Jam Kerja – Jam kerja para workaholic umumnya akan melebihi rekan kerja lainnya. Karyawan Anda yang workaholic sering dianggap sebagai karyawan yang sangat berdedikasi dan masih mengerjakan pekerjaan hingga lembur. Tak heran jika banyak profesional muda mengincar gelar ini. Padahal ada sisi gelap di balik jam kerja berlebih karyawan workaholic.
Sebuah laporan dari proyek Time Off The Work Martyr’s Cautionary Tale mensurvei sekitar 5.641 pekerja awal tahun ini dan menemukan bahwa 48% milenial yang berpartisipasi ingin dilihat sebagai seseorang yang bekerja keras.
Meskipun identitas diri semacam ini mungkin terdengar bagus bagi seorang HR atau manager, memiliki karyawan yang stres dan sering lembur di kantor sebenarnya merupakan sebuah bencana.
Karyawan yang merasa kelelahan akan mudah terserang masalah kesehatan, seperti stres dan burnout yang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja.
Sudah menjadi tugas HRD untuk mengatasi hal ini. Maka dari itu, Riliv akan berbagi beberapa cara bagi pengusaha dan profesional HRD agar dapat mendorong karyawan untuk benar-benar menggunakan jam kerja dengan baik serta mencapai keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik. Yuk simak!
1. Memberi contoh jam kerja seimbang
Karyawan sering kali ingin melakukan semua yang mereka bisa dalam kehidupan profesional dan pribadi mereka.
Dalam konteks ini, kehidupan keluarga sangat berarti bagi mereka. Dari survei Project: Time Off ditemukan ada sebanyak 86% karyawan yang percaya bahwa menjadi workaholic adalah hal yang buruk bagi keluarga mereka.
Karyawan yang bekerja keras dan melakukan hampir semuanya di kantor, mereka juga menginginkan keseimbangan kehidupan kerja. Menjalani kedua hal tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin dan karyawan membutuhkan bantuan untuk mewujudkannya.
Itu sebabnya memberi contoh kerja yang seimbang dari atasan bisa meringankan tekanan para penyuka kerja ini terutama kaum milenial.
Dari milenial yang disurvei Project: Time Off, 30% mengatakan bos mereka paling berpengaruh terhadap cara mereka menghabiskan waktu, dibandingkan dengan 20 persen yang mengatakan keluarga mereka paling berpengaruh.
Atasan harus memprioritaskan mengambil cuti dan meninggalkan kantor setiap hari pada waktu yang wajar.
Jadi, jika Anda berusaha menetapkan jadwal yang seimbang, berusahalah untuk displin dengan jadwal Anda. Mungkin dua hari seminggu pulang tepat di akhir jam kerja atau seminggu sekali berencana untuk pulang lebih awal.
Ketika karyawan melihat atasan menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan rumah, mereka cenderung merasa nyaman menjauh dari meja mereka dan melakukan hal yang sama.
2. Mendorong kualitas daripada kuantitas
Stres di tempat kerja, meskipun terkadang membantu, perlu untuk dikelola agar tidak menjadi burnout. Meski banyak karyawan ingin dilihat sebagai pekerja keras, karyawan menjadi tidak bahagia saat mereka merasa terlalu tertekan dan ketika mereka mencapai tingkat kewalahan.
Seperti yang ditemukan dalam Proyek 2016: Time Off, 47% karyawan yang tidak bahagia dengan pekerjaan mereka percaya bahwa dipandang sebagai workaholic oleh atasan mereka adalah hal yang baik.
Sekitar 46% karyawan yang dulunya tidak bahagia dengan perusahaan mereka percaya akan hal yang sama. Beberapa bahkan telah mengungkapkan perasaan stres.
Stres berat yang dialami oleh karyawan dapat menyebabkan produktivitas karyawan turun. Polling Internasional Monster tahun 2014 menemukan bahwa 42% dari 1.000 pencari kerja yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah meninggalkan pekerjaan karena lingkungan yang penuh tekanan.
Selain itu, 46% mengatakan mereka melewatkan waktu di tempat kerja karena stres terkait pekerjaan dan 61% mengatakan mereka percaya stres di tempat kerja telah menyebabkan penyakit.
Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan serta tingkat turnover yang melonjak dapat dicegah. Ini semua tentang kebiasaan kerja yang efisien dan menyadari bahwa pekerjaan terbaik tidak selalu menyita banyak waktu.
