Thirst Trap – Fenomena thirst trap kini begitu merajalela apalagi di dunia media sosial. Berbagai selfie yang dianggap seksi atau menarik seringkali dikaitkan dengan intensi menarik perhatian lawan jenis.
Beberapa konten bahkan seringkali dianggap kontroversial karena thrist trap sering dianggap vulgar dan tidak sopan. Bukan hanya dari segi ‘moralitas’ saja, namun banyak yang merasa risih dengan foto-foto selfie yang berkeliaran.
Mari kita berkenalan lebih jauh tentang fenomena ini.
Mengenal Apa Itu Thirst Trap
Istilah ini mengacu pada istilah populer bahwa dengan mengunggah sesuatu yang provokatif, pelaku akan menerima respon yang diincar atau diinginkan.
Thrist trap terjadi saat seseorang berhasil menjebak pikiran orang lain secara tidak sadar untuk mengakui hasrat mereka yang umumnya seksual dan dilakukan secara sengaja.
Dari definisi di atas, maka fenomena trap ini seringkali dikaitkan dengan perilaku seksual.
Adanya Proses Penerimaan dari Netizen
Salah satu konsep lain yang berkaitan dengan fenomena ini adalah proses penerimaan. Jika tujuan dari thrist trap adalah menciptakan reaksi tertentu dari netizen, tentunya ada proses pemahaman mengenai konten tersebut, bukan?
Proses penerimaan tidak terjadi begitu saja secara serentak. Ada proses pengolahan pesan dari kreator. Bagaimana media akan mempengaruhi warganet serta apa yang akan dilakukan warganet terhadap media.
Pada beberapa studi khususnya komunikasi, konten-konten seperti ini berpotensi untuk menjadi bahan penelitian untuk mengkaji bagaimana latar belakang netizen bisa memberikan respon terhadap kreator yang sengaja melakukan thrist trap lo!
Bentuk-bentuk thirst trap
Jika umumnya kamu menemukan foto-foto genit dan seksi sebagai salah satu bentuk thirst trap, rupanya ada beberapa bentuk lainnya, lo!
Visual memang menjadi salah satu bentuk umum yang digunakan untuk memancing kekaguman. Mulai dari menyoroti betapa bagusnya bentuk tubuh atau foto manis.
Selain itu, caption atau pun interaksi yang diberikan oleh para kreator memang mengarah ke konten seksual atau pun menggoda. Kegenitan ini tidak disembunyikan karena menjadi bentuk komunikasi yang ditujukan untuk thirst trap, lo.
Bedanya, interaksi atau caption tersebut cenderung ringan dan tidak memojokkan salah satu pihak, sehingga tidak bersifat pelecehan.
Sebagai Netizen, Bagaimana Mereka Menanggapi Fenomena Ini?
Banyak tanggapan positif maupun negatif terkait fenomena ini.
Fenomena positif biasanya dilihat dari perspektif adanya empowerment atau pemberdayaan serta adanya bentuk sosial dukungan untuk meningkatkan kepercayaan diri para kreator.
Apalagi jika para kreator merupakan kelompok minoritas, maka dukungan untuk membangkitkan kepercayaan diri pun semakin tinggi dari masyarakat.
Di sisi lain, fenomena negatif umumnya muncul dari perspektif adanya konsep kebutuhan validasi eksternal berlebihan di media sosial.
Apalagi jika terlalu menggantungkan diri pada likes atau pun respon dari netizen, maka jika hasilnya sebaliknya, tentu akan merusak harga diri para kreator.
Selain itu, umumnya kreator juga menampilkan foto yang sudah di-edit atau dipermak dari berbagai sudut sehingga menimbulkan kesan unrealistic beauty standard. Para netizen khususnya remaja mungkin akan menganggap mereka menjadi sebuah panutan untuk kecantikan.
Validasi Eksternal Sejatinya Memang Pisau Bermata Ganda!
Bicara soal validasi, tidak salah jika manusia membutuhkan dari pihak eksternal sekali pun. Namun di sisi lain, muncul pula risiko adanya ketergantungan validasi apalagi jika berupa angka likes dan comments.
Validasi adalah sebuah kebutuhan, tetapi jika menjadi perilaku konsisten, maka hal ini juga mengancam kesehatna mental, lo.
Kepercayaan diri merupakan evaluasi subjektif terkait harga dari diri kita. Konsep ini sudah ada sejak lama, namun obsesi terhadap kepercayaan diri dan validasi justru muncul pada tahun 80 hingga 90-an.
Seringkali orang lupa bahwa validasi internal juga diperlukan dalam diri, namun validasi eksternal menjadi lebih mudah diakses sehingga approval dari orang lain menjadi konsep yang dibutuhan di era media sosial.
Sebagai Netizen, Apa yang Perlu Kamu Pahami tentang Konten Thirst?
Jika kamu berpapasan dengan konten semacam ini, kamu bisa menanyakan pada dirimu sendiri. Apa yang kamu rasakan tentang unggahan ini?
Apakah itu membuatmu marah, percaya diri, atau suportif?
Hal ini bisa merefleksikan pandanganmu terhadap representasi tertentu dari para kreator.
Jika hal ini membuatmu tidak nyaman, kamu bisa mengkaji kembali bagian apa yang membuatmu tidak nyaman?
Apakah unggahan itu mengingatkanmu pada suatu fenomena tertentu yang kamu berusaha hindari?
Perlu diingat bahwa sebuah unggahan hanyalah sebuah unggahan jika kamu tidak memprosesnya terlebih dahulu. Jika kamu sudah melabeli suatu konten dengan istilah tertentu, maka kamu sudah memproses dan memasukkan opini kamu terhadap konten tersebut.
Kamu boleh merasa tidak nyaman, tetapi bukan berarti kamu harus memberikan opini negatif bahkan menyuarakan keenggananmu terhadap unggahan selfie orang-orang, ya.
Kamu bisa segera skip atau pun mungkin unfollow para kreator tersebut.
Setelah itu, jika kamu sudah menemukan inti dari permasalahan mengapa perasaan negatif ini bisa muncul, kamu bisa kok mendiskusikannya dengan psikolog profesional!
Mulai dari membahas perasaan tidak nyaman hingga kesulitan mengontrol amarah karena thirst trap, psikolog akan membantumu untuk mengenali core problem dan bergerak bersama untuk mengurangi reaksi dari unggahan serupa.
***
Sumber:
- https://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/13194/11454
- https://meramuda.com/relationship-tips/thirst-trap-pengertian-dan-efeknya-terhadap-harga-diri/
- https://greatist.com/discover/thirst-traps#how-to-set-a-thirst-trap
- https://www.shethepeople.tv/home-top-video/thirst-trap-trend-social-media/