Law of Attraction – Kamu mungkin sering banget melihat iklan webinar atau training yang ditujukan untuk melatih law of attraction, kan?
Nggak salah, sih, karena di zaman modern seperti sekarang ini, gerakan spiritual modern bernama New Thought Movement sedang trendy di kalangan anak-anak muda. Gerakan ini awalnya berkembang di abad ke-19, dan sekarang ini merambah ke Indonesia dengan berkembangnya komunitas-komunitas spiritual.
Lalu, apa sebetulnya gerakan tersebut, dan apa kaitannya dengan law of attraction? Menurut Daniel Esparza dari Medium, prinsip-prinsip spiritualitas modern menganut paham “individualisme” dalam pengalaman spiritual, sehingga tak jarang bahwa konsep self-development sangat disukai oleh para penganut New Thought Movement. Salah satu kepercayaan yang populer di kalangan penganut paham ini adalah law of attraction.
Oke, mungkin Riliv ingin melakukan disclaimer terlebih dahulu. Artikel ini tidak akan secara khusus membahas tentang bagaimana law of attraction bekerja, namun tentang kesalahpahaman yang muncul dalam kalangan awam mengenai konsep law of attraction. Dan tentu saja, ada pembahasan mengenai apakah law of attraction benar-benar bekerja, atau hanya sekedar sugesti. Yuk, persiapkan pikiran yang terbuka sambil membaca!
Law of Attraction, Sebuah Pseudoscience?
“Jika kamu menginginkan sesuatu, maka kamu harus benar-benar memusatkan energi dan pikiranmu pada hal tersebut, maka ia akan datang kepadamu.”
Hm, memangnya beneran bisa begitu? Atau, lebih tepatnya, apakah semudah itu?
Beberapa ahli psikologi dan ilmuwan lainnya berpendapat sebaliknya. Karena sejatinya, law of attraction adalah konsep yang cukup rancu. Secara saintifik, law of attraction dianggap sebagai pseudoscience karena tidak ada bukti-bukti secara saintifik yang menunjukkan bahwa law of attraction sungguh-sungguh bekerja.
Apakah pseudosicence itu sebenarnya? Gampangnya, pseudoscience adalah pengetahuan yang sama sekali tidak jelas kebenarannya. Menurut Michael D. Gordin, pseudoscience adalah atribusi yang dilontarkan ilmuwan layaknya sebuah “teori,” namun tidak pernah diterapkan pada kondisi nyata dan tidak konsisten. Namun, Gordin juga menyebutkan bahwa pseudoscience bukanlah antitesis dari sains, tetapi tumbuh subur dalam bayang-bayang sains.
Maka dari itu, mempercayai pseudoscience berarti melemahkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Malah, bisa dibilang menormalisasi cacat logika di kalangan ilmuwan. Dilansir oleh Christine Miller dari Human Biology, sejumlah masalah yang berpotensi muncul dari pseudoscience terhadap etika ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:
- Ketergantungan yang berlebihan pada konfirmasi daripada sanggahan. Setiap insiden dalam pseudoscience yang tampaknya membenarkan klaim akan diperlakukan sebagai bukti klaim, dan klaim tersebut akan dianggap benar sampai terbukti sebaliknya. Hal ini malah merugikan pemikir-pemikir kritis untuk mengembangkan keilmuan.
- Penggunaan klaim yang tidak jelas, berlebihan, atau tidak dapat diuji. Pada akhirnya, teori-teori yang dilontarkan tadi tidak pernah terbukti validitasnya. Ini mengakibatkan sebuah kepercayaan yang menyesatkan di kalangan orang awam yang kurang memahami sains.
- Kurangnya keterbukaan terhadap pengujian oleh pakar lain. Kebanyakan praktisi pseudoscience menghindari agar ide mereka tidak ditinjau oleh rekan sejawat. Mereka mungkin menolak untuk membagikan data mereka dan membenarkan perlunya kerahasiaan dengan klaim hak milik atau privasi. Inilah mengapa pseudoscience dianggap berbahaya bagi ilmu pengetahuan.
- Personalisasi masalah. Pendukung pseudoscience mengadopsi keyakinan yang kurang berdasar rasional, sehingga mereka dapat mencoba untuk mengkonfirmasi bias keyakinan mereka, dan menolak pembuktian secara ilmiah.
- Penggunaan bahasa yang menyesatkan. Biasanya, penganut pseudoscience akan menggunakan istilah-istilah yang terdengar ilmiah untuk membuat gagasan mereka terdengar lebih meyakinkan. Misalnya, dihidrogen monoksida. Semua orang yang paham kimia pasti tahu bahwa itu adalah air biasa, tapi kelihatannya keren kalau dibilang seperti itu, kan?
- Tidak adanya kemajuan dalam memajukan pengetahuan. Karena pseudoscience tidak mengalami pengujian berulang atau penyempurnaan, sebagaimana hipotesis dalam ilmu pengetahuan sejati, gagasan dalam pseudoscience bisa jadi tetap tidak berubah selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Padahal, sifat alami sains atau ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan zaman.
