Waktu terbanyak untuk berpikir tentang kehidupan pribadi, biasanya kuhabiskan di mobil dalam perjalanan pulang dari kantor. Malam itu, pikiranku tertuju pada ide konsultasi perceraian. Haruskah pernikahan yang sudah kami bina selama 7 tahun ini berujung pada perpisahan?
Kubiarkan pikiranku melayang sembari ditemani lagu yang mood-nya sendu. Macetnya jalanan seolah mengerti bahwa yang kubutuhkan adalah waktu untuk berpikir. Waktu untuk sendirian dan menelaah keputusan yang akan kuambil.
Gangga dan aku adalah teman semasa kuliah. Kami menikah atas dasar cinta. Setelah hampir 5 tahun berpacaran, kami pikir sudah waktunya untuk meneruskan ke jenjang yang lebih lanjut.
Seperti pasangan muda yang baru merencanakan pernikahan, kami pikir pernikahan adalah akhir bahagia dari cerita kami. Happily ever after.
Kami baru saja merintis karir di pekerjaan. Baru mulai punya uang sendiri dan ego masih tinggi. Tapi dengan cinta harusnya itu semua bisa terselesaikan, pikir kami waktu itu. Tapi nyatanya ukuran kebahagiaan sebuah pernikahan bukan hanya cinta.
Masalah baju yang berserakan di kasur saja bisa memicu kalimat yang paling tabu dalam pernikahan: “Aku minta cerai!”. Namun, cerai-rujuk memang tak semudah putus-sambung. Masing-masing dari kami masih mencoba bertahan dalam ikatan lembaga perkawinan.
Sebelum memilih untuk konsultasi perceraian, Instropeksi dan pikirkan kembali baik dan buruk perceraian bagi anak
Kami dikaruniai satu anak perempuan di tahun ketiga pernikahan kami. Mita adalah salah satu alasan terbesarku untuk bertahan. Ia juga yang menjadi pelipur laraku dikala Gangga pulang larut malam.
Anak seperti menjadi perekat kami setiap kali kami bertengkar dan merasa letih untuk melangkah bersama kembali. Seringkali kubayangkan jika akhirnya kami memutuskan berpisah bagaimana dampaknya ke Mita.
Apakah akan lebih baik jika ia tak perlu lagi melihat pertengkaran kami? Akankah ia lebih bahagia jika tak melihat mamanya menangis atau ayahnya bersungut-sungut hampir setiap hari?
Lalu bagaimana jika nanti salah satu dari kami punya pasangan lagi? Apakah orang itu akan menyayangi Mita sebagaimana kami orangtua kandungnya mengasihinya?
Akankah kami masih bisa bertanggung jawab penuh terkait tumbuh kembangnya? Tentunya semua tak akan sama seperti saat orangtuanya masih bersama.
Cobalah konsultasi ke orang terdekat atau ke psikolog
Suatu hari, karena rasanya sudah tak sanggup lagi menanggung beban dalam hati, kuputuskan untuk konsultasi dengan psikolog melalui aplikasi Riliv.
Karena media konsultasinya melalui chat, membuatku lebih mudah untuk melakukan konsultasi tanpa harus meninggalkan kesibukanku di kantor atau meninggalkan Mita di akhir pekan.
Psikolog itu membantu mengurai apa yang kurasakan dan apa yang kuinginkan. Ia memintaku untuk membuatkan daftar pro dan kontra jika terjadi perceraian. Daftar ini bisa dijadikan bahan pertimbangan bagiku dalam membuat keputusan.
Diskusikan kembali dengan pasangan untuk mencari solusi yang terbaik, termasuk persiapan dan antisipasi jika terjadi perceraian
Meskipun tak mudah, untuk kesekian kalinya aku dan Gangga sepakat untuk membicarakan langkah yang terbaik untuk keluarga kami.
Diawali dengan pesan singkat yang kukirim padanya untuk membicarakan ini di luar rumah berdua saja, kutunjukkan daftar pro dan kontra yang sudah kubuat.
Diskusi kami berlangsung datar dan hampir tanpa emosi. Kami sudah melewati fase bertengkar kecil-bertengkar hebat-tidak perduli satu sama lain-bertengkar lagi. Sepertinya Gangga juga sudah sampai pada tahap pemikiran yang sama denganku.
Kami sepakat bahwa perpisahan adalah jalan yang terbaik untukku, dia dan anak kami. Meskipun kami menganggap bahwa perceraian adalah jalan terakhir dari semua usaha yang sudah kami lakukan selama ini.
Perceraian ini demi menjaga kesehatan mental anak kami yang terlihat sering murung di kelasnya, usai mendengar pertengkaran demi pertengkaran kami. Diskusi diakhiri dengan kesepakatan untuk bersama-sama datang ke konsultasi perceraian. Sepakat untuk berbagi hak asuh dan
Kemudian kami sama-sama minta maaf atas salah kami selama bersama. Aku dengan keegoisanku. Dia dan kekhilafannya mencari pelarian ke teman kantornya. Ia juga berterima kasih atas segala usahaku untuk menerimanya kembali atas perselingkuhannya. Aku berterima kasih atas usahanya memperbaiki kesalahannya.
Mungkin ini adalah akhir dari kisah cinta kami berdua. Namun setelah melalui perjalanan yang penuh liku dan keraguan, semoga ini menjadi pembuka lembar baru bagi kami untuk dapat menata ulang dan menorehkan cerita bahagiaku, Gangga dan buah hati kami, Mita.
Referensi:
Sri Resy Khrisnawati. Having 100 dreams and 1001% faith it will come true before her dying day.
Discussion about this post