Kekerasan seksual – Setiap perempuan pasti punya mimpi memiliki ruang yang aman untuk dirinya dan juga orang yang disayanginya, entah itu saat berada di ruang publik atau private. Tercatat bahwa semakin hari, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Dilansir The Jakarta Post, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat bahwa sejak 2017, kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di ranah publik dengan laporan lebih dari 2.500 kasus. Itu baru kasus yang terlapor, lho! Kita nggak pernah tahu kasus kekerasan terhadap perempuan itu seberapa banyaknya. Belum lagi, nggak sedikit korban memilih bungkam.
Prevalensi Kekerasan Seksual pada Wanita
Menurut data WHO terkini, sekitar 1 dari 3 (30%) wanita di seluruh dunia telah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual dalam hidup mereka. Sayangnya, banyak sekali stigma negatif yang dilayangkan untuk penyintas. Perilaku victim blaming seperti inilah yang kerap terus menyudutkan para penyintas dan membuat mereka terus terpojok. Nggak cuma itu, banyak alasan kenapa penyintas kekerasan seksual enggan melapor, salah satunya:
- Rasa malu
- Takut dan pelaku membalas perilaku penyintas
- Takut orang-orang disekitarnya tidak mempercayainya
- Takut dikucilkan dari masyarakat
Dampak Psikologis
Penyintas kekerasan seksual juga harus menghadapi dampak psikologis yang berat. Dilansir dari website Rainn.org, para penyintas akan rentan mengalami depresi, flashback memori yang diingat saat kejadian, sampai menghadapi post-traumatic stress disorder yang membuat penyintas kekerasan seksual cemas, takut, dan susah membuat keputusan atas hidupnya. Di samping itu, adanya kecenderungan memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Faktanya, penelitian terkini melaporkan bahwa korban kekerasan dan pelecehan seksual pernah melakukan percobaan bunuh diri sebesar 32%, sementara yang kepikiran bunuh diri sebesar 43%, dan ngerinya kebanyakan korban ini masih di bawah umur.
Tips Membantu Penyintas Kekerasan Seksual
Menempatkan diri sendiri di “sepatu” penyintas kekerasan seksual menjadi PR kita semua untuk mendukung pemulihan baik mental dan psikisnya. Berikut ini langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk membantu.
Mengedukasi Diri Sendiri
Hal ini paling mudah kita lakukan untuk membantu penyintas kekerasan seksual. Mengapa demikian? Dengan mengedukasi diri, kita jadi tahu langkah kuratif apa yang bisa membantu mereka, apa yang mereka rasakan, dan lain sebagainya. Selain itu, kita juga bisa memahami miskonsepsi dan stigma terhadap korban yang terlanjur meluas di masyarakat. Malah, lebih bagus lagi kalau kita juga mengedukasi orang-orang di sekitar kita, terutama anak-anak, mengenai sex education sebagai langkah preventif.
FYI, membaca artikel seperti ini juga sudah memberi akses pengetahuan kekerasan seksual untuk diri sendiri, lho! Good job!
Tetap tenang
Emang sih, mendengarkan cerita keluarga atau teman yang menjadi korban bisa bikin kita kaget hingga sedih. Tapi jangan cemas, itu semua normal, kok! Yang perlu diingat, menunjukan emosi ini secara berlebihan membuat penyintas semakin merasakan rasa sakit yang lebih sampai kebingungan.
Consent is a must!
Ketika para penyintas menceritakan hal yang dialaminya, otomatis kamu pasti ingin meredakan kesedihannya dan traumanya dengan memeluk atau memegang tangannya. Tapi perlu diingat, kejadian yang dialami penyintas mungkin saja membuat ia merasa kehilangan kontrol atas otoritas tubuhnya. Jadi tanyakan kembali, “Apa aku bisa peluk kamu?” atau “Aku bisa pegang tangan kamu?” dengan begitu kita bisa membangun rasa aman antara diri sendiri dan juga penyintas. Kalau penyintas berkata tidak, kita harus menghormati pilihannya dan jangan pernah memaksa.
Jangan jadi ember bocor!
Setiap penyintas membutuhkan keberanian yang besar menceritakan pengalaman yang tidak mengenakan ini, ditambah lagi mereka juga harus menahan rasa malu saat menceritakannya. Jadi, big no banget, kalau kamu malah menceritakan cerita penyintas ke orang lain, ya! Ingat, kita harus bisa menjaga privasi mereka untuk membalikan rasa percaya dirinya. Biarkan penyintas yang memilih siapa saja yang berhak tau kejadian yang menimpanya, supaya nggak memperdalam luka yang dialaminya.
Tanyakan apa yang bisa kita bantu
Jika kamu punya keinginan untuk membantu penyintas kekerasan seksual, sebaiknya kamu tanyakan kembali apa yang bisa kita bantu untuk membantu dia. Cukup tanyakan apa yang ia butuhkan, bukan mengambil alih semua situasi. Kamu bisa menanyakan apakah dia ingin ditemani di rumah, membantu menjalani pemeriksaan fisik, atau konseling dengan psikolog.
Encourage mereka berkonsultasi dengan ahlinya
Setiap penyintas membutuhkan terapi dan konseling dengan ahlinya, fungsinya agar trauma yang mereka rasakan tidak kambuh kembali. Salah satu terapi yang bisa dicoba adalah trauma-focused cognitive behavioral therapy yang fokus pada mengendalikan pola pikir dan emosi yang mereka alami. Kita bisa mendorong penyintas untuk mempertimbangkan treatment jenis apa pun, tapi jangan sampai memaksa, ya! Ingat, treatment apa pun nggak akan efektif kecuali penyintas terbuka dan ingin melakukan penyembuhan. Lebih baik sarankan dengan bijak dan tawarkan beberapa opsi, agar penyintas bisa membuat keputusan apa yang ia butuhkan.
Siapkah kamu membantu para penyintas kekerasan seksual?
Yuk, ikutan kampanye sosial #UNITEforWomenandGirls di aplikasi Campaign #ForChange! Caranya gampang banget! Tulis dan post surat berisi harapan kepada penyintas guna menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Kamu boleh menulisnya dengan tangan atau lewat digital note. Setiap aksi yang terkumpul akan dikonversi menjadi donasi untuk membantu proses trauma healing bagi para penyintas kekerasan seksual. Tunggu apa lagi? It’s time #ForChange!
Referensi:
Cowan, A., Ashai, A., & Gentile, J. P. (2020). Psychotherapy with Survivors of Sexual Abuse and Assault. Innovations in clinical neuroscience, 17(1-3), 22–26.
Plunkett, A., O’Toole, B., Swanston, H., Oates, R. K., Shrimpton, S., & Parkinson, P. (2001). Suicide risk following child sexual abuse. Ambulatory pediatrics : the official journal of the Ambulatory Pediatric Association, 1(5), 262–266. https://doi.org/10.1367/1539-4409(2001)001
Tirtawinata, Christofora M. “Importance of Sex Education Since Early Age for Preventing Sexual Harassment.” Humaniora Binus, vol. 7, no. 2, 2016, pp. 201-209.World Health Organization. (2012). Violence against women. Retrieved from World Health Organization: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women.