Instagram – Zaman sekarang, influencer bertebaran di mana-mana. Udah nggak asing lagi sama berbagai macam perilaku mereka, kan? Mulai dari mempromosikan fashion, makeup, hingga lifestyle yang sempurna. Namun, seperti yang kita ketahui bersama, nggak semuanya yang tampak di media sosial itu sebaik yang ditampilkan, karena influencer juga punya sisi gelapnya masing-masing. Nah, dalam artikel ini, kita akan mencari tahu seberapa baik dan buruknya Instagram dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Instagram, Merusak Kesehatan Mental?
Pada tanggal 2 Desember 2021, American Psychological Association (APA) merilis artikel yang berjudul How can we minimize Instagram’s harmful effects? yang bermaksud mengkritik efek negatif media sosial terhadap body image anak-anak remaja. Tak diragukan lagi, peran influencer di media sosial sangat kuat terhadap self-esteem pengikutnya, yang kebanyakan berusia muda. Selain isu body image, penggunaan media sosial secara berlebihan, terutama Instagram, juga memperparah kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya.
Tapi, mengapa efek media sosial bisa separah itu terhadap kesehatan mental remaja? Menurut Racher Rodgers, profesor psikologi terapan di Northeastern University, mengatakan bahwa media sosial yang digunakan anak muda merupakan salah satu alat pencarian identitas bagi remaja. Menurutnya, ada efek media sosial tersebut pada perasaan remaja tentang penampilan dan kepuasan terhadap kondisi tubuhnya, sehingga dapat meningkatkan risiko gangguan makan dan masalah kesehatan mental lainnya seperti rasa rendah diri dan depresi.
Namun, apakah Instagram selalu memberi pengaruh buruk bagi anak-anak muda? Tidak juga, kok! Sebuah riset Moreton dan Greenfield (2022) melaporkan bahwa anak-anak muda yang mengakses Instagram juga merasakan dampak positifnya, yaitu saling terkoneksi dengan orang-orang terdekat. Meskipun demikian, anak-anak muda juga meyakini ada dampak negatifnya terhadap well-being mereka, melalui cyberbullying, idealisme, dan kehausan untuk diterima secara sosial.
Instagram, Tempat Aktualisasi Diri?
Para ahli sudah menyatakan bahwa media sosial itu berbahaya karena mempengaruhi cara seseorang menerima dirinya melalui body image. Namun, masih saja tetap ada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk menunjukkan siapa dirinya kepada dunia. Mengapa bisa demikian?
Menurut Abraham Maslow, tingkat tertinggi dalam hierarki kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kedewasaan yang tercerahkan yang ditandai dengan pencapaian tujuan, penerimaan diri, dan kemampuan untuk menilai diri sendiri dengan cara yang realistis dan positif. Nah, media sosial bisa jadi salah satu tempat buat mengaktualisasi diri karena memungkinkan kita tampil menjadi our best self. Selain itu, membangun networking dengan orang-orang yang juga punya keinginan mengaktualisasikan diri dapat menguntungkan bagi diri kita, karena kita jadi punya kesempatan mengekspos kelebihan atau skill yang kita miliki.
Baca juga: Tips Social Networking Bagi Pengembangan Diri
Namun, apakah semua influencer di media sosial itu semuanya berhasil mengaktualisasikan diri? Belum tentu. Namun, bisa jadi di antaranya. Maslow sendiri menilai bahwa aktualisasi diri itu sangat sulit dilakukan, sehingga hanya 1% dari orang dewasa yang bisa melakukannya. Yah, jadi bisa dibilang, meskipun para influencer terlihat dan tidak merasa segan untuk dinilai orang lain, mereka masih mengandalkan pengikut setia, supaya image mereka tetap positif di mata dunia maupun diri mereka sendiri.
Memang, media sosial bisa jadi tempat yang bagus buat kita untuk unjuk kebolehan dan jadi lebih pede, namun alih-alih memberikan platform untuk mengaktualisasi diri, media sosial juga bisa mendukung narsisme komunal. Seperti riset yang dilakukan tahun 2021 lalu, media sosial selalu ‘memaksa’ penggunanya berpikir bahwa mereka pantas menerima umpan balik positif berupa likes dan comment untuk meningkatkan presentasi diri. Pengguna media sosial cenderung selalu menginginkan validasi, sehingga mereka akan merasa kecewa apabila tidak dianggap relevan oleh komunitasnya. Selain itu, mengkonfirmasi ucapan Rodgers, jumlah impression dalam postingan yang kita unggah di media sosial juga akan membuat kita cenderung merasa rendah diri karena membanding-bandingkan kesuksesan kita dengan orang lain.
Baca juga: FOMO di Tahun Baru, Bagaimana Mengatasinya?
Mengatasi Pengaruh Buruk Media Sosial
Membatasi penggunaan media sosial tidak akan serta merta mengurangi dampak negatif, karena menurut Sophia Choukas-Bradley, Ph.D., asisten profesor psikologi di University of Delaware, justru pengalaman-lah yang menentukan. Setiap orang yang membuka media sosial cenderung berharap ada impression positif dari orang terhadapnya, jadi mungkin cara terbaik melakukannya adalah tidak berekspektasi berlebihan. Memang, rasanya sulit untuk melepaskan keinginan untuk disukai orang-orang, namun yang kita tampilkan itu hanyalah persona, bukanlah diri kita yang sebenarnya. Persona adalah topeng yang kita pakai supaya orang-orang tidak melihat siapa diri kita.
Namun, kita tak bisa terus menerus berbohong pada diri kita sendiri, bukan?
Untuk itulah, penting bagi kita untuk berkata, “Tidak apa-apa bila aku tidak disukai.” Karena bagaimanapun juga, kamu tak bisa mengontrol bagaimana orang menilaimu di media sosial. Jika kamu punya masalah dengan media sosial dan tak tahu mau curhat ke mana, merapat, yuk! Psikolog dan konselor Riliv siap mendengar ceritamu!
Referensi:
- Abrams, Z. (2021). How can we minimize Instagram’s harmful effects?. Retrieved from American Psychological Association: https://www.apa.org/monitor/2022/03/feature-minimize-instagram-effects
- Good Therapy. (n.d.). Self-Actualization. Retrieved from Good Therapy: https://www.goodtherapy.org/learn-about-therapy/issues/self-actualization
- Kong, F., Wang, M., Zhang, X., Li, X., & Sun, X. (2021). Vulnerable Narcissism in Social Networking Sites: The Role of Upward and Downward Social Comparisons. Frontiers in psychology, 12, 711909. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.711909
- Kristinsdottir, K. H., Gylfason, H. F., & Sigurvinsdottir, R. (2021). Narcissism and Social Media: The Role of Communal Narcissism. International journal of environmental research and public health, 18(19), 10106. https://doi.org/10.3390/ijerph181910106
- Moreton, L., & Greenfield, S. (2022). University students’ views on the impact of Instagram on mental wellbeing: a qualitative study. BMC psychology, 10(1), 45. https://doi.org/10.1186/s40359-022-00743-6
- Skogen, J. C., Hjetland, G. J., Bøe, T., Hella, R. T., & Knudsen, A. K. (2021). Through the Looking Glass of Social Media. Focus on Self-Presentation and Association with Mental Health and Quality of Life. A Cross-Sectional Survey-Based Study. International journal of environmental research and public health, 18(6), 3319. https://doi.org/10.3390/ijerph18063319
- The Spark Counseling. (2017). Social media & self image. Retrieved from The Spark: https://thespark.org.uk/social-media-platforms-expectations/