Social Networking – Hari gini, siapa sih yang nggak punya media sosial? Penggunaan media sosial belakangan ini sudah menjadi lifestyle bagi kita. Bahkan belakangan ini, interaksi di dalamnya juga punya andil bagi karir kita, lho! Karena itu, penting nih untuk kamu memanfaatkannya sebaik mungkin. Seperti apa caranya? Yuk, kita simak penjelasannya!
Social Networking: Cara Bergaul di Era Digital

Facebook, Instagram, LinkedIn, dan semua website yang berfungsi untuk menghubungkan satu orang dengan orang lainnya dalam dunia maya dinamakan social network. Atau, yah, gampangnya kita menyebutnya sebagai media sosial.
Semuanya memiliki kesamaan, yaitu terdiri atas berbagai user yang memiliki profilnya masing-masing. Mulai dari memberikan informasi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, aktivitas sehari-hari, hingga pekerjaan. Maka dari itu, para pengguna bisa saling bertukar informasi mengenai diri mereka dengan orang-orang di seluruh dunia dengan mudah. Proses pertukaran informasi inilah yang kemudian dinamakan social networking.
Menurut survei Ignite Social Media tahun 2020, populasi terbesar penggunanya adalah generasi millennial dan gen-Z. Sebanyak 90.8% generasi millennial dan 64.4% gen-Z di Amerika Serikat memiliki akun media sosial. Bagaimana dengan negara lain khususnya Indonesia? Pastinya nggak jauh berbeda. Cek aja deh circle kamu, pasti hampir semuanya punya.
Well, nggak kaget, sih. Per 2020, jumlah generasi millennial dan gen-Z yang menggunakan media sosial memang meningkat pesat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Statista di Amerika Serikat dengan jumlah 1.000 responden, media sosial yang paling populer digunakan adalah Snapchat (100%), TikTok (91%), YouTube (87%), dan Instagram (83%).
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data dari penelitian Social Media Habit and Internet Safety oleh Populix, didapatkan hasil sebagai berikut:
“87% responden, pasti mengakses media sosial dalam satu bulan terakhir. YouTube (94%) dan Instagram (93%) menempati posisi sebagai dua platform media sosial yang paling banyak digunakan responden, disusul TikTok (63%), Facebook (59%) dan Twitter (54%),”
Populix, 2022.
Survey ini dilakukan pada 1.023 responden laki-laki dan perempuan berusia 18-55 tahun di Indonesia dengan mayoritas responden terdiri dari anak muda belum menikah, sudah bekerja, dan berasal dari SES (socio-economic status) menengah ke atas.
Nah, dengan aktifnya pengguaan media sosial saat ini di Indonesia, nggak heran kalau kemudian banyak orang memanfaatkannya sebagai ladang mencari rezeki. Caranya adalah membangun image di media sosial sebaik mungkin dengan personal branding.
Social Networking untuk Personal Branding

Seperti yang sudah dijabarkan di atas, medsos juga bisa digunakan sebagai sarana unjuk gigi. Apalagi, di zaman sekarang, recruitment pekerjaan lewat medsos itu sudah menjadi hal yang umum dilakukan. Menurut survei dari Standout CV, tercatat bahwa 91% perusahaan telah menggunakan medsos untuk melakukan hiring, dan 45% recruiter biasanya akan memposting kebutuhan hiring di media sosial, salah satunya LinkedIn.
Kenapa LinkedIn? Hal ini dikarenakan fitur LinkedIn didesain sedemikian rupa untuk memamerkan kompetensi yang kita miliki. Lewat LinkedIn, kita bisa membuat resume lewat profil kita. Profil ini nantinya akan digunakan oleh para recruiter untuk menyeleksi kandidat yang job fit dan organization fit. Terus, gimana sih caranya biar kita dilirik sama recruiter lewat medsos kita? Caranya adalah personal branding! Tapi tunggu dulu, ada dasar-dasar personal branding yang harus kamu ketahui, yakni sebagai berikut:
Sebelum Mulai, Tentukan Tujuanmu!
