Pura-Pura Bahagia – Siapapun di dunia ini pasti pernah menggunakan topeng dalam kehidupannya. Entah untuk tujuan yang baik atau buruk sekalipun. Begitu juga dengan teman kita yang berani berbagi kisahnya tentang kehidupan yang selama ini dianggap orang lain baik, nyatatnya berbalik 180 derajat. Kisah dari seorang teman yang menggunakan topeng pura-pura bahagia untuk bisa bertahan dan diterima sekitarnya. Kisah tentang perjuangannya untuk mengakui dia tak lagi baik-baik saja dan butuh pertolongan. Kisah tentang dia yang mungkin terjadi untuk kamu, dia, dan kita semua.
—
Prolog: Aku dan Topeng Pura Pura Bahagiaku
Jika dibilang, kehidupan saya sebenarnya normal. Orang tua mencintai saya, menyayangi saya, juga memerhatikan saya seperti seharusnya.
Lalu apa yang tidak baik?
Saya yang merasa tidak baik.
Emosi menguasai saya. Mudah marah, mudah tertawa, mudah menangis, mudah untuk bersikap tidak peduli. Di saat marah menguasai pikiran, saya tidak bisa melampiaskan apapun. Tenggorokan saya sakit karena tidak mampu mengungkapkan.
Apa yang saya jadikan pelampiasan?
Menangis. Menyakiti diri. Berpura-pura bahwa saya baik di balik sebuah tawa dan keusilan saya.
Teman-teman dan keluarga saya takkan pernah terpikir hal itu sedikit pun.
Mengapa? Ya, saya terlena pada hal bernama pura-pura. Saya berusaha dalam beberapa waktu, untuk tidak menyakiti diri dan lebih bersabar, lebih berpikir rasional dan tenang, juga berusaha untuk menurunkan perlahan topeng-topeng saya. Termasuk topeng pura-pura bahagia saya.
Saya baik setelahnya, meski rasanya jelas sulit
Kemudian saya bertemu dengan mereka. Salah satunya teman saya di sekolah, sisanya saya bertemu melalui sosial media.
Teman saya di sekolah ini terluka hatinya. Orang tuanya cerai, pendapatnya jarang sekali didengar keluarga, iri dengan saudaranya. Dia bercerita bahwa hidupnya sulit. Memaksa diri dengan tidur menekankan berbagai obat masuk dalam tubuh. Mencakar diri, melampiaskan emosi yang juga tak tersampaikan.
Saya menawarkan diri sebagai tempatnya bercerita, dan dia menerimanya.
Selanjutnya, kehidupan saya berjalan lagi dan bertemu dengan teman-teman baru melalui grup role-player. Kalian tahu kan role-player? Saya menjadikan grup itu sebagai pembangkit semangat saya saat saya merasa menyerah, saat saya merasa emosi negatif kembali menguasai.
Hari demi hari, saya sadar akan sikap mereka di dunia maya sedikit bersinggungan dengan dunia nyata mereka
Saya tidak terlalu tahu apa yang terjadi dengan mereka, tetapi saya mengetahui satu hal: masalah mereka lebih buruk dibanding saya juga teman saya di sekolah.
Mereka dijauhi keluarga sendiri, orang tua lebih mencintai saudara mereka. Mereka kesulitan berkomunikasi, tidak dapat memberitahu perasaan mereka sendiri.
Saya sangat terkejut kala salah satu dari mereka bercerita bahwa ia melakukan self harm. Tidak memiliki teman di dunia nyata. Teman-temannya sering datang ke rumah, memberi sejumlah PR untuk dia kerjakan. Ketahuilah, teman saya ini home-schooling dan teman-temannya yang datang berasal dari sekolahnya yang lama. Saya pikir wajar kala sikapnya di dalam grup chat itu terkesan dramatis. Dia ingin simpati, ingin diperhatikan saat semua orang di sekeliling hidupnya tidak peduli.
“Cintailah dirimu kala semua orang bersikap egois.”
uatu hari, seseorang yang juga bergabung dalam grup yang sama memarahi saya. Saya mengatakan tengah melakukan diet, dan saya tidak menjelaskan alasan saya diet untuk tes keanggotaan. Dia marah, mengatakan apa gunanya diet. Dia menyuruh saya untuk mencintai diri sendiri kala semua orang bersikap egois.
Saya paham maksudnya, dan di akhir nasehatnya dia mengatakan kalau dia sakit. Dengan segala rasa penasaran jelas saya membalas, menanyakan keadaannya. Selanjutnya, kisahnya mengalir melalui ketikan chat.
Orang tuanya bercerai, dia anak tunggal, semua orang mengatakannya gila karena sering berbicara sendiri (saya berpikir dia tidak gila, karena setahu saya orang jenius adalah orang yang sering berbicara pada dirinya sendiri), juga dirinya merasa ada jiwa lain di dalam tubuhnya menghasutnya melakukan hal yang di luar keinginannya.
Saya pernah dalam posisi seperti mereka, posisi di mana rasanya lebih baik mati, posisi di mana diri ini rasanya tak berharga.
Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk mereka?
Saya menawarkan diri sebagai tempat mereka berkeluh kesah, menjadikan kembali teman sekolah saya sebagai tempat sharing saya mengenai teman-teman dunia maya.
Tetapi, ada satu kejadian yang membuat saya bungkam. Ketika ketiganya mengatakan pada saya, “Tolong untuk jangan terlalu baik, saat saya merasa sangat bergantung dan membutuhkan kamu, apa kamu bisa berjanji untuk tetap di sisi saya?”
Kalimat itu menusuk saya, lalu menembus jantung hingga ke sisi tubuh lainnya. Benar. Apa saya akan tetap ada saat mereka butuh? Apa saya mampu mendengarkan mereka lebih banyak?
Apa saya bisa membantu mereka lebih dari sekedar chat?
Akhirnya saya sadar, saya tidak bisa membantu mereka sama sekali. Saat satu dari mereka melampiaskan emosi melalui minuman keras dan berakhir di kamar teman lelakinya, saya hanya bisa menangis saat dia bercerita.
Saya tidak berguna. Mendengarkan kisah mereka tidak membantu sama sekali.
Lalu guna saya apa? Hanya mendengarkan mereka?
Jangan berpikir bahwa saya sebagai tempat pelarian. Saya sering tidak dianggap. Dan saat ada seseorang membutuhkan saya atau hanya datang saat butuh, di situlah saya merasa berharga.
Dan lagi-lagi. Topeng-topeng yang perlahan turun dari wajah saya, kembali naik untuk saya kenakan. Rasa sakit mereka, kesulitan mereka, kehidupan buruk mereka, menarik saya jatuh pada emosi yang tidak terkontrol. Saya ingin membantu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Kisah ini berakhir. Berakhir dengan saya yang kembali seperti dulu, hanya karena tidak mampu membantu mereka. Itu melukai saya.
Ditulis oleh PVaga.ura
—
Sejatinya, untuk bisa membantu orang lain, kamu harus bisa membantu dirimu terlebih dahulu. Tuntaskan apa yang menjadi tanggung jawabmu, selesaikan apa yang sudah kamu jalankan, dan sembuhkan apa yang masih menjadi luka di dalam hati. Ketika kamu berhasil melaluinya, maka kamu siap untuk membantu orang lain. Dan tentunya membantu dirimu sendiri juga.
Namun jika kamu belum bisa membantu diri sendiri, jangan ragu untuk minta pertolongan pada ahlinya seperti psikolog riliv. Karena lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali.
Discussion about this post