Plus dan Minus Mempercayai Law of Attraction
Alright, memang secara saintifik, law of attraction itu nggak bisa dibuktikan. Namun, kita memang tidak bisa serta merta men-judge semua kepercayaan itu salah. Bagaimanapun juga, secara psikologis, law of attraction bisa bermanfaat bagi perkembangan pribadi seseorang, lho! Anggap saja, law of attraction adalah bagian dari usaha individu dalam mengafirmasi diri sendiri dan memberikan sebuah pandangan positif terhadap kehidupan. Maka dari itu, orang-orang yang mempercayai law of attraction cenderung lebih bahagia karena punya harapan untuk situasi yang lebih baik. Riset tahun 2022 juga melaporkan bahwa adanya harapan akan masa depan yang positif dapat meningkatkan kesejahteraan mental.
Meskipun demikian, ada bahaya juga yang bisa muncul dari kepercayaan berlebih terhadap law of attraction. Dilansir oleh Victoria Stokes dari Healthline, guru spiritual Emma Halley menyebutkan bahwa terlalu bergantung pada law of attraction juga akan membawa toxic positivity. Yang artinya, seseorang bisa menyangkal atau mengabaikan emosi negatifnya, lalu memaksa dirinya untuk selalu bersikap “baik-baik saja.” Padahal, mengabaikan emosi negatif justru akan membuat kamu mengalami efek gunung es. Segala emosi yang kamu pendam itu akan sewaktu-waktu muncul ke permukaan dan “meledak” karena kamu tak terbiasa untuk mengontrolnya.
Cara Menyikapi Law of Attraction
Jadi, apakah Law of Attraction hanyalah sugesti? Jawabannya jelas iya. Law of attraction adalah sebuah sugesti yang diciptakan supaya kita bisa tetap berpikiran positif dan menjalani hidup tanpa rasa khawatir. Kembali pada pembahasan kita tentang spiritualitas modern di generasi sekarang ini, munculnya tren self-development dan self-care berhasil menyadarkan individu tentang pentingnya memperhatikan diri sendiri. Termasuk di antaranya lebih sadar tentang kesehatan mental. Ini berkebalikan dengan generasi di era sebelumnya yang kurang memperhatikan aspek-aspek tersebut.
Intinya, sekalipun law of attraction itu dianggap pseudoscience, bukan berarti kita tidak bisa memanfaatkannya untuk perkembangan diri. Memang lumrah bagi masyarakat awam untuk mempercayai sesuatu yang tidak terbukti secara saintifik, apalagi kalau berkaitan dengan budaya atau tradisi. Namun di sisi lain, kita harus tetap memanfaatkan logika berpikir kita, dan menyadari bahwa semua hal tidak bisa terjadi begitu saja sesuai dengan keinginan kita. Hidup itu selalu penuh dengan tantangan, dan kita harus selalu siap menghadapinya.
Maka dari itu, apabila kita ingin sesuatu terwujud, jangan hanya diam saja dan “memusatkan perhatian” tanpa action. Ubahlah perilaku, setting lingkungan, dan pelajarilah hal-hal baru. Orang-orang di sekitar kita tidak bisa melihat energi dan pikiran, namun mereka bisa melihat sikap dan perilaku kita. Siapa tahu, nih, dari perubahan sikap yang kamu terapkan itu, kamu tidak hanya berhasil mencapai keinginanmu, namun juga memberi manfaat pada orang-orang di sekitarmu.
Nah, buat kamu yang pengen banget dapat tips pengembangan diri, konsultasi ke psikolog dan konselor Riliv yang profesional bisa jadi pilihan yang tepat. Kamu nggak hanya akan dapat tips yang bermanfaat, namun juga encouragement dalam menyikapi masalahmu. Join sekarang, yuk!
Referensi:
- Cascio, C. N., O’Donnell, M. B., Tinney, F. J., Lieberman, M. D., Taylor, S. E., Strecher, V. J., & Falk, E. B. (2016). Self-affirmation activates brain systems associated with self-related processing and reward and is reinforced by future orientation. Social cognitive and affective neuroscience, 11(4), 621–629. https://doi.org/10.1093/scan/nsv136
- Esparza, D. (2020). The Growing Spiritual Problem in Western Countries. Retrieved from Medium: https://medium.com/change-your-mind/the-growing-spiritual-problem-in-western-countries-ea788a19e6e3
- Farber, N. (2016). The Truth About the Law of Attraction. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-blame-game/201609/the-truth-about-the-law-attraction
- Gordin M. D. (2017). The problem with pseudoscience: Pseudoscience is not the antithesis of professional science but thrives in science’s shadow. EMBO reports, 18(9), 1482–1485. https://doi.org/10.15252/embr.201744870
- Laranjeira, C., & Querido, A. (2022). Hope and Optimism as an Opportunity to Improve the “Positive Mental Health” Demand. Frontiers in psychology, 13, 827320. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.827320
- Miller, C. (n.d.). Pseudoscience and Other Misuses of Science. Retrieved from Human Biology: https://humanbiology.pressbooks.tru.ca/chapter/1-7-pseudoscience-and-other-misuses-of-science/
- Stokes, V. (2021). How to Attract the Positive Without Pushing Away Negative Feelings. Retrieved from Healthline: https://www.healthline.com/health/how-to-use-the-law-of-attraction-without-suppressing-your-emotions