Daddy issues – Harus diakui, memang tidak ada sosok ayah yang sempurna di dunia ini. Tapi kalau sampai masalah dengan figur ayah menghantuimu hingga dewasa, efeknya bisa buruk bagi perkembangan hubungan kamu dan pasangan, lho! Inilah yang disebut secara populer dengan istilah daddy issues. Apa saja yang menyebabkan daddy issues dan bagaimana menanganinya? Riliv akan membahasnya di sini!
Saat Figur Ayah Gagal Jadi Panutan
Sosok ayah dalam keluarga seharusnya menjadi figur pendamping pertumbuhan anak dan pelindung yang bisa diandalkan. Namun, ada kalanya kita tidak merasa beruntung karena sosok ayah kita tidak seperti yang kita harapkan. Yang seharusnya mencari nafkah malah jarang pulang ke rumah, tidak punya waktu untuk menghabiskan waktu dengan kita, atau kurang mampu mengeskpresikan emosinya.
Dalam pandangan populer, orang yang punya daddy issues selalu diidentikkan dengan sifat manja, clingy, dan gampang tersinggung saat orang lain menyinggung sosok ayah di hadapannya. Sebetulnya, hal ini nggak salah. Beberapa orang yang memiliki daddy issues biasanya punya masalah attachment styles dengan figur ayahnya.
Menurut teori psikologi, attachment adalah segala usaha yang dilibatkan orang tua, tak terkecuali seorang ayah, untuk membuat anak merasa nyaman. Adapun attachment antara orang tua dengan anak terbagi menjadi secure attachment dan insecure attachment. Insecure attachment terjadi apabila orang tua gagal memberikan perasaan aman dan nyaman tersebut. Keseringan mengabaikan dan menginvalidasi emosi anak bisa menjadi pertanda adanya insecure attachment. Alhasil, anak akan terbiasa mencari cara lain untuk memvalidasi perasaannya, misalnya dengan mencari perhatian berlebih pada orang di sekitarnya.
Selain itu, anak yang memiliki insecure attachment dengan orang tuanya juga bisa mengalami kesulitan mengekspresikan emosi dengan baik. Hal ini disebabkan mereka terbiasa mendapatkan respon yang kurang mendukung dari orang tuanya, misalnya didiamkan, dibentak, atau diberi kata-kata kasar.
Dampak Daddy Issues pada Hubungan Percintaan
Seperti yang sudah dijelaskan, orang-orang dengan daddy issues punya masalah dengan attachment dan pengendalian emosinya. Dampaknya tentu saja buruk bagi hubungan interpersonal, apalagi yang bersifat romantis.
Dilansir dari artikel Psychology Today oleh Linda Nielsen, pasangan dengan daddy issues akan menunjukkan sikap atau perilaku sebagai berikut:
- Sulit mempercayai orang lain.
- Suka posesif, curiga, dan cemburu berlebihan kepada pasangan.
- Cenderung membutuhkan perhatian dan validasi.
- Tidak tahu bagaimana mengatasi masalah hubungan atau mengungkapkan emosi dengan baik.
- Sering banyak “drama” gara-gara masalah kecil.
- Merasa kurang percaya diri.
- Tidak siap berkomitmen pada hubungan yang lebih serius, atau terlalu bersemangat untuk membangun komitmen.
- Menggunakan seks untuk mendapatkan perhatian pasangan.
Jika pasangan kamu punya perilaku seperti di atas, mungkin sebaiknya kamu waspada karena orang-orang dengan daddy issues tidak semudah itu mengubah sikapnya. Justru kamu yang nanti akan dirugikan oleh pasangan karena menjadi pelampiasan masalah yang dideritanya. Namun, jika kamu curiga bahwa kamu mengalami daddy issues, segera hubungi psikolog untuk mencari saran profesional, ya!
Berdamai dengan Ketidakhadiran Sosok Ayah
Kita memang nggak bisa mengharapkan ayah kita menjadi Superman alias bisa segala-galanya. Satu-satunya cara untuk berdamai dengan fakta bahwa ayah kita bermasalah adalah menyadari bahwa, kemungkinan besar, hal itu juga berakar dari masalah lain. Entah dari hasil didikan masa kecil atau karena tuntutan sosial.
Seperti kata Caitlin Cantor dari Psychology Today, emotional wound atau luka emosi yang diderita oleh seseorang bisa mengakibatkan dirinya memproyeksikan perilaku negatif kepada orang lain. Dalam kasus ini, mungkin ayah kita punya luka masa lalu yang belum disembuhkannya.
Lalu, bagaimana dengan kita yang sudah terlanjur kena getahnya? Tentu saja, kita harus memahami bahwa apapun masalah kita, jangan sampai kita menyalahkan diri sendiri. Kalau kita terlalu sering berfokus pada kesalahan masa lalu, kita akan gagal melihat kemungkinan positif di masa depan yang akan kita dapatkan. Selain itu, sikap menyalahkan diri hanya akan membawa kita semakin dekat dengan jurang depresi.
Yang terakhir, untuk kamu yang pasangannya punya daddy issues, mungkin sudah waktunya kamu mencoba untuk lebih berempati dan memahami masa lalu pasangan. Bukan berarti kamu harus ada untuk dia setiap saat, kok. Kamu hanya perlu memberinya ruang untuk bertumbuh sambil mengingatkannya, dan terus mendukungnya untuk keluar dari permasalahannya. Orang dengan daddy issues butuh pasangan yang suportif. Mengikuti konseling pasangan bisa jadi salah satu caranya.
Seperti yang sudah Riliv sampaikan, jangan takut untuk membicarakan masalahmu kepada psikolog untuk mendapatkan saran yang lebih komprehensif. Riliv juga punya konseling khusus pasangan yang bisa kamu booking bersama pasanganmu, lho! Jangan khawatir, sebab konseling Riliv terjamin rahasianya dan dilindungi Kode Etik Psikologi Indonesia. Yuk, bangun hubungan harmonis bersama Riliv!
Referensi:
Benoit, D. (2004). Infant-parent attachment: Definition, types, antecedents, measurement and outcome. Paediatrics & child health, 9(8), 541–545. https://doi.org/10.1093/pch/9.8.541
De Raeymaecker, K., & Dhar, M. (2022). The Influence of Parents on Emotion Regulation in Middle Childhood: A Systematic Review. Children (Basel, Switzerland), 9(8), 1200. https://doi.org/10.3390/children9081200
Jaeckle, T., Williams, S. C. R., Barker, G. J., Basilio, R., Carr, E., Goldsmith, K., Colasanti, A., Giampietro, V., Cleare, A., Young, A. H., Moll, J., & Zahn, R. (2021). Self-blame in major depression: a randomised pilot trial comparing fMRI neurofeedback with self-guided psychological strategies. Psychological medicine, 1–11. Advance online publication. https://doi.org/10.1017/S0033291721004797