Psikologi Twitter – Kelakuan warga Twitter memang banyak mengundang pro dan kontra, salah satunya kecenderungan mereka untuk melakukan “keroyokan massal” terhadap pihak-pihak yang dianggap memiliki unpopular opinion atau pendapat yang berbeda. Tak hanya beramai-ramai mem-bully, bahkan melecehkan mereka. Inilah yang dinamakan witch hunt.
Kenapa, ya, mereka sering melakukan hal itu? Biar nggak bingung, mari kita bahas dari awal, mengapa tindakan ini bisa berkembang, dan mengapa warnanet masih melakukannya hingga sekarang.
Asal Mula Istilah Witch Hunt di Twitter
Istilah witch hunt (perburuan penyihir) sebetulnya mulai dipakai di tahun 1500 dan 1660. Pada masa itu, terjadi histeria massal karena terduga penyihir, sebanyak 80.000 orang, dihukum mati di Eropa. Sekitar 80 persen dari mereka adalah wanita yang dianggap bersekongkol dengan iblis. Padahal, dugaan itu belum tentu terbukti kebenarannya. Namun, orang-orang yang dianggap tidak memiliki kebiasaan yang normal, atau tidak mengikuti norma masyarakat, dianggap sebagai penyihir yang harus dihukum dengan dicerca, bahkan dihabisi nyawanya.
Bukankah hal tersebut nggak jauh beda dengan yang terjadi di zaman sekarang? Perbedaannya, “perburuan penyihir” di masa modern adalah kepada influencer, public figure, atau netizen awam. Berkembangnya media sosial, terutama Twitter, menjadi faktor utama witch hunt terjadi, dan akhirnya menimbulkan masalah psikologi baru. Apalagi, kekacauan tersebut diakibatkan sebuah provokasi. Apalagi, media sosial seringkali mengabarkan sesuatu secara setengah-setengah, hanya menguntungkan suatu komunitas tertentu. Karena jarang mengkonfirmasi lebih lanjut, akhirnya satu orang pun menjadi korban “perburuan penyihir” dan dibenci seluruh warganet.
Twitter Sebagai Sarang Cyberbullying dan Gangguan Psikologi
Bentuk cyberbullying itu macam-macam, namun tetap saja tujuannya satu: menyakiti dan melecehkan orang lain. Maka dari itu, tindakan yang dilakukan warga Twitter terhadap orang-orang yang di-witch hunt sungguh tak bisa dibenarkan. Maka dari itu, bagi mereka yang pernah mengalami bullying lewat Twitter, hingga menjadi sasaran witch hunt, akan rentan oleh depresi dan gangguan psikologi lainnya. Selain itu, orang yang juga pernah mengalami riwayat trauma karena keluarga, episode depresif, dan masalah mental lainnya bisa lebih rentan mengalami dampak cyberbullying.
Beberapa contoh kasus cyberbullying dan witch hunt yang sedang populer saat ini adalah kepada Gitasav dan Jerome Polin. Kedua influencer ini mendapatkan cercaan dari warga Twitter karena sikap dan pendapat mereka.
Namun, bagaimana warganet merespon mereka pun tidak bisa disalahkan begitu saja. Gitasav yang terkenal getol mengkampanyekan childfree juga pernah menyerang salah satu akun di Instagram dan menyebutnya “stunting,” yang memicu kemarahan warganet lainnya. Jerome Polin sempat membuat konten bersama hewan langka yang dilindungi, sehingga memicu kemarahan para aktivis. Apalagi, tweet-nya tentang pembalap Indonesia memicu respon kurang mengenakkan dari warganet maupun sesama pembalap, yaitu Sean Gelael.
Nah, intinya semua tindakan witch hunt yang mereka dapatkan ini bukanlah tanpa alasan. Namun, tetap saja, dari perspektif Riliv, hal ini tidak bisa dibenarkan. Merespon perilaku negatif dengan perilaku negatif yang lain malah justru akan memperparah keadaan, bahkan tidak bisa memutus rantai perundungan itu sendiri.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita sebagai warganet mengatasi hal ini?
Mengatasi Gangguan Psikologi karena Bullying di Twitter
Sayangnya, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengatasi cyberbullying dalam waktu singkat. Soalnya, kita nggak bisa mengontrol bagaimana warga Twitter bersikap dan berperilaku. Namun, kita bisa mengurangi penyebaran cyberbullying dengan beberapa cara. Berikut ini cara-caranya menurut Riliv!
Tinjau Ulang Setiap Informasi di Twitter dan Media Sosial
Jika kamu mendapatkan satu informasi yang tidak mengenakkan tentang satu atau dua orang, pastinya kamu akan merasa ke-trigger, bukan? Nah, manfaatkanlah waktu untuk meninjau ulang setiap informasi tersebut. Cari tahu lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai hanya menyalahkan satu pihak saja.
