Percaya atau tidak, gangguan mental seperti depresi maupun anxiety adalah dua di antara sekian banyaknya isu psikologi yang paling sering kita bicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap orang yang kita temui pasti memilki mental health journey-nya sendiri, mulai dari yang berusia remaja hingga dewasa.
Di zaman sekarang, kehidupan masa remaja saja sudah berubah semakin kompleks. Aktivitas yang padat dan tuntutan yang semakin tinggi seiring berjalannya waktu, membuat remaja menjadi salah satu golongan yang paling rentan terkena gangguan kesehatan mental.
Risiko Gangguan Psikologis di Kalangan Remaja
Berdasarkan riset terkini dari Journal of Pediatrics, meningkatnya risiko masalah psikologis pada remaja dilatarbelakangi oleh banyak faktor, antara lain bullying, dinamika sosial di lingkungan mereka, masalah keluarga, trauma dalam pertemanan atau pelajaran sekolah, dan lain sebagainya.
Selain itu, menurut WHO, masa remaja menandai saatnya seseorang mulai mengembangkan perilaku sosial dan emosional, yang berdampak pada well-being mereka, seperti mekanisme coping stres, problem solving, dan kemampuan interpersonal. Namun, masalah-masalah yang mereka alami bisa menjadi penghambat perkembangan perilaku-perilaku tersebut. WHO bahkan mencatat bahwa 1 dari 7 (14%) anak berusia 10-19 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Namun sayangnya, sebagian besar masih belum dikenali dan tidak diberi treatment.
Berkaca pada uraian di atas, apa saja gangguan mental yang patut diwaspadai di kalangan remaja?
Depresi
Depresi, sebuah nama yang pastinya familier di telinga kita. Depresi ditandai dengan perubahan mood, emosi, **dan perilaku yang drastis pada seseorang. Menurut DSM-5, depresi ditandai dengan gejala-gejala berikut:
- Suasana hati yang tertekan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
- Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata pada semua, atau hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
- Penurunan berat badan yang signifikan.
- Perlambatan pemikiran dan gerakan fisik.
- Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
- Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan.
- Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi.
- Ideasi bunuh diri yang berulang.
Mengatasi depresi memang bukan hal mudah. Namun, ada jenis terapi yang efektif untuk mengatasinya, yaitu terapi perilaku kognitif. Terapi ini biasanya berlangsung selama 12-16 minggu.
Selain itu, treatment yang wajib dilakukan adalah mengonsumsi obat-obatan antidepresan, mengikuti support group, dan berolahraga. Mengapa berolahraga? Selain menyehatkan tubuh, olahraga juga mampu mengembalikan mood yang positif, meningkatkan kemampuan kognitif, dan memberikan kebiasaan baru yang bermanfaat.
Kecemasan
Kecemasan atau anxiety adalah hasil dari respon negatif terhadap stres yang dialami seseorang. Usut punya usut, sekitar 7% remaja berusia 3 hingga 17 tahun mengalami masalah kecemasan setiap tahun, dan kebanyakan orang mengalami gejala sebelum usia 21 tahun.
Gangguan kecemasan ditandai dengan gejala-gejala umum sebagai berikut:
- Kegelisahan atau perasaan tegang atau gelisah.
- Mudah lelah.
- Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong.
- Muncul emosi yang impulsif.
- Otot-otot menegang.
- Kesulitan tidur.
Salah satu cara mengatasi kecemasan adalah mempraktikkan mindfulness dan membiasakan diri untuk meregulasi emosi dan pikiran-pikiran negatif melalui aktivitas-aktivitas tertentu, misalnya latihan pernafasan, olahraga, dan meditasi.
Eating Disorder
Gangguan makan atau eating disorder adalah kondisi psikologis di mana seseorang menolak makan atau justru mengkonsumsi makanan berlebihan. Jenis-jenisnya meliputi bulimia nervosa, anorexia nervosa, dan binge eating. Untuk contoh nyatanya, Teman-teman bisa mencari kisah mengenai Eugenia Cooney. Dia adalah seorang Youtuber yang engidap anorexia nervosa dan sempat diancam di-ban dari Youtube karena dianggap memberi pengaruh gaya hidup yang buruk pada remaja yang menjadi viewers-nya.
Usut punya usut, semasa bersekolah, Eugenia pernah mengalami bullying. Kita semua tahu bahwa bullying dapat mempengaruhi seseorang dari segi kesehatan fisik dan mental. Riset yang dilakukan Copeland (2015) melaporkan bahwa anak atau remaja yang pernah mengalami bullying terbukti memiliki kecenderungan mengidap eating disorder, sebab bullying tersebut bisa mempengaruhi *self-esteem* yang rendah terkait bentuk tubuh.
Berikut ini adalah gejala-gejala eating disorder yang tampak pada remaja:
- Bibir pecah-pecah, kulit kering, dan tampak pucat keabu-abuan.
- Sering pingsan karena kekurangan gizi dan dehidrasi.
- Mengalami kerontokan rambut.