Bayangkanlah kamu membuat sebuah produk botol minum. Sebelum kamu mengembangkan botol minumnya, pastinya kamu akan melakukan riset terlebih dahulu tentang tujuan botol itu dibuat, model yang disukai, warna yang lagi tren, atau demografi yang menjadi sasaran pemasarannya. Begitu pula dalam personal branding lewat media sosial. Eits, tapi bukan berarti Riliv menyamakan kamu dengan botol minum, ya! Maksudnya, kamu harus tahu dulu, apa yang menjadi tujuan bagi kamu mengekspos diri ke khalayak ramai. Misalnya, kamu mau dikenal sebagai graphic designer. Cobalah kamu lakukan riset mendalam terlebih dahulu mengenai graphic design, sumber daya apa yang harus kamu persiapkan, skill apa yang harus dimiliki, bagaimana membangun portofolio yang menarik, dan lain sebagainya.
Identifikasi Faktor-faktor yang Mendukung Personal Branding
Menurut Neal Schaffer, ada lima faktor yang menentukan sukses tidaknya personal branding kamu, antara lain:
Authenticity
Orang suka dengan pribadi yang terkesan alami dan nggak dibuat-buat. Melalui caramu berinteraksi dengan orang lewat media sosial, kamu akan meninggalkan kesan tertentu. Pastikan orang-orang menilai kamu sebagai orang yang tulus dan bisa dipercaya.
Authority
Personal branding di medsos nggak berarti kamu membuka diri selebar-lebarnya, lho! Artinya, kamu harus memiliki boundary yang jelas dengan orang lain. Jangan sampai memasukkan orang yang merugikan atau justru toxic bagi dirimu. Ingat, kamu punya otoritas sendiri. Yep, memiliki ketegasan dan waspada itu penting. Namun di sisi lain, kamu juga berhak menunjukkan apresiasi kepada orang-orang yang mendukung kamu.
Aspiration
Agar kamu dilirik oleh orang lain, kamu harus menunjukkan kepada orang-orang bahwa kamu sukses di bidang tertentu. Misalnya, kamu pernah ikut kompetisi tertentu yang bikin kamu bangga banget. Cantumkanlah foto atau video yang menunjukkan hasil kesuksesanmu! Dengan demikian, network yang berisi orang-orang sukses di bidang serupa akan tertarik buat berinteraksi denganmu.
Affinity
Seperti halnya permen, kalau kelamaan dikulum di mulut, rasanya akan menghilang, bukan? Begitulah hukum personal branding. Kamu harus bisa menemukan satu hal yang bikin orang menyukaimu. Misalnya, kamu adalah psikolog yang sedang membangun personal brand di TikTok melalui konten. Nah, ternyata, orang-orang suka dengan gaya bicara kamu. Dari sinilah kamu bisa mempertahankan affinity orang-orang terhadapmu.
Artisanat
Yang terakhir, adalah jangan lupa untuk terus berkarya. Orang-orang yang viral di medsos biasanya selalu menunjukkan karya-karya terbaru. Itulah mengapa, dalam personal branding, kamu harus menjadi pribadi yang kreatif. Kamu harus bisa melihat peluang yang muncul di hadapanmu. Misalnya, jika kamu seorang fotografer, kamu nggak hanya perlu melihat tren fotografi yang relevan untuk membuat orang-orang di luar sana menyukai karyamu, namun juga konsisten menghasilkan foto yang bagus.
Bergabung dengan Komunitas Tertentu
Selanjutnya, kamu wajib bergabung dengan komunitas tertentu yang relevan dengan branding-mu. Ini bisa menjadi cara mendapatkan circle yang sesuai dengan visi profesional kita. Misalnya, kamu pengen meniti karir di bidang digital marketing, kamu bisa bergabung dengan komunitas digital marketing. Melalui aktif berkomunitas itulah, kamu bisa mendapatkan koneksi yang bisa membantumu melihat peluang dalam karirmu, sekaligus belajar dari mereka. Hal ini dibuktikan dalam penelitian dari O’Connor (2021) membuktikan bahwa orang-orang yang berinteraksi aktif dengan komunitas tertentu di LinkedIn memiliki kepuasan karir yang lebih tinggi dari yang nggak aktif berkomunitas LinkedIn. Selain itu, penelitian Barthauer dan Kauffeld (2018) juga melaporkan bahwa membangun interaksi dengan komunitas tertentu lewat social networking bisa membantumu mendapatkan akses untuk peningkatan skill.
Jangan Malu Tonjolkan Karakter Khas-mu!
