Pasien Klinik Psikologi – Berawal dari curhat biasa dengan kawan lama yang hampir setengah tahun tak berjumpa, akhirnya saya tiba di tempat itu. Sebuah rumah biasa, tak ada bedanya dengan rumah-rumah karyawan bergaji di bawah 7 juta yang kemungkinan sulit ikut beli rumah DP nol persen. Namun, ada pertentangan hebat baik dalam diri saya, maupun dari orang-orang di sekitar saya sebelum saya sampai di sana.
“Kamu ke psikolog? Ngapain sih? Emangnya kamu gila?”
“Kayak nggak punya Tuhan aja kamu, pakai ke psikolog segala.”
Tapi ada juga yang di posisi sebaliknya. Saat disarankan untuk menemui psikolog atau mungkin sekalian ke psikiater, dia justru tersinggung dan menjawab: “Mbok pikir aku gendheng piye?!”
Nah, itu dia! Kadang saya takjub dengan kecepatan orang dalam mengkotak-kotakkan sesuatu. Sering pulang malam dianggap cewek nggak bener, mengkritisi program Anies Baswedan dibilang Ahokers, kuliah di jurusan filsafat dianggap ateis, umur 25 ke atas masih jomblo dibilang nggak laku dan kesepian, di bangku SMA, yang mengunjungi ruang BK dianggap anak bermasalah, dan konsultasi ke psikolog pastinya dianggap ora waras alias stres menjelang gila.
Mungkin karena itu juga, orang-orang terlalu takut untuk konsultasi psikologis karena takut dianggap gila. Hingga akhirnya, berita-berita orang bunuh diri menghiasi media massa.
Curhat di media sosial di-bully, kepada teman dekat pun tak membuat lega hati, mengungkapkan kecemasan malah dibilang lebay
Kadang, saat mendengar atau membaca berita orang bunuh diri, saya merasa makseerr dalam hati. Dalam pikiran saya, mungkin saja dia yang bunuh diri itu sebelumnya sudah mencoba curhat ke teman, tapi dibilang lebay.
Sudah berusaha menjerit di media sosial, tapi malah dibilang alay. Sudah menunjukkan gejala-gejala tertekan dan depresi, tapi dibilang cari perhatian. Saya memang nggak kenal dengan yang bunuh diri, tapi sekali atau dua kali, mungkin saya pernah juga mengabaikan teman yang sedang galau luar biasa.
Permasalahan setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang merasa hidupnya selesai setelah putus cinta, ada yang merasa hidupnya tak berarti saat gagal mendapat pekerjaan impian. Nggak ada standar mutlak untuk menentukan persoalan A lebih berat dari persoalan B kan?
Karena kita nggak pernah tahu bagaimana beratnya orang lain menghadapi persoalan itu. Mirip dengan soal jatuh cinta lah. Selera setiap orang berbeda, persoalan setiap orang berbeda.
Inilah kenapa cerita setiap pasien klinik psikologi sangat beragam.
Terkadang saya memang merasa gila, tapi apakah orang gila tahu bahwa dirinya gila?
Jadi, apakah saya ini gila? Mungkin saja. Karena ada kalanya, saya merasa begitu banyak suara di kepala. Ini itu semua dipikirkan, padahal kalau dipikir-pikir lagi sebenarnya nggak penting juga.
Atau mungkin saya hanya stres saja? Bisa jadi. Kaum milenial zaman sekarang yang dibebani banyak tuntutan mulai dari gaya hidup sampai harus setor jodoh di pertemuan keluarga, siapa sih yang nggak stres?
Nah, menurut sumber-sumber yang saya pelajari, stres harus ditangani sebelum menjadi depresi bila:
- Moodswing-nya sudah mulai kebangetan
- Kehilangan motivasi, bahkan untuk sekadar bangun di pagi hari
- Jadi susah tidur dan pola makan pun berubah
- Gampang cemas karena hal-hal sepele (yang sebenarnya nggak ada)
- Sakit secara fisik
- Mulai berpikir soal kematian
Susah tidur itu nggak enak lho! Karena kalau nggak bisa tidur, saya akan cari kegiatan, semisal membongkar rak buku tengah malam dan menyusunnya ulang sesuai abjad.
