Emosi yang Menular – Pernahkah kamu merasa sedih ketika melihat teman menangis? Atau pernahkah kamu ikut merasakan marah saat temanmu diperlakukan tidak adil? Ya, hal ini wajar, kok. Karena pada dasarnya, hal itu terjadi bukan hanya faktor kedekatan diantara kalian, namun karena faktanya, emosi memang bisa ditularkan satu sama lain. Terlebih melalui orang-orang yang berhubungan intens dengan kita.
Seperti kisah teman kita kali ini yang sudah merasakan bagaimana kuatnya pengaruh emosi orang lain terhadap emosi diri kita sendiri. Berawal dari biasa saja, hingga akhirnya terbawa arus dan berakhir menjadi depresi.
Lantas, apa seberbahaya itu emosi yang menular?
—
Awal Mula Emosi yang Menular
November 2017, aku masuk ke dalam sebuah grup media sosial dengan kegemaran yang sama. Awalnya aku menikmati setiap hari bersama mereka dalam membicarakan hal yang kami senangi. Aku tahu hanya dengan sebatas media sosial, tanpa pernah bertemu langsung, sebuah ikatan persahabatan akan sulit tercipta. Namun ternyata aku salah, hubungan kami berjalan baik sampai salah satu dari mereka menjadi sahabatku sejak awal tahun 2018.
Banyak yang membuatku pada awalnya merasa shock atas apa yang mereka bicarakan suatu hari. Topiknya tiba-tiba melenceng, yang dibicarakan tiba-tiba menjurus pada kebencian pada dunia dan keinginan untuk bunuh diri. Aku, yang awalnya tak sekeras itu memikirkan tentang bunuh diri, merasa asing. Aku marah, jelas. Mempertanyakan mengapa mereka membicarakan hal sensitif seperti itu bersama-sama, menyebarkan hal negatif, dan membuat satu sama lain berpikir demikian. Padahal mereka jauh lebih muda dariku, mengapa mereka dengan mudah berkata ingin enyah dari dunia?
Dan satu yang aku kecewakan, hampir semua anggota grup menyetujui hal itu
Tak ada satu pun yang mencoba menyemangati salah satu orang yang memulai pembicaraan. Hingga terus berlarut meski aku mengatakan jangan bicarakan hal tersebut di grup karena bisa memengaruhi orang lain. Aku tiba-tiba berkeinginan untuk melakukan pendekatan personal agar mereka kembali berpikir jernih dan tetap ingat kepada Tuhannya.
Sahabatku disana, sebut saja Ina, adalah salah satu dari yang paling akut. Ia sering memicu orang lain berpikir negatif. Ia sering merasa depresi tiba-tiba, mood swing, sampai mengiris pergelangan tangannya sendiri. Aku mencoba sebaik mungkin untuk mengurangi hal tersebut. Aku memantaunya setiap hari melalui media sosial agar tetap dalam mood yang baik. Begitu pula beberapa teman yang terkadang mengalami perubahan mood ekstrim.
Mungkin aku bisa dikatakan sebagai care giver mereka. Apalagi untuk Ina, sebab seakan setiap ia down hanya aku yang bisa menariknya dari kegelapan. Seakan hanya aku yang bisa ia dengarkan kala depresinya menyerang. Aku baik-baik saja dengan itu, dengan menghadapi yang lain juga. Meski terkadang aku merasa lelah, seperti halnya telah menunaikan tugas berat.
Nyatanya, aku tak sekuat itu…
Aku senang saat Ina mengatakan bahwa aku adalah life saver-nya kala itu. Aku terhibur saat dia benar-benar mengandalkanku untuk mood-nya setiap hari. Dan aku pikir hal itu akan bertahan lama. Ternyata dugaanku benar. Hal negatif yang dikonsumsi setiap hari akan berpengaruh buruk pada siapapun, termasuk padaku. Ya, aku. Sebuah beban yang begitu berat menjadi care giver setiap orang yang depresi di grup itu. Nyatanya aku juga jatuh ke dalam lubang depresi.