Coba, deh, kamu bayangkan seperti apa seorang Malala Yousafzai! Pastinya, banyak yang menganggapnya seorang gadis yang pemberani yang berjiwa pemimpin. Itulah yang dinamakan karakter khas. Recruiter akan tertarik sama kamu apabila kamu punya sesuatu yang kamu banggakan dalam dirimu. Misalnya, kamu bangga dengan kemampuan leadership yang kamu miliki. Jangan lupa tuliskan itu di profil LinkedIn atau medsos lainnya. Atau misalnya, nih, kamu punya kegiatan dengan organisasi non-pemerintah tertentu berupa charity, cantumkanlah kegiatan organisasi tersebut di profil biar recruiter punya kesan bahwa kamu orang yang dermawan. Dalam teori psikologi, manusia cenderung menilai orang melalui first impression. Jadi, pastikan kamu membuat first impression yang psoitif di mata recruiter, ya!
Social Networking untuk Kesehatan Mental
Manfaat social networking di medsos nggak hanya sampai di personal branding saja, lho! Selain membantu kehidupan profesional, kamu juga bisa mendapatkan manfaat untuk kesehatan mentalmu.

Social Networking dapat Mengatasi Stres
Berinteraksi di medsos maupun dunia nyata punya manfaat bagi kesehatan mental kita. Melalui interaksi sosial, kita bisa mengatasi stres yang disebabkan oleh aktivitas sehari-hari (Ono, 2011). Masih ingat pelajaran IPS waktu SMA, nggak? Kalau iya, pastinya paham, dong, kalau manusia itu sejatinya punya sifat sociable. Nggak peduli kamu ekstrovert atau introvert, kamu pasti nggak suka kalau hidup sendirian dan nggak ada yang nolongin, kan? Begitulah social networking di era digital ini. Jika kamu nggak punya medsos, kamu bakal dianggap kurang gaul.
Nah, sisi buruknya, interaksi sosial di medsos juga bisa menyebabkan fear of missing out atau FOMO. Karena takut ketinggalan atau terlewatkan oleh orang lain, kita akan berusaha mempertahankan eksistensi di media sosial. Makanya, nggak salah kalau menurut penelitian Ayeni (2019), medsos menyebabkan self esteem kita menurun, karena kita akan terus menerus membandingkan kesuksesan diri kita dengan orang lain.
Menjadi Support System yang Positif
Selain mengatasi stres, interaksi sosial juga berperan dalam mengubah perilaku kita menjadi lebih positif (Umberson & Montez, 2010). Katakanlah, Oliv adalah gadis yang malas berolahraga dan sering makan junk food. Namun, semenjak ayahnya didiagnosis mengalami diabetes melitus, Oliv pun memutuskan untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Ia pun bergabung dengan grup Facebook yang isinya orang-orang yang suka fitness dan sering membagikan resep menu rendah kalori. Lambat laun, Oliv pun terpengaruh oleh kebiasaan anggota grup tersebut dan mengubah lifestyle-nya menjadi lebih sehat.
Kisah Oliv membuktikan bahwa social networking bisa menjadi support system yang positif. Selain mendukung wellbeing secara fisik, social networking juga bisa menjadi wadah yang aman bagi orang-orang dengan gangguan mental tertentu. Misalnya, kita akan menemukan banyak support group bagi penderita depresi dan bipolar di media sosial. Menurut penelitian Chung (2013), interaksi sosial antar anggota support group akan membantu memenuhi kebutuhan dukungan emosional. Mereka jadi punya wadah untuk bercerita dengan aman, tanpa di-judge oleh siapa pun. Contohnya, Riliv punya online community bernama Riliv Buddy yang bisa diakses siapa pun yang membutuhkannya lewat media sosial Riliv.
Menemukan Target Marketing bagi Profesional
Melalui social networking, kita akan menemui orang-orang dari beragam latar belakang dan budaya. Inilah yang diincar oleh para profesional saat ini. Guna menemukan leads atau konsumen yang cocok, mereka bisa membangun profil yang sesuai dengan target audiences. Contohnya, bagi para developer video game, social networking melalui online community di Discord dan Twitch menjadi kunci bagi kesuksesan marketing mereka. Mereka bisa sharing informasi terbaru mengenai produk serta menyediakan konten yang engaging bagi konsumennya.
