Antidepresan – Dalam ranah psikologi klinis, obat-obatan antidepresan memang punya andil untuk treatment individu yang mengalami depresi, namun tahukah kamu? Yang namanya obat-obatan pasti menimbulkan ketergantungan jika digunakan dalam jangka waktu lama. Lebih jauh lagi, konsumsi antidepresan yang terus menerus juga bisa menimbulkan problem kesehatan yang serius, lho. Kok bisa, sih? Baca penjelasannya dalam artikel ini, yuk!
Fungsi dan Jenis-jenis Antidepresan
Sesuai dengan namanya, antidepresan bermanfaat sebagai inhibitor atau penghambat munculnya gejala depresi. Obat-obatan ini memiliki kandungan yang dapat menstimulasi neurotransmitter serotonin dan noradrenalin. Kedua neurotransmitter ini berperan dalam kondisi mood dan reaksi emosional positif. Dilansir dari website NHS, macam-macam antidepresan yang paling sering diresepkan oleh dokter adalah sebagai berikut:
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
Antidepresan jenis SSRIs adalah jenis obat-obatan yang ‘ringan,’ sehingga kecenderungan overdosisnya sangat rendah. Beberapa obat yang termasuk SSRIs adalah citalopram (Cipramil) dan sertraline (Lustral).
Noradrenaline and specific serotonergic antidepressants (NASSAs)
Terkadang, minum obat tertentu bisa jadi nggak mempan atau justru berdampak buruk. Maka dari itu, ada alternatif dari SSRIs yang diresepkan dokter bernama NASSAs. Namun, obat-obatan ini punya efek samping, yaitu bisa menyebabkan kantuk. Salah satu obat yang termasuk NASSAs adalah mirtazapine (Zispin).
Serotonin antagonists and reuptake inhibitors (SARIs)
Sama halnya dengan NASSAs, SARIs merupakan antidepresan yang menjadi alternatif apabila efek samping obat tertentu berdampak buruk bagi seseorang. Karakteristik dan fungsinya mirip dengan SSRIs, yaitu menyeimbangkan kandungan serotonin di otak. Contoh obat SARIs adalah tradozone.
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Jenis antidepresan yang satu ini cukup berbahaya jika dikonsumsi sembarangan. Makanya, biasanya MAOIs akan direkomendasikan atas saran dokter spesialis, sehingga bukan menjadi pilihan utama seperti SSRIs. Contoh obat MAOIs adalah tranylcypromine.
Serotonin-noradrenaline reuptake inhibitors (SNRIs)
Efek obat-obatan jenis SNRIs sangat mirip dengan SSRIs, sehingga biasanya obat-obatan jenis ini tidak terlalu berbahaya. Biasanya, SNRIs juga digunakan untuk kondisi medis lainnya, seperti mengurangi gejala kecemasan dan pereda sakit. Contoh obat SNRIs antara lain duloxetine (Cymbalta dan Yentreve) dan venlafaxine (Efexor).
Tricyclic antidepressants (TCAs)
Meskipun efektivitasnya cukup baik, obat-obatan TCAs bisa dibilang sudah ‘kuno’ dan tidak lagi digunakan untuk menangani gejala depresi karena kecenderungan orang untuk ketergantungan obat ini sangat tinggi. Beberapa obat yang termasuk TCAs antara lain amitriptyline (yang juga bisa digunakan sebagai pereda sakit, layaknya morphine) dan nortriptyline.
Bahaya Konsumsi Antidepresan dalam Jangka Panjang
Dari uraian mengenai jenis-jenis antidepresan di atas, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa ketergantungan obat adalah risiko terbesar dari konsumsi antidepresan dalam jangka waktu lama. Hal ini terjadi karena tubuh kita terbiasa menerima asupan dari obat tersebut. Biasanya, orang-orang yang ketergantungan antidepresan akan mengalami withdrawal symptoms seperti sensasi aneh yang muncul dari tubuh, masalah kognitif, halusinasi, gemetar hebat, hingga nyeri pada bagian-bagian tubuh.
Di samping ketergantungan, menurut penelitian Ramic (2020), orang-orang yang mengonsumsi antidepresan dalam jangka waktu lama berpotensi mengalami gangguan kesehatan, seperti sakit perut, mual-mual, diare, mulut kering, berkeringat parah, konstipasi, dan penurunan berat badan. Di samping itu, ada spekulasi bahwa antidepresan justru bisa mengakibatkan kenaikan berat badan yang drastis. Namun, bisa jadi hal ini kurang tepat, karena banyak faktor yang bisa mempengaruhi kenaikan berat badan kita. Misalnya, faktor genetik, pola makan, dan kurang olahraga.
