Locus of control – Apakah kamu termasuk orang-orang yang susah mengaplikasikan kebiasaan baik? Sebagai contoh, kamu pernah berniat buat nge-gym selama seminggu ke depan biar punya six pack. Tapi, di tengah jalan, kamu malah tergoda pergi kulineran bareng teman-temanmu. Alhasil, perjalanan mencapai tujuan kamu dapat six pack jadi terganggu. Padahal, kamu tahu bahwa kamu bisa menolak ajakan teman-teman kamu buat pergi kulineran dan nge-gym sebagai gantinya, bukan?
Dari kisah di atas, bisa disimpulkan bahwa setiap pilihan hidupmu menentukan hasil yang akan kamu dapatkan. Dalam psikologi, ada bahasan menarik soal ini, lho! Yuk, kita kenalan sama locus of control!
Dari Mana Konsep Locus of Control Berasal?
Teori locus of control dikemukakan oleh Julian B. Rotter tahun 1954. Teori ini berpendapat bahwa ada pengaruh dari luar maupun dalam diri kita yang bisa berperan dalam setiap pilihan hidup. Dalam kasus ini, locus of control dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Terus, apa kaitannya dengan perilaku kita sehari-hari?
Mari kembali pada niatan kamu buat nge-gym. Kalau kamu punya locus of control internal, kamu akan berpikir bahwa kehendak untuk skip nge-gym itu datang dari dalam diri kamu. Intinya, kamu yang harus bertanggung jawab terhadap pilihan hidupmu. Sebaliknya, bila kamu punya locus of control eksternal, kamu bakal menganggap bahwa kamu nggak punya pilihan selain mengikuti kata temanmu, dan itu berarti teman kamu yang bertanggung jawab sama kegagalan kamu nge-gym.
Dari sini, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa locus of control akan mempengaruhi motivasi kamu melakukan sesuatu. Nah, maka dari itu, jika kamu punya keinginan untuk mencapai tujuan atau mengaplikasikan kebiasaan baru, ada baiknya kamu mengidentifikasi locus of control-mu, supaya kamu memahami hal-hal yang bisa menggoyahkan niatmu mencapai tujuan tersebut.
Teori Lain yang Mendukung Locus of Control
Kalau dibahas lebih lanjut, locus of control juga memiliki kesamaan dengan teori lainnya yang dikemukakan para ilmuwan psikologi, lho! Apa saja?
Teori Self-Efficacy
Albert Bandura mengatakan bahwa self-efficacy dapat mempengaruhi motivasi kita melakukan suatu tindakan. Menurut konsep dari Bandura, orang yang punya self-efficacy tinggi akan cenderung lebih percaya diri dan percaya bahwa mereka punya kemampuan untuk mengubah hidupnya. Sebagai contoh, kalau kamu percaya bahwa kamu bisa mengerjakan soal ujian yang sulit, maka kamu akan termotivasi untuk belajar giat, lalu dengan berani melangkah memasuki ruang ujian, tak peduli apa pun outcome-nya.
Teori Atribusi
Teori lain yang masih ada kaitannya dengan locus of control adalah teori atribusi-nya Bernard Weiner yang mengatakan bahwa faktor-faktor tertentu dapat mempengaruhi cara kita mengartikan suatu keberhasilan. Menurut Weiner, ada tiga kategori yang mempengaruhi atribusi seseorang:
- Stability (stabil tidaknya perubahan terjadi secara berkala),
- Controllability (mampu tidaknya kita mengontrol hal yang menunjang keberhasilan), dan
- Locus of control (internal dan eksternal).
Menurut Weiner, sebelum mengatribusi suatu kejadian atau perilaku, kita harus melewati tiga proses:
- Kita harus melihat atau mengamati perilaku tersebut.
- Kita harus percaya bahwa perilaku tersebut dilakukan dengan sengaja.
- Kita harus menentukan apakah mereka percaya bahwa orang lain dipaksa untuk melakukan perilaku tersebut.
Masih bingung? Mari breakdown bersama-sama!
Katakanlah, kamu sudah berhasil mengerjakan soal ujian, terus kamu dapat nilai A. Sesuai dengan konsep Weiner, apabila kamu mengatribusi kejadian tersebut berdasarkan kategori stability, kamu akan berpikir seperti ini: “Mungkin aku dapat nilai A karena selama ini aku bisa mempertahankan kondisi nilai yang bagus.” Di sisi lain, kalau kamu mengatribusi berdasarkan controllability, kamu akan berpikir: “Mungkin aku dapat nilai A karena kemampuanku manajemen diri.”
