Sorry syndrome – Buat teman-teman yang lahir tahun 90an, pastinya pernah menonton sitkom Bajaj Bajuri, kan? Salah satu tokohnya yang bernama Mpok Minah terkenal suka meminta maaf tanpa henti, bahkan pada saat-saat di mana seharusnya ia tidak meminta maaf. Nah, kira-kira seperti itulah keadaan orang yang mengidap sorry syndrome. Lebih jauh lagi, yuk kita bahas sama-sama di artikel ini!
Bahaya dan Penyebab Sorry Syndrome
Dilansir dari artikel yang ditulis Juliana Breines Ph.D. di Psychology Today, meminta maaf itu memang baik untuk meminimalisir konflik, namun over-apologizing ternyata juga bisa berbahaya bagi diri sendiri. Nah, sorry syndrome yang ditandai dengan terlalu banyak meminta maaf itu bisa jadi tanda bahwa kamu punya self-esteem yang rendah, nggak percaya diri, dan terkesan nggak tulus.
Logikanya, siapa sih yang mau percaya sama orang yang minta maaf tapi nggak ada tindakan nyata untuk memperbaiki diri? Riset juga melaporkan bahwa orang yang minta maaf berlebihan bisa jadi punya kecenderungan memiliki suicidal thoughts alias keinginan bunuh diri,apalagi jika ia merasa malu berlebihan dan terancam dihukum. Waduh, ngeri juga, ya?
Lalu, sebenarnya apa sih yang mendasari seseorang punya sorry syndrome?
Dilansir dari Emindful, sejumlah penyebab orang terus-terusan minta maaf itu bisa disebabkan oleh keinginan untuk bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukan. Misalnya, kamu pernah berantem sama seseorang yang dekat denganmu di masa lalu. Gara-gara berantem itulah, hubungan kalian jadi renggang. Kamu pun merasa bersalah karena masih ingin membangun hubungan baik dengan temanmu itu. Alhasil, kamu pun mengembangkan sikap “ingin minta maaf” yang tinggi.
Nah, kamu pernah mengalami hal ini, nggak? Coba renungkan bersama-sama, yuk!
Apa yang Harus Dilakukan Ketika Mengalami Sorry Syndrome?
Sebelum kita membahas tentang apa yang harus dilakukan, kita harus meninjau kembali apakah kamu merasa bersalah karena faktor internal atau eksternal. Soalnya, menurut penelitian Baumeister (1994; 1998) perasaan bersalah itu bisa datang dari orang lain yang mempengaruhi kita (guilt) untuk minta maaf, maupun dialog intrapersonal dalam diri kita (regret). Kedua perasaan bersalah ini punya kesamaan, yaitu menciptakan gejolak emosi yang menyebabkan kita ingin memperbaiki keadaan.
Memang, sulit bagi orang yang mengalami sorry syndrome untuk tidak meminta maaf kepada orang-orang tertentu, apalagi jika kita merasa bahwa perbuatan kita sangat tidak pantas dibilang baik. Namun terkadang, orang-orang belum tentu menerima permintaan maaf kita, bukan? Inilah mengapa kita harus mulai melatih diri untuk melepaskan perasaan bersalah tersebut.
Menurut Mark Manson, penulis The Subtle Art of Not Giving A Fk**, beberapa cara yang bisa diterapkan untuk melepaskan perasaan bersalah adalah sebagai berikut:
Mencari Hikmah dari Kejadian
Setiap kali kita merasa bersalah atas kejadian yang pernah terjadi di masa lalu, kita akan cenderung berputar-putar dalam emosi negatif, bukan? Nah, cobalah melihat kejadian tersebut dari sisi baiknya. Mungkin kamu memang punya salah, namun bukan berarti kamu nggak bisa belajar dari kesalahan kamu, kan? Anggaplah kejadian itu sebagai pelajaran supaya ke depannya kamu nggak melakukan hal yang sama.
Pertanyakan Pola Pikirmu Sendiri
Terus-terusan merasa bersalah sampai minta maaf berkali-kali bisa membuat orang-orang illfeel sama kamu. Soalnya, bisa jadi mereka sudah memaafkan kamu sejak lama, lho! Beberapa orang memang cenderung suka membangun batasan karena takut disakiti lagi, makanya kamu harus memaklumi hal ini. Minta maaf itu adalah perbuatan terpuji, namun jangan sampai hal itu membuatmu terlalu fokus pada sisi negatif dirimu yang perlu dihukum. Marilah berdamai dengan masa lalu. Pola pikirmu yang penuh rasa bersalah itulah yang akan menjebakmu. Alhasil, kamu akan terlalu fokus pada kesalahan dan nggak fokus pada pertumbuhan diri sendiri.
Refleksi Diri Itu Nggak Salah, Kok!
Jangan salah! Meruminasi sesuatu yang sudah berlalu itu beda dengan refleksi diri, ya, Teman-teman! Ruminasi itu terjadi saat kita punya pemikiran buruk terhadap diri sendiri. Sementara refleksi diri adalah lebih menerima keadaan apa adanya, serta meninjau ulang hal-hal yang bisa kamu tingkatkan demi kebaikan diri sendiri.
Bertanggung Jawab dengan Tindakan yang Nyata
Yang terakhir, Mark Manson menyarankan kita untuk melakukan apa yang menurut kita pantas, yaitu sungguh-sungguh bertanggung jawab. Misalnya, nih, kamu pernah janji mau membelikan hadiah ultah buat temanmu. Tapi, pas hari H, kamu malah lupa, dan akhirnya kalian berantem. Nah, bertanggung jawab yang benar itu nggak cuma mengumbar janji, tapi benar-benar memastikan dirimu nggak mengulangi kesalahan yang sama. Dalam kasus ini, mungkin kamu akan menggunakan Google Calendar lupa lagi sama tanggal ultah temanmu, atau mentraktir dia di bulan lain untuk ‘membayar’ rasa bersalahmu.
Apakah kamu masih punya perasaan bersalah yang mengganggumu hingga saat ini? Tenang, nggak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri sendiri. Yuk, jangan ragu buat mulai konsultasikan masalah kamu dengan psikolog Riliv!
Referensi:
Syme, K., & Hagen, E. (2019). When Saying “Sorry” Isn’t Enough: Is Some Suicidal Behavior a Costly Signal of Apology?: A Cross-Cultural Test. Human Nature, 30. doi:10.1007/s12110-018-9333-3.
Baumeister, R. F., Stillwell, A. M., & Heatherton, T. F. (1994). Guilt: an interpersonal approach. Psychological bulletin, 115(2), 243–267. https://doi.org/10.1037/0033-2909.115.2.243
Baumeister, R. F., Bratslavsky, E., Muraven, M., & Tice, D. M. (1998). Ego depletion: Is the active self a limited resource? Journal of Personality and Social Psychology, 74(5), 1252–1265. https://doi.org/10.1037/0022-3514.74.5.1252