Vogel L. (2019). Fat shaming is making people sicker and heavier. CMAJ : Canadian Medical Association journal = journal de l’Association medicale canadienne, 191(23), E649. https://doi.org/10.1503/cmaj.109-5758