Sebab suatu hari, yang membuat Ina kembali ke dalam mode depresinya adalah aku
Aku yang menyebabkannya kembali berpikir negatif. Salahku membiarkannya sendiri kala itu. Aku jatuh. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, akhirnya aku ikut menyalahgunakan benda tajam untuk menggores pergelangan tanganku. Tak hanya satu gores tipis. Aku mengulanginya terurs sampai warna merah kembali terlihat dan mengalir disana. Sakit, tapi entah mengapa aku menyukainya. Aku seakan ingin terus menambah sayatan itu. Bahkan sempat terpikir untuk menekannya lebih dalam.
Waktu berjalan. Luka itu sudah tertutup. Dan kembali aku lakukan lagi, lebih banyak. Sampai aku memotretnya beberapa kali, merasa terhibur saat melihat kembali bagaimana darah itu keluar dari pergelangan tanganku. Aku sadar aku salah, tapi aku tak dapat berhenti. Sebab sakit yang aku alami tak bisa dijelaskan.
Aku menjadi pecemburu, terlebih saat Ina menemukan teman baru yang ia dambakan juga. Aku menjadi pedendam, saat Ina merangkak maju meninggalkan kebiasaannya bergantung padaku. Aku menjadi seorang pembenci, yang sempat berkeinginan untuk membunuh orang-orang yang lebih ia pilih daripada aku.
2018 adalah tahun dimana aku sering mengalami kehancuran
Dadaku sesak setiap saat melihatnya bahagia bersama yang lain. Bukankah seharusnya aku bersyukur bahwa dia berhasil mengatasi kesedihannya? Tapi kenapa saat ini aku terus merasakan hal ini. Membebani diri sendiri dengan segala macam pikiran negatif yang mendorongku berkeinginan untuk mati lebih cepat. Aku lelah. Seakan dengan kalimat penyemangat apapun tidak mempan bagiku. Aku seakan menjadi korban yang baru.
You save everyone, but who saved you?
Ya, siapa yang menyelamatkanku saat ini? Siapa yang ada disampingku saat 3 kali aku kehilangan keluarga tahun itu. Siapa yang menanyakan keadaanku saat 5 kali aku menyayat pergelangan tanganku? Siapa yang menghentikanku saat aku mencoba mencekik diri di kamar? Siapa yang memarahiku saat aku pernah tak sengaja akan menyebrang kala truk melintas di depanku? Siapa yang menahanku saat aku berkeinginan untuk loncat dari lantai 5 gedung fakultasku? Siapa yang mengelus pundakku saat aku menangis, meraung setiap malam kala aku disakiti olehnya?
Siapa..
Saat ini, 2019, aku mencoba merangkak meninggalkan masa laluku di 2018. Meninggalkan Ina yang lebih bahagia bersama teman barunya, juga meninggalkan grup itu. Dengan harapan aku tak lagi jatuh pada self-harm – meski aku tak bisa lari dari depresi.
Ditulis oleh SZ.
—
Memilih untuk menjaga jarak dan mementingkan diri sendiri, bukan berarti kamu adalah orang yang egois. Terlebih jika kamu yakin bahwa hal ini yang memang benar untuk dilakukan demi masa depan dan kesehatan mental diri sendiri. Memiliki grup, nyatanya tidak selalu memberikan efek yang positif. Kedekatan yang terjalin, intensitas komunikasi yang terbangun, perlahan membuat kita begitu mudah memahami emosi satu sama lain. Bahkan berujung pada pola perilaku dan mood yang bisa ditularkan satu sama lain. Karena itu, penting untuk kita menyeleksi dengan tepat siapa saja yang berhak untuk menjadi orang-orang terdekat kita. Karena kemungkinan depresi itu menular, bisa terjadi karena mood yang ditularkan.
Jika kamu sudah terikat dan ingin bebas dari pengaruh negatif yang membuat kesehatan mentalmu berkurang, kamu bisa hubungi psikolog profesional dari riliv untuk dapatkan penanganan yang tepat. Jangan takut untuk tidak punya teman, karena teman yang baik, tidak akan membawamu dalam hal-hal yang menyakitkan.
Discussion about this post