Etika Social Networking yang Benar
It’s true, aktif di medsos buat pengembangan karir dan personal itu banyak manfaatnya. Tapi, jangan pernah lupa bahwa interaksi dengan orang lewat medsos itu ada etikanya, ya! Kalau kamu tidak memperhatikan kaidah-kaidah tersebut, bisa jadi kamu di-blacklist atau kena cancel warganet, bahkan mempengaruhi reputasi karirmu. Dilansir dari Sprout Social, berikut ini beberapa hal yang wajib kamu perhatikan saat melakukan social networking:
Jangan Oversharing dan Over Promoting
Memamerkan kebolehan kita lewat medsos sambil berkomunitas itu bagus untuk membangun koneksi yang suportif, namun jangan sampai kamu kebablasan, ya! Oversharing bisa membuat network kita jadi illfeel sama kita. Apalagi, kalau kamu terlalu membangga-banggakan kemampuan sendiri dan lupa mengapresiasi orang-orang yang mendukungmu. Sementara itu, buat kamu yang punya layanan jasa, hati-hati, jangan sampai over promoting juga! Kalau kamu terus menerus memposting ads yang berkesan memaksa orang menggunakan jasamu, kamu bakal dianggap spamming dan berpotensi kena block.
Hati-hati Memilih Kata
Kalau kata pepatah, mulutmu harimaumu. Berinteraksi lewat medsos membutuhkan kemampuan mengolah perkataan supaya tidak menyinggung pihak-pihak tertentu. Apalagi, kalau kamu sering bikin konten di medsos sebagai sarana personal branding. Untuk menghindari kesalahpahaman, kamu wajib melakukan riset mengenai istilah yang kurang kamu pahami. Jangan sampai gara-gara kesalahan sepele, kamu dianggap nggak relevan oleh koneksi kamu!
Hargai Pendapat Orang Lain
Selain hati-hati memilih kata, kamu juga harus bisa memanajemen emosi kalau ada orang yang punya pendapat berbeda darimu. Ingatlah bahwa media sosial adalah tempat kita beropini. Jangan sampai karena kamu nggak setuju, kamu malah menjelek-jelekkan pihak tertentu, bahkan memposting hal-hal negatif mengenai pihak tersebut. Kalau sudah begini, takutnya image kamu bakal dicap jelek karena dipandang sebagai pribadi yang keras hati dan banyak drama. Daripada menyerang pihak tersebut, kamu bisa menggunakan medsos untuk counter attack secara elegan, misalnya memposting argumen kamu sendiri disertai fakta yang mendukung validitasnya.
Penutup
Kesimpulannya, social networking adalah cara yang tepat untuk mengembangkan diri, baik secara personal maupun profesional lewat media sosial. Namun layaknya di dunia nyata, etika bersosialisasi di media sosial juga perlu kamu perhatikan agar kamu tetap dipandang baik oleh orang lain.
Omong-omong soal ranah profesional, sebelum melakukan branding diri sendiri, kita perlu mengetahui terlebih dahulu tujuan karir kita. Nah, bagaimana dong jika kita masih bingung soal itu? Jangan khawatir! Riliv menyediakan program konseling karir dengan psikolog untuk membantu kamu mengidentifikasi hal-hal yang bisa kamu kembangkan demi masa depan yang lebih baik. Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, booking sesi konselingmu bersama Riliv sekarang!
Referensi:
Ayeni, T. (2019). Social Media Addiction: Symptoms And Way Forward, 1,19 – 42.
Barthauer, L., & Kauffeld, S. (2018). The role of social networks for careers. Zeitschrift für Angewandte Organisationspsychologie (GIO), 49. 10.1007/s11612-018-0401-2.
O’Connor, K.W., McDonald, K.S., McDaniel, B.T. and Schmidt, G.B. (2022), “Social media activity: its impact on career-related perceptions”, Development and Learning in Organizations, Vol. 36 No. 5, pp. 1-3. https://doi.org/10.1108/DLO-09-2021-0162
Ono, E., et. al. (2011). Relationship between social interaction and mental health. 2011 IEEE/SICE International Symposium on System Integration, SII 2011, 246-249. 10.1109/SII.2011.6147454.
Umberson, D., & Montez, J. K. (2010). Social relationships and health: a flashpoint for health policy. Journal of health and social behavior, 51 Suppl (Suppl), S54–S66. https://doi.org/10.1177/0022146510383501