Sementara itu, efeknya secara psikologis juga nggak kalah ngeri. Antidepresan yang dikonsumsi dalam jangka panjang bisa menyebabkan seseorang menjadi apatis, kehilangan gairah seksual, memicu kejang-kejang, dan yang terburuk, bisa menjadi awal dari munculnya serotonin syndrome, yakni gangguan psikologis yang diakibatkan berlebihnya kadar serotonin dalam tubuh, sehingga seseorang menjadi hiperaktif dan euforia berlebih. Waduh, kalau sudah tahu kerugiannya, gimana ya caranya menangani depresi selain minum obat?
Alternatif Treatment Depresi selain Pengobatan
Untuk siapapun yang mengalami depresi, pastinya akan sangat sulit untuk menghentikan perasaan was-was, mood yang berantakan, dan keinginan bunuh diri yang terus menerus muncul. Sekalipun antidepresan bisa mengurangi gejala-gejala tersebut, bukan berarti gejala-gejala tersebut hilang sepenuhnya. Maka dari itu, treatment terbaik untuk depresi bukanlah melalui obat, melainkan dari perubahan kebiasaan dan pola pikir kita melalui terapi. Ini dia contoh-contohnya!
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
CBT adalah jenis terapi yang berbasis pada konsep bahwa pikiran dan perilaku kita saling berkaitan. Contohnya, jika pikiran kita selalu negatif, kita justru akan terjebak dalam pola perilaku yang negatif pula. Melalui CBT, klien yang mengalami depresi akan diajak psikolog untuk meninjau ulang dan mengelola pikiran-pikiran negatif yang muncul, lalu psikolog juga akan mendampingi klien tersebut untuk menganalisis perilaku-perilaku yang kurang helpful bagi perkembangan kesehatan mentalmu.
Interpersonal Therapy (IPT)
Berbeda dengan CBT yang berfokus pada pola pikir dan perilaku, IPT berfokus pada cara membangun hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain. Seperti yang kita ketahui bersama, penderita depresi cenderung menarik diri dari lingkungannya, sehingga rawan memunculkan perilaku maladaptif. Sama halnya dengan CBT, terapi ini berfokus pada masalah yang saat ini dihadapi, dan tidak menyinggung latar belakang klien. Melalui IPT, individu akan melewati tiga sesi. Yang pertama, klien akan diajak mengumpulkan informasi dan membuat keputusan tentang fokus terapi. Yang kedua, klien akan berkonsentrasi untuk mencoba memperbaiki area masalah yang dipilih atau area dengan dukungan psikolog. Yang ketiga, mendekati akhir terapi, psikolog akan membantu klien menangani rasa kehilangan dan me-review isu-isu yang sudah diidentifikasi sebelumnya, sehingga klien bisa melihat progress terapi tersebut terhadap dirinya.
Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT)
Ide MBCT pertama kali dicetuskan oleh Zindel Segal, John Teasdale, and Mark Williams. Terapi ini didesain untuk mengatasi kerentanan klien terhadap kekambuhan gejala depresi. Uniknya, praktik MBCT menggabungkan CBT dengan praktik mindfulness-based stress reduction (MBSR) yang dikembangkan Jon Kabat-Zinn. Inti utama dari terapi ini adalah kesadaran pada saat ini (present moment awareness), sehingga klien akan diajak untuk memahami tentang emosi yang mereka rasakan atau pikiran-pikiran negatif yang muncul.
Nah, buat kamu atau kerabat kamu yang dicurigai mengalami gejala depresi, jangan ragu berkonsultasi ke profesinal untuk penanganannya, ya! Lebih tepatnya, jangan asal diagnosis juga. Bagaimanapun juga, depresi adalah gangguan mental yang berat dan harus ditangani sebagaimana mestinya.
Oiya, tadi kita sudah membahas tentang terapi berbasis mindfulness untuk menangani depresi. Tapi, tahukah kamu? Selain punya fitur konseling online, Riliv juga punya segudang aktivitas berbasis mindfulness, lho! Kamu bisa menikmati fitur meditasi Mindful, menulis Journal, mendengarkan musik Lelap, dan mendeteksi mood dengan Mood Tracker! Yuk, jaga kesehatan mental bersama dengan aplikasi Riliv!
Referensi:
MacKenzie, M. B., & Kocovski, N. L. (2016). Mindfulness-based cognitive therapy for depression: trends and developments. Psychology research and behavior management, 9, 125–132. https://doi.org/10.2147/PRBM.S63949
Ramic, E., Prasko, S., Gavran, L., & Spahic, E. (2020). Assessment of the Antidepressant Side Effects Occurrence in Patients Treated in Primary Care. Materia socio-medica, 32(2), 131–134. https://doi.org/10.5455/msm.2020.32.131-134
Settle E. C., Jr (1998). Antidepressant drugs: disturbing and potentially dangerous adverse effects. The Journal of clinical psychiatry, 59 Suppl 16, 25–42.