Melaporkan Online Harassment di Media Sosial
Nggak berani ikut campur dalam cyberbullying atau witch hunt? Lebih baik kamu melaporkan akun-akun yang melakukan cyberbullying tersebut dalam diam. Jika kamu cukup teliti, kamu akan tahu bahwa Twitter, Instagram, dan Facebook punya privacy policy yang melindungi warganet dari online harassment. Setiap akun yang terbukti melakukan pelanggaran dan merusak kenyamanan bermedia sosial akan di-banned oleh media sosial tersebut. Jadi, jangan takut untuk melapor, ya! Kalau perlu, ajaklah teman-teman mutual kamu untuk melakukannya juga.
Baca juga: Cyberbullying di Media Sosial, Seperti Apa Contohnya?
Tingkatkan Keamanan Akunmu
Online harassment dan cyberbullying bisa menyerang siapa saja, termasuk anak-anak di bawah umur. Pew Research Center melaporkan bahwa 59% anak-anak remaja pernah menjadi korban bullying oleh warganet, 16% pernah mengalami ancaman fisik online, 32% di antaranya pernah jadi kabar berita palsu, dan 42% di antaranya mengaku pernah diberi panggilan yang tidak pantas atau menyinggung secara online. Begitu pula yang mengalami witch hunt, yang kebanyakan berjenis kelamin wanita. Tak hanya di-bully, mereka juga sering mendapat slut-shaming dari warganet.
Baca juga: Slut-shaming: Pelecehan Seksual yang Tak Terduga
Maka dari itu, jika kamu pernah mengalami bullying lewat medsos, ada baiknya kamu melakukan pengamanan akun secara dobel. Misalnya, menggunakan password dengan kombinasi huruf, tanda, dan angka, menambahkan verifikasi akun, fingerprint atau face ID, menghindari link ambigu di media sosial, serta tidak memberikan informasi pribadi seenaknya saat posting di internet.
Tidak Merespon atau Ikut-ikutan
Tindakan yang satu ini paling bijak dilakukan apabila kamu memang tidak punya kendali atas situasi yang terjadi, atau takut akan menyinggung pihak bersangkutan. Gitasav dan Jerome di-bully dan diburu seolah-olah mereka penyihir yang kabur, sampai-sampai warganet jadi lupa bahwa mereka masih punya konten-konten lain yang bermanfaat.
Jadikanlah apa yang mereka alami sebagai refleksi diri. Mungkinkah kamu pernah mengatakan sesuatu yang salah pada orang lain? Perbedaannya denganmu, adalah mereka berdua influencer yang tersohor, sehingga sekali melakukan atau mengatakan sesuatu, mereka akan disorot semua orang. Mereka berdua manusia juga, kan? Dan mereka pasti pernah berbuat kesalahan.
Konsultasi Psikologi Terkait Pem-Bully-an di Twitter
Akibat dari pem-bully-an secara online maupun offline bisa menurunkan self-esteem dan membuat kamu merasa cemas pergi ke mana-mana. Bagaimana tidak? Kamu selalu takut segala aktivitas yang kamu perbuat akan direkam atau disebar oleh warganet. Kamu merasa seperti diawasi dan dimata-matai. Sekalipun identitas di internetmu berbeda dengan dunia nyata, perasaan was-was itu akan selalu membuat kamu tak aman.
Maka dari itu, tak ada cara yang lebih efektif selain berkonsultasi pada psikolog, konselor, dan ahli terapi. Witch hunt dan cyberbullying dapat melukai kamu secara psikologis dan emosional, sehingga kamu pun butuh mereka yang ahli di bidangnya untuk mengembalikan kepercayaan dirimu.
Di manapun kamu berada, apabila kamu membutuhkan bantuan, konsultasi online Riliv selalu ada untukmu setiap saat!
Referensi:
- Anderson, M. (2018). A Majority of Teens Have Experienced Some Form of Cyberbullying. Retrieved from Pew Research Center: https://www.pewresearch.org/internet/2018/09/27/a-majority-of-teens-have-experienced-some-form-of-cyberbullying/
- Gaskill, M. (2016). Social media witch-hunts are no different to the old kind – just bigger. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/oct/13/social-media-witch-hunts
- History.com Editors. (2017). History of Witches. Retrieved from History.com: https://www.history.com/topics/folklore/history-of-witches
- Raypole, C. (2019). Trolls and Toxicity: Surviving Online Harassment. Retriecved from Good Therapy: https://www.goodtherapy.org/blog/trolls-toxicity-surviving-online-harassment-0529197
- Stevens, F., Nurse, J. R. C., & Arief, B. (2021). Cyber Stalking, Cyber Harassment, and Adult Mental Health: A Systematic Review. Cyberpsychology, behavior and social networking, 24(6), 367–376. https://doi.org/10.1089/cyber.2020.0253