Tetanggamu baru saja terkena musibah. Rumahnya dirampok oleh sekelompok orang yang menggunakan penutup wajah di siang bolong saat semua keluarganya sedang ada di rumah. Satu hal yang terlintas di pikiranmu, “mungkin ia kurang memperhatikan sistem keamanan di rumahnya”. Sadar atau tidak, pikiran tersebut adalah salah satu bentuk dari victim-blaming atau menyalahkan korban dalam suatu kejadian. Sangat disayangkan bahwa victim-blaming masih kerap dilakukan oleh masyarakat terutama pada kasus pemerkosaan. Tapi, kenapa sih victim-blaming bisa terjadi? Berikut penyebab victim-blaming dari sisi psikologis.
Just-world hypothesis yang disalahgunakan
Cara pandang terhadap dunia sebagai sesuatu yang adil atau just-world hypothesis yang tertuang dalam berbagai peribahasa, seperti “kita menuai apa yang kita tanam”, bisa menjadi salah satu penyebab victim-blaming. Just-world hypothesis kerap disalahgunakan individu untuk menjelaskan mengapa seseorang tertimpa musibah. Hal buruk yang dialami oleh korban selalu dikaitkan dengan perbuatan mereka di masa sebelumnya.
Ketika ada seseorang yang menderita kerugian ratusan juta karena tertipu dalam sebuah bisnis, kondisi psikologis masyarakat cenderung menyalahgunakan just-world hypothesis yang mengarah pada pikiran bahwa orang itu sedang diadili atas hal-hal buruk yang pernah ia lakukan. Akhirnya, orang tersebut yang malah disalahkan atas musibah yang menimpanya. Padahal ia hanyalah korban.
Slut-shaming justru dijadikan tren di kalangan masyarakat
Penyebab victim-blaming yang lainnya adalah karena slut-shaming yaitu memberikan penilaian pada orang lain, terutama perempuan, berdasarkan penampilan dan perilaku mereka yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, lalu memberi mereka sebutan tertentu, contohnya “cabe-cabean” di Indonesia. Ketika ada wanita yang berpakaian ketat dengan polesan make up tebal, wanita tersebut akan disamakan dengan pelacur dan diberi julukan “cabe-cabean”.
Istilah terkait slut-shaming maupun guyonan seksis lainnya pun akhirnya menjadi tren dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar di masyarakat. Tak pelak, slut-shaming melatih sisi psikologis setiap orang untuk selalu siap memberikan penilaian dan asumsi-asumsi terhadap suatu kejadian, yang sayangnya malah ditujukan pada sang korban bukannya pelaku.
Contohnya, ada seorang wanita yang memberanikan diri untuk mengakui bahwa dirinya diperkosa dengan harapan mendapatkan keadilan. Namun, masyarakat malah menyambutnya dengan melakukan victim-blaming, mulai dari ungkapan “Pasti dia pake baju yang terbuka tuh! Makanya aurat harus ditutup!” atau “Jangan-jangan dia masih keluyuran sampai larut malam. Perempuan gak bener!” dan berbagai ujaran lainnya yang justru memojokkan sang korban.
Ketidakmampuan untuk menolong korban bisa menjadi penyebab victim-blaming
Sisi psikologis masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk melihat dunia sebagai sesuatu yang adil malah bisa menjadi penyebab victim-blaming. Mengapa demikian? Melvin Lerner dan Carolyn Simmons berhasil menjawabnya.
Pada sebuah eksperimen yang mereka lakukan, sejumlah partisipan wanita dibagi menjadi dua grup dan diperlihatkan sebuah monitor yang menampilkan partisipan lain yang sedang menerima hukuman dengan disetrum karena melakukan kesalahan dalam game mengingat kata. Grup satu bisa memberikan suara mereka untuk menghentikan hukuman setrum tersebut, sedangkan grup dua tidak diberi hak apapun untuk menolong partisipan yang sedang dihukum.
Hasilnya benar-benar mengejutkan! Grup satu yang diberikan hak untuk turut andil dalam membela partisipan yang disetrum, menganggap bahwa orang tersebut adalah orang yang baik dan tidak seharusnya dihukum. Lain halnya dengan grup dua yang hanya bisa duduk dan melihat, mereka menganggap bahwa orang itu pantas dihukum karena telah melakukan kesalahan.
Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak memiliki peran apapun dalam menolong dan membela korban cenderung tetap berusaha untuk melihat dunia sebagai sesuatu yang adil dengan menganggap bahwa korban pasti mengalami kejadian tersebut melakukan kesalahan atau sesuatu yang buruk. Mereka berusaha meyakinkan dirinya bahwa hal buruk seperti itu tidak akan terjadi pada mereka.
—
Dear, perlu diketahui bahwa jumlah kasus yang terjadi di Indonesia yang selama ini dilaporkan pada pihak berwajib tidak sama dengan jumlah kejadian yang sebenarnya. Mengapa demikian? Karena korban takut melapor! Salah satu penyebabnya adalah victim-blaming yang senantiasa menempatkan korban sebagai pihak yang bersalah. Padahal, korban seharusnya berhak mendapat pembelaan dan dukungan. Yuk, sama-sama saling mengingatkan untuk tidak melakukan victim-blaming demi memberi keberanian dan membangkitkan semangat para korban!
Disadur dari:
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/supersurvivors/201803/why-do-people-blame-the-victim
- http://affinitymagazine.us/2017/02/23/rape-culture-in-indonesia-whats-wrong/
Translated and modified by Isti Zharfiesyah Putri. Amazed by the reflection of light on a river.
Discussion about this post