Secara sederhana, istilah ‘self-esteem’ merujuk pada seberapa besar seseorang merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai. Hal ini juga mencakup bagaimana seseorang menghargai dan menyukai dirinya sendiri. Walaupun terdengar cukup sederhana, namun ternyata terdapat beragam teori self-esteem yang masing-masingnya memiliki pandangan berbeda-beda dalam mendefinisikan dan menjabarkan self-esteem itu sendiri, lho.
Salah satu teori yang paling menarik dalam membahas perihal self-esteem ini adalah Teori Determinasi Diri atau Self-Determination Theory (STD). Nah, kali ini kita akan mencoba untuk mengulik dua tipe self-esteem menurut perspektif STD ya, Dear!
Yang pertama, tipe contingent
Photo by Karolina Grabowska from Pexels
Disebut juga contingent self-esteem (CSE).
Nah, self-esteem tipe ini merujuk pada perasaan berharga atas diri sendiri yang didasarkan oleh standar-standar eksternal, misalnya seperti standar kesuksesan atau kecantikan yang umumnya dianut oleh masyarakat.
Ilustrasi lebih konkret dari contingent self-esteem ini misalnya seorang siswa yang hanya akan merasa dirinya berharga hanya jika ia berhasil mendapatkan nilai 100 di ujian-ujian sekolahnya. Secara sederhana, self-esteem tipe ini dapat disebut sebagai self-esteem yang bersyarat—“aku harus seperti ini dan seperti itu terlebih dahulu, baru aku bisa menganggap diriku berharga!”.
Pada umumnya, orang-orang dengan kecenderungan contingent self-esteem yang tinggi memiliki self-worth yang lebih rentan terhadap pengaruh eksternal—mereka akan lebih mudah mengadopsi standar atau tujuan yang dimiliki orang lain sebagai patokan dirinya juga. Jika mereka berhasil memenuhi standar atau tujuan yang sedemikian rupa, barulah mereka mendapatkan perasaan berharga tersebut.
Nah, ada satu lagi—di dalam teori self-esteem ini juga ada tipe true
Photo by Just Name from Pexels
Disebut juga true self-esteem (TSE).
Nah, tipe yang kedua ini adalah versi berkebalikan contingent self-esteem tadi. True self-esteem merujuk pada perasaan berharga terhadap diri sendiri yang tidak semata-mata terikat dan bergantung pada faktor-faktor eksternal, misalnya seperti pengalaman keberhasilan atau kegagalan.
Orang-orang dengan kecenderungan true-self esteem yang tinggi memiliki self-worth yang lebih sehat dan konsisten. Hal ini dikarenakan mereka mampu melihat dan menghargai dirinya sebagaimana adanya, terlepas dari kejadian-kejadian eksternal seperti pujian atau celaan orang lain.
Ilustrasi dari true-self esteem ini misalnya seorang siswa mendapatkan nilai ujian yang belum sesuai dengan targetnya, namun kejadian ini tidak serta merta membuatnya merasa tidak berarti karena ia sadar bahwa nilai (value) dirinya tidak hanya ditentukan oleh nilai (score) ujiannya semata.
Apa kata teori: contingent self-esteem versus true self-esteem
Nah, berdasarkan deskripsi ringkas mengenai contingent self-esteem dan true self-esteem di atas—tipe manakah yang dirasa lebih positif?
Sepertinya mayoritas akan satu suara dalam menjawab, ya.
Ditinjau dari Self-Determination Theory yang disebutkan di awal, realisasi dari tipe true self-esteem memang disebut sebagai bentuk self-esteem yang optimal.
Lagi-lagi, hal ini kembali pada kenyataan bahwa realitas yang terjadi di sekitar kita tidak akan selalu sesuai dengan ekspektasi dan harapan kita. Dalam konteks demikian, orang-orang dengan contingent self-esteem cenderung akan lebih mudah merasa ‘runtuh’ dan tidak berharga saat hal-hal yang tidak diinginkannya terjadi. Di sisi lain, orang-orang dengan true self-esteem cenderung akan lebih tangguh dengan tetap menyadari bahwa dirinya berharga di situasi yang sulit sekalipun.
Lantas, bagaimana cara mengembangkan true self-esteem?
Nah, menurut Self-Determinantion Theory ini, ada satu kunci untuk ‘lepas’ dari contingent self-esteem, kemudian mengembangkan true self esteem, hingga akhirnya dapat menjalankan hidup dengan lebih puas.
Tak lain dan tak bukan, kunci tersebut ialah pengembangan awareness.
Awareness dalam konteks ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk melihat dan mengetahui apa saja yang sedang terjadi di dalam maupun di luar dirinya—juga untuk menerimanya sebagaimana adanya, tanpa penghakiman.
Photo by nicollazzi xiong from Pexels
Dengan memiliki awareness, seseorang juga akan lebih mampu untuk memahami apa yang sebenarnya ia butuhkan, inginkan, atau sukai—tanpa perlu ikut-ikutan atau bergantung terhadap orang lain. Inilah yang kemudian menjadi titik awal dari pengembangan true self-esteem tadi.
Tidak perlu khawatir, awareness ini sangat bisa dilatih, lho! Salah satu cara utamanya adalah dengan mindfulness practice. Nah, mindfulness practice ini pun dapat dilakukan melalui banyak kegiatan—mulai dari menulis jurnal, latihan pernapasan, hingga meditasi. Jika kamu tertarik untuk mencoba meditasi sebagai mindfulness practice-mu, Riliv selalu siap membantumu, lho! Melalui aplikasi Riliv, kamu dapat mengakses beragam panduan meditasi sesuai dengan selera dan kebutuhanmu.
Yuk, bersama-sama kita mulai perjalanan mengembangkan true self-esteem dalam diri!
Disadur dari:
- Cherry, K. (2019). Signs of Healthy and Low Self-Esteem. Dilansir dari https://www.verywellmind.com/what-is-self-esteem-2795868
- Ryan, R. M., & Brown, K. W. (2006). What is Optimal Self-Esteem? The Cultivation and Consequences of Contingent vs. True Self-Esteem as Viewed from the Self-Determination Theory Perspective.