Emotional invalidation – Pernah nggak kamu dengar kata-kata ini dari keluarga, teman-teman, atau kolega kamu?
“Ih, dikit-dikit baper!”
“Emosian banget, deh!”
“Dasar cengeng!”
“Lebay! Kayak gitu aja seneng banget!”
Tahukah kamu? Sebetulnya, kata-kata di atas adalah pertanda bahwa mereka mengabaikan emosi yang kamu rasakan. Hati-hati, terlalu sering mengabaikan emosi seperti itu bisa berdampak buruk bagi dirimu sendiri!
Emotional Invalidation Berarti Menyiksa Diri
Memvalidasi emosi adalah istilah lain untuk mengakui bahwa kamu mengalami emosi tertentu. Maka dari itu, emotional invalidation berarti kamu mengabaikan emosi yang kamu rasakan, bahkan menganggap emosi yang kamu rasakan itu salah.
Lalu, apa dampak buruknya mengabaikan emosi?
Menurut penelitian Witkowski (2017), emotional invalidation merupakan salah satu bentuk abuse, dan dapat berdampak pada kemampuan orang tersebut mengelola emosinya sendiri.
Kita bisa menganalogikan emosi seperti gunung es. Semakin menyelam ke bawahnya, kamu akan menemukan banyak hal-hal kompleks yang nggak terbawa ke permukaan. Sewaktu-waktu, gunung es ini akan mencair akibat iklim yang tak lagi bersahabat dan akhirnya menyebabkan air bah. Sama seperti kamu. Layaknya gunung es yang meleleh jadi air bah, emosi yang sering kamu pendam akan sewaktu-waktu meledak nggak terkontrol apabila ada pemicunya.
Penyebab Kita Melakukan Emotional Invalidation
Menurut Linehan (1993), pengabaian emosi bisa terjadi akibat sewaktu kecil, kita tidak mengakui pengalaman afektif. Yaitu sebuah tahapan perkembangan psikologi anak yang berkaitan dengan dorongan emosional menyertai perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Saat dewasa, mungkin kita bisa melihat dari bagaimana ekspresi seseorang dalam merespon sesuatu yang berujung pada pemilihan sebuah sikap.
Ini bisa dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang menganggap bahwa ekspresi emosional merupakan hal yang kurang pantas. Misalnya, dalam penelitian Schouten (2020), orang Jepang dan orang Belgia punya pendapatnya sendiri tentang mengekspresikan emosi. Orang Jepang cenderung tidak biasa mengekspresikan emosi secara penuh dengan alasan kesopanan, sementara orang Belgia akan lebih terbuka dengan ide mengekspresikan emosi.
Nah, kita tahu bahwa setiap emosi yang kita rasakan bisa muncul kapan saja bila terdapat pemicu. Namun, apabila kita diajari untuk tidak merasakan dan memproses emosi tersebut, muncullah istilah insensitif seperti ‘baperan,’ ‘lebay,’ dan lain-lain.
Judgment seperti ini bisa jadi datang dari dirimu sendiri juga, lho! Misalnya, ketika kamu mau nangis atau marah sama seseorang. Tapi karena nggak mau melukainya atau takut dianggap berlebihan, kamu pun memilih untuk tidak mengekspresikan emosi tersebut.
Cara Terbaik Mengekspresikan Emosi
Kita sudah tahu bahwa mengabaikan emosi bisa berdampak buruk, jadi sebaiknya kita mulai berlatih untuk mengekspresikannya. Mengekspresikan emosi juga berguna untuk membiasakan dan mengelola emosi yang kamu rasakan. Berikut ini cara-cara sehat dan bermanfaat untuk mengekspresikan emosi rekomendasi Riliv!
Menulis Journal
Dilansir dari Health Encyclopedia, kegiatan menulis journal adalah cara yang bagus untuk memanajemen kecemasan, mengurangi stres, dan mengidentifikasi pemicu-pemicu emosi yang muncul. Secara medis, metode intervensi psikologi menggunakan journaling bernama Positive Affect Journaling juga telah terbukti meningkatkan well-being dan mengurangi gejala-gejala depresi. Makanya, daripada kamu memendam emosimu, lebih baik coba tuliskan semua keluh kesahmu lewat journaling! Kalau mau model journal yang praktis, aplikasi Riliv punya fiturnya buat kamu!
Self-talk
Melakukan self-talk berarti berdialog dengan diri sendiri. Eits, tapi jangan salah paham dulu, ya! Self-talk yang dimaksud di sini bukan berarti kamu bicara dengan diri sendiri di hadapan umum. Melainkan self-talk saat kita bermeditasi, sehingga kita fokus pada diri kita sendiri. Penelitian sudah membuktikan bahwa self-talk bisa menjadi sarana memotivasi diri dan memberikan afirmasi positif. Makanya, melalui self-talk, kamu akan diajak refleksi mengenai apa saja yang kamu rasakan, untuk ke depannya, kamu bisa mengelola perasaan tersebut dengan lebih baik. Mau coba self-talk bareng fitur meditasi dari Riliv?
Olahraga
Siapa yang nggak mau punya badan bagus dan berotot? Yep, buat kamu yang termotivasi body goals bisa nih coba kencengin olahraganya! Nggak harus ke gym, olahraga kini bisa kita lakukan di rumah menggunakan tutorial olahraga dari YouTube. Di samping bikin badan sehat, olahraga ternyata bisa menjadi sarana mengekspresikan emosi. Dilansir dari artikel Atrium Clinic, berolahraga mampu membantu kamu mengelola stres dan tekanan emosional yang kita hadapi sehari-hari. Kemudian dikutip dari Landers (1997), olahraga secara rutin juga bisa membantu kamu mengurangi gejala kecemasan dan depresi, meningkatkan self-esteem, dan tentu saja, membuat kamu tidur lebih nyenyak.
Nah, itu tadi tips dari Riliv buat mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat. Kamu pilih yang mana, nih? Atau mungkin malah punya caranya sendiri? Oiya, jangan lupa bahwa konsultasi dengan profesional juga bisa membantu kamu lebih efektif dalam meregulasi emosi juga, lho. Jadi kalau kamu membutuhkannya, hubungi psikolog Riliv untuk booking konseling, ya!
Referensi:
Landers, D. (1997). The Influence of Exercise on Mental Health. President’s Council Phys Fitness Sports Res Dig. 2.
Linehan M. (1993). Cognitive–behavioral treatment of borderline personality disorder. New York: Guilford Press.
Schouten, A., Boiger, M., Kirchner-Hausler, A., Uchida, Y., & Mesquita, B. (2020). Cultural Differences in Emotion Suppression in Belgian and Japanese Couples: A Social Functional Model*. Frontiers in Psychology, 11,* 1048–. doi:10.3389/fpsyg.2020.01048
Smyth, J. M., Johnson, J. A., Auer, B. J., Lehman, E., Talamo, G., & Sciamanna, C. N. (2018). Online Positive Affect Journaling in the Improvement of Mental Distress and Well-Being in General Medical Patients With Elevated Anxiety Symptoms: A Preliminary Randomized Controlled Trial. JMIR mental health, 5(4), e11290. https://doi.org/10.2196/11290
Witkowski, G. (2017). The Effect of Emotionally Validating and Invalidating Responses on Emotional Self-Efficacy. Dissertation: Walden University.