Ingatkan karyawan bahwa prioritas mereka seharusnya tidak menghabiskan waktu sebanyak mungkin di kantor tetapi untuk menghasilkan pekerjaan yang berkualitas.
Dengan begitu, karyawan akan memiliki lebih banyak waktu di siang hari untuk melakukan pekerjaannya dan melakukannya dengan baik.
Selain itu, pertimbangkan kebijakan yang mengizinkan karyawan pulang lebih awal jika pekerjaan mereka pada hari itu selesai.
Dengan pergeseran fokus ini, karyawan akan melihat nilai dalam menyelesaikan pekerjaan berkualitas tinggi secara efisien dan akan memahami bahwa pekerjaan mereka lebih penting daripada waktu yang mereka habiskan di kantor.
3. Rayakan hidup di luar kantor
Karyawan yang terobsesi dengan pekerjaan biasanya termotivasi untuk mempertahankan citra itu karena ketakutan.
Laporan Proyek: Time Off menemukan bahwa 65% karyawan yang disurvei mengatakan budaya kantor mereka mengenai pengambilan cuti cukup mengecewakan, membingungkan, dan tidak pernah membahas cuti sama sekali.
Generasi milenial merasakan hal negatif ini lebih dari rekan mereka. Dalam studi tersebut, 16% generasi milenial mengatakan bahwa mereka merasa tidak disetujui oleh atasan jika mengambil cuti.
Jadi, untuk mendapatkan karyawan dengan jam kerja seimbang, alihkan percakapan dari bisnis ke kehidupan.
Rayakan mereka yang menggunakan waktu istirahat mereka dan ajak orang lain mengikuti jejak mereka. Jika Anda membangun budaya yang merangkul kehidupan karyawan di luar kantor, mereka akan merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di sana.
Mulailah berbicara lebih banyak dengan orang untuk memastikan bahwa karyawan tidak takut dengan apa yang dipikirkan atasan tentang penggunaan PTO mereka.
Studi Gallup’s How Millennials Want to Work and Live menemukan bahwa 44% dari karyawan yang berpartisipasi mengatakan bahwa atasan mereka bertemu dengan mereka secara teratur telah terlibat, dibandingkan dengan hanya 20% dari karyawan yang terlibat yang mengatakan bahwa mereka tidak bertemu secara teratur dengan manajer mereka.
Sederhananya, hubungan yang baik berdampak besar pada karyawan. Ketika karyawan dan atasan terlibat dalam obrolan ringan dan berbagi pengalaman yang mereka miliki di luar kantor, karyawan akan merasa diyakinkan bahwa jam kerja seimbang sangat dibutuhkan dan dianjurkan.
Riliv for Company memiliki program kerjasama Employee Assistance Program sebagai berikut:
- Konseling karyawan langsung melalui chat tanpa harus repot mengatur jadwal bertemu untuk konsultasi psikologi online
- Kelas untuk karyawan dari pakar dunia psikologi, karir, dan mindfulness untuk menemukan performa maksimal dari karyawan Anda
- Konten mindfulness berupa audio guide mindfulness content untuk menciptakan fokus dan keseimbangan dalam bekerja dan beristirahat
- Asesmen psikologis yang terpercaya sehingga Anda bisa memastikan masalah apa yang dihadapi untuk menentukan solusi tepat guna
- Harga terjangkau karena Anda akan langsung mendapatkan semua paket dalam harga yang masuk akal
- Produktivitas terjaga karena karyawan tidak perlu meluangkan waktu pergi atau meditasi yang lama.
Bila Anda tertarik untuk bekerjasama dengan Riliv for Company demi investasi kesehatan mental para karyawan Anda, kontak Taya – 0895-6097-98517 atau Indra 0857-8587-5736 untuk informasi lebih lengkap tentang motivasi karyawan dan peningkatan produktivitas karyawan.
Disadur dari:
- https://www.entrepreneur.com/article/281752
Ditulis oleh Yuri Mahirta Sari.
Baca Juga:
HR, Kenali Gaya Jam Kerja Karyawan Millennials Ini
Jam Kerja Terlalu Lama Sebabkan Pekerja di Era Digital Mudah Mengalami Gangguan Mental?
7 Tips Lingkungan Kerja Menyenangkan: Karyawan Dijamin Betah!