Dan kebetulan, saya ini orang yang lumayan gampang panik. Jadi, ketika tanda-tanda itu mulai saya alami, dan ke dokter jadi kegiatan rutin setidaknya seminggu sekali, saya jadi berpikir satu hal: harus cari bantuan!
Saya memang butuh bantuan untuk terapi jiwa, tapi bukan berarti saya gila. Kami hanya orang-orang yang berusaha mengobati diri sendiri
Mungkin benar persoalan saya nggak seberapa dibanding orang-orang di luar sana. Dan mungkin benar juga, sebenarnya saya hanya butuh teman curhat.
Tapi, karena kecemasan-kecemasan itu, saya juga lebih mengenali diri sendiri. Curhat kepada teman kurang leluasa, sebab terkadang saya masih berpikir soal image diri. Tengsin ‘kan kalau dia tahu kita punya ketakutan-ketakutan tolol nggak masuk akal?
Karena itulah, saya memilih untuk bertemu dan bercerita dengan orang asing. Toh, kepada orang asing, saya nggak punya kekhawatiran soal gengsi reputasi apalah-apalah itu.
Meski tahu tanggal lahir dan latar belakang dari formulir yang saya isi, dia ‘kan nggak kenal saya. Jadi, selain psikolog bisa membantu saya mencari tahu apa yang salah dengan diri saya, segala isi pikiran saya juga bisa keluar mrebes mili tanpa saringan bak tanggul jebol.
Memang sih kecemasan saya nggak langsung lenyap bagai disihir Harry Potter setelah saya konsultasi. Saya masih harus melakukan terapi dan banyak upaya untuk mengembalikan motivasi diri. Tapi seenggaknya, saya lega. Karena saya tahu apa yang salah dengan diri saya, dan saya sudah berusaha mencari jalan keluarnya.
Jadi, apakah saya ini sedang menduakan Tuhan dengan menemui seorang psikolog daripada berkeluh kesah pada-Nya? Kalau memang iya, saya ingin menanyakan hal yang sama kepada mereka yang pernah berobat ke dokter karena masuk angin, pilek, atau penyakit-penyakit lainnya.
Toh, selain berserah diri, Tuhan juga menyuruh kita untuk ikhtiar. Gimana saya bisa sembuh kalau saya cuma berdoa tanpa pernah berobat? Gimana saya bisa lolos interview kerja kalau saya hanya berdoa saja tanpa berusaha memperbaiki diri maupun CV? Gimana saya bisa kaya kalau saya cuma berdoa, tanpa pernah berusaha?
Tapi sudahlah. Kuliah di filsafat dibilang ateis, yowes. Konsultasi dengan psikolog dibilang menduakan Tuhan, biarin saja. Toh, soal hubungan saya dengan Tuhan, ya hanya saya dan Tuhan yang tahu. Orang lain ndak perlu tahu tho?
Jadi, apakah dengan menjadi pasien di klinik psikologi, berminggu-minggu menjalani terapi untuk mengembalikan kesehatan hati, saya otomatis gila? Saya sih merasa masih waras karena masih ingat jobdesc pekerjaan dan lumayan bisa memadu-padankan pakaian.
Sama seperti orang yang sedang masuk angin kemudian berobat ke dokter, saya dan banyak pasien lainnya, hanyalah seseorang yang sedang sakit dan berusaha berobat.
Saya tahu bahwa hidup memang penuh lika-liku. Kalau mulus-mulus saja ‘kan justru kurang seru. Dan berusaha kembali berdiri setelah jatuh berkali-kali adalah bukti bahwa hidup adalah seni.
Tapi, ada kalanya kita tidak mampu sendiri. Jadi, apa salahnya mencari bantuan agar persoalan terselesaikan? Toh, kita juga bukan Tuhan yang bisa melakukan segalanya sendirian.
Jadi tujuan dari curhatan ngalor-ngidul ini apa? Sepele sih. Intinya, untuk orang-orang yang butuh bantuan psikologis, nggak usah ragu-ragu. Saya adalah “pasien” klinik psikologi, dan saya masih merasa waras.
***
Artikel ini merupakan artikel kerjasama antara Hipwee dan Riliv.