- Siklus menstruasi tidak teratur pada wanita.
- Pola tidur terganggu.
- Erosi gigi (biasanya pada penderita bulimia nervosa).
- Obesitas (pada penderita binge eating disorder).
- Tekanan darah dan denyut nadi sangat rendah.
- Mudah terserang penyakit kronis, seperti gangguan pernafasan atau masalah pencernaan.
Treatment eating disorder harus melibatkan rangkaian terapi yang intensif, bahkan sampai harus rawat inap karena kerentanan pasien terhadap penyakit. Pilihan terapi yang direkomendasikan adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengidentifikasi pola pikir dan perilaku penderita eating disorder. Selain itu, Interpersonal Psychotherapy (IPT) juga bisa menjadi cara yang efektif untuk mengeksplorasi masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan interpersonal penderita eating disorder.
ADHD
ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder sebetulnya bukan gangguan mental, namun lebih tepat disebut gangguan belajar yang ditandai dengan kurangnya perhatian dan perilaku hiperaktif-impulsif yang dapat mengganggu perkembangannya dalam belajar atau berinteraksi dengan orang lain. Persentase remaja yang mengidap ADHD pada usia 13-14 tahun sebanyak 8.8%, 15-16 tahun sebanyak 8.6%, dan 17-18 tahun sebanyak 9%.
ADHD sangat erat kaitannya dengan kesulitan belajar atau learning disorder pada remaja. Maka dari itu, remaja yang mengidap ADHD akan mengalami gejala-gejala berikut:
- Kurang fokus pada pelajaran di sekolah.
- Perilaku tidak teratur dan suka lupa.
- Seringkali tidak mempedulikan orang lain karena fokus pada dirinya sendiri.
- Hiperaktif dan mudah gelisah.
- Emosi yang meledak-ledak dan tidak suka penolakan.
- Seringkali impulsif dan mengambil keputusan dengan terburu-buru.
- Konsentrasi yang buruk dan kesulitan menyelesaikan tugas-tugas di sekolah.
Untuk menangani ADHD pada anak dan remaja, dibutuhkan terapi behavioral untuk menetapkan self control dan self esteem. Di sisi lain, orang tua dan guru juga harus diberi bimbingan untuk menghadapi anak dan remaja yang mengidap ADHD selama menjalankan program di rumah maupun di sekolah, sehingga anak-anak tersebut tidak tertinggal pelajaran dari teman-temannya.
Borderline Personality Disorder (BPD)
BPD adalah gangguan kepribadian yang banyak diidap oleh remaja, terutama anak-anak perempuan. Gangguan kepribadian ini berefek kepada kemampuan remaja dalam mengontrol emosinya. Remaja yang mengidap BPD akan cenderung berperilaku impulsif, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya. Biasanya BPD juga bisa terjadi berdampingan dengan gangguan mental lainnya, kecenderungan mengonsumsi obat-obatan terlarang dan alkohol yang dilakukan oleh remaja, depresi, dan eating disorder.
Sejumlah gejala BPD yang umum dialami pada remaja antara lain:
- Emosi yang meledak-ledak dan amarah yang tidak terkontrol, terkadang disertai penyesalan.
- Cenderung berperilaku impulsif dan tidak memikirkan konsekuensi perilakunya.
- Self harming atau melukai diri sendiri, bahkan berniat bunuh diri.
- Mudah bosan atau merasa ‘kosong’ dengan hidupnya.
- Gambaran diri yang terdistorsi, misalnya merasa tidak yakin dengan diri sendiri atau menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain, sehingga mempengaruhi opini, nilai pribadi, dan hubungan dengan orang lain.
- Tidak bisa membangun komitmen dalam hubungan interpersonal.
- Merasa tidak ‘menyatu’ dengan tubuhnya, sehingga tidak sadar dengan apa yang dia lakukan.
- Cenderung mengalami paranoid tanpa sebab yang jelas atau episode psikotik.
Oleh karena kompleksitasnya, BPD membutuhkan perawatan yang intensif. Salah satu terapi yang direkomendasikan adalah Dialectical Behavioral Therapy (DBT). DBT berfokus kepada bagaimana cara meregulasi emosi dengan menerima dan memvalidasi emosi yang dirasakan, serta mengajak klien untuk melihat segala sesuatu dari berbagai perspektif.
Berbagai gangguan yang disebutkan di atas hanyalah informasi yang ditujukan sebagai edukasi kesehatan mental. Apabila kamu mencurigai adanya gejala depresi, kecemasan, eating disorder, dan sebagainya pada dirimu, segeralah mengontak psikolog yang kamu kenal untuk mendapatkan informasi yang menyeluruh, ya. Jangan sampai asal self diagnose dan mencurigai mereka berdasarkan sepenggal informasi yang kamu dapatkan.
Kamu juga bisa konsultasi dengan psikolog dan konselor Riliv yang lebih terpercaya di mana pun kamu berada.
Booking dulu jadwalmu sekarang, dan dapatkan diskon hingga 20%!