Memanfaatkan Locus of Control untuk Mencapai Tujuan Hidup
Di antara internal versus eksternal, mana locus of control yang lebih baik? Jawabannya, jelas tidak ada yang lebih baik. Setiap orang punya persepsinya masing-masing, berdasarkan situasi atau kondisi yang dialaminya. Misalnya, orang yang punya semangat juang tinggi mungkin akan cenderung punya locus of control internal, berkebalikan dengan orang yang hidupnya selow. Mau locus of control apa pun yang kamu miliki, dua-duanya bisa kamu manfaatkan untuk menggapai tujuan dalam hidupmu sebagai dasar motivasi. Pengen tahu caranya? Ini dia
Mengidentifikasi Locus of Controlmu
Rotter telah menyusun sebuah skala yang berjumlah 29 aitem yang digunakan untuk membantu mengidentifikasi locus of control-mu. Skala ini sudah banyak dipakai di mana-mana dan hasilnya bisa kamu skoring sendiri. Jika kamu sudah memahami kecenderungan locus of control-mu, kamu juga akan memahami cara kamu coping stress dan memotivasi diri. Proses ini akan melibatkan refleksi diri yang mendala
Buat Rencana untuk Pengembangan Diri
Setelah melewati tahap pertama, jangan berleha-leha dulu! Mari kita membuat roadmap! Roadmap adalah sebuah pemetaan rencana yang akan kamu tempuh untuk pengembangan diri. Kamu bisa menggunakan dasar framework apa pun untuk membuat roadmap. Sebagai awalan, kamu bisa melakukan analisis S.W.O.T., yakni mengidentifikasi strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan), dan threat (ancaman yang potensial). Analisis S.W.O.T. sangat sering dilakukan dalam setting organisasi untuk mengkaji sebuah bisnis. Selain S.W.O.T, kamu bisa juga menggunakan teori goal setting untuk memetakan hal-hal yang bisa membantumu mencapai tujuan. Menurut Locke dan Latham, dalam mencapai tujuan hidup, ada 5 prinsip yang harus kita perhatikan, yaitu:
- Clarity: apakah tujuan tersebut cukup konkrit?
- Challenge: tantangan apa yang akan kamu hadapi?
- Task complexity: serumit apa tujuan yang akan kamu capai?
- Commitment: seberapa ingin kamu berkomitmen terhadap tujuan tersebut?
- Feedback: apa pendapat orang-orang di sekitarmu mengenai tujuan tersebut?
Evaluasi Diri
Suka atau tidak, hidup itu nggak pernah mulus. Pasti bakal ada kesulitan yang akan kamu hadapi dalam mencapai tujuan. Mengevaluasi diri bukan hanya menjadi cara untuk mengetahui sejauh apa keberhasilanmu mencapai tujuan, namun juga mengamati apa yang perlu kamu perbaiki dari dirimu. Nah, kaitannya dengan tahap kedua, kamu bisa menggunakan feedback orang lain untuk mengevaluasi diri. Bagaimanapun juga, segala feedback bersifat suportif dan mendukung proses pembelajaran. Meskipun beberapa feedback agak sulit untuk dicerna, pastikan kamu nggak mengabaikannya demi kebaikan dirimu, ya!
Penutup
Nah, gimana? Sudah paham, kan, seputar locus of control? Harapan Riliv, setelah membaca artikel ini, siapa pun yang merasa hidupnya gitu-gitu aja bisa mulai bergerak untuk mengubah kebiasaan, sehingga tujuan hidupnya bisa tercapai. Tapi, nggak apa-apa juga, sih, bila kamu masih belum punya tujuan hidup. Perlahan tapi pasti, kamu akan menemukannya sendiri. Perjalanan menjadi orang yang lebih baik itu nggak akan mudah, tapi hasilnya akan worth it untuk kebaikanmu sendiri. Apakah kamu masih punya kesulitan menghadapi hidup dan menentukan tujuan? Jangan khawatir! Psikolog Riliv siap membantumu. Yuk, booking jadwal konseling bersama psikolog Riliv sekarang!
Referensi:
Al-Bashir, M., Md., Kabir, M. Md., & Rahman, I. (2016). The Value and Effectiveness of Feedback in Improving Students’ Learning and Professionalizing Teaching in Higher Education. Journal of Education and Practice, 7 (16), 38-41.
Locke, E., & Latham, G. (1991). A Theory of Goal Setting & Task Performance. The Academy of Management Review, 16. 10.2307/258875.
Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological monographs: General and applied, 80(1), 1.