Sebagai manusia, kita tentu pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam hidup yang membuat kita sedih, rapuh, dan seakan tidak sanggup melakukan apapun. Ketika berada dalam posisi tersebut, kita butuh bantuan orang lain untuk tetap merasa baik-baik saja. Namun terkadang, yang kita dapatkan bukan malah pengertian, tetapi justru kata-kata yang bernada menyemangati, tapi ternyata malah menjadi toxic positivity.
Kita mungkin sudah tidak asing dengan ungkapan toxic positivity, apalagi di era media sosial seperti ini.
Ketika orang-orang terdekat kita di dunia nyata mulai tidak peduli, kita biasanya akan melarikan diri dengan menumpahkan keluh kesah di media sosial. Eh, tapi ternyata, di media sosial pun kita nggak luput dari toxic positivity.
Hmm, sebenarnya, toxic positivity di media sosial ini yang seperti apa, sih? Yuk, simak penjelasannya bersama!
Apa yang dimaksud dengan toxic positivity?
Toxic positivity dapat diartikan sebagai sikap yang terlalu menggeneralisasi perasaan senang atau optimis secara berlebihan dalam berbagai kondisi. Kemunculan toxic positivity ini ditandai dengan penolakan dan pernyataan bahwa emosi negatif yang kita rasakan tersebut tidak valid.
Eh, tapi, bukankah sikap optimis itu bagus, ya? Sikap optimis memang bagus, Dear! Namun, perlu kita ingat bahwa suasana hati manusia sangatlah fluktuatif.
Kita tidak bisa memaksakan diri untuk terus baik-baik saja sepanjang hidup. Nah, toxic positivity akan membuat kita beranggapan bahwa kita salah jika merasa tidak baik-baik saja.
Kenapa toxic positivity bisa terjadi di media sosial?
Saat ini, bisa dibilang bahwa kita banyak beraktivitas di media sosial. Kita bisa mengakses banyak hal, termasuk kehidupan orang lain di sana.
Media sosial membuat kita berlomba-lomba untuk menunjukkan sisi terbaik dari diri kita. Ketika melihat orang lain yang hidupnya tampak lebih sempurna, kita menjadi lebih mudah sedih dan terpuruk.
Dalam membagikan aktivitas di media sosial, kita tentu terus berusaha agar diri kita terlihat menarik, bukan? Kita membagikan banyak cerita menyenangkan, mengunggah foto dan video saat sedang bersenang-senang, dan membagikan kutipan-kutipan yang memotivasi.
Bahkan di kala kita merasa sangat sedih sekalipun, kita tetap menutupinya dari media sosial. Jarang sekali kita mengunggah kesedihan kita di sana.
Tentu, sangat berat rasanya ketika kita sedang sedih, kemudian melihat berbagai unggahan teman-teman di media sosial yang tampak selalu bahagia.
Kita pun jadi bertanya-tanya, “Apakah kesedihanku nggak wajar?”, “Kok orang-orang sepertinya bahagia semua, ya? Apakah memang selama ini aku terlalu berlebihan?”, dan berbagai macam pertanyaan lainnya.
Dari sinilah muncul toxic positivity tersebut, Dear! Kita jadi menolak segala emosi negatif kita karena kita ingin selalu terlihat sempurna seperti dunia yang ditampakkan media sosial.
Ketika hal itu terjadi, apa yang bisa dilakukan?
Menulis adalah salah satu cara untuk menghindari toxic positivity (Photo by Thought Catalog on Unsplash)
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar tidak terjebak dalam toxic positivity di media sosial. Di antaranya yaitu:
1. Belajar untuk menerima segala emosi negatif dalam diri
Sedih, marah, kecewa, dan segudang perasaan negatif lainnya itu wajar, kok! Semua manusia pasti pernah merasakannya. Semua orang yang kita lihat unggahannya di media sosial itu pun pasti sedang berhadapan dengan masalah masing-masing.
Jika kita mengalami satu hari yang buruk, tidak apa-apa juga, kok, Dear! Memiliki hari yang buruk bukan berarti kita merupakan seseorang yang buruk juga, loh!
Jadi, daripada capek karena terus-terusan menolak emosi negatif, kita perlu belajar untuk menerimanya. Meskipun sulit, kita bisa mengusahakannya perlahan-lahan.
2. Kontrol waktu dalam bermedia sosial
Mungkin selama ini, kita membiarkan diri kita terlalu bebas dalam mengakses media sosial. Padahal, kita seharusnya perlu mengontrol waktu dalam bermedia sosial. Terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial akan membuat kita lupa bahwa perasaan kita nyata.
3. Kenali ketika media sosial mulai memberikan pengaruh buruk
Tidak ada yang salah dengan memiliki media sosial, loh, Dear! Media sosial bisa memberikan efek positif dan memudahkan kita untuk saling berinteraksi satu sama lain. Akses informasi juga bisa kita dapatkan melalui media sosial secara cepat.
Eh, tapi, media sosial berperan layaknya pedang bermata dua. Selain bisa memberikan pengaruh positif, media sosial juga bisa memberikan pengaruh buruk kepada kita jika kita tidak menggunakannya secara bijak.
Maka, hal yang bisa kita lakukan adalah dengan mengenali aktivitas media sosial kita. Kenali waktu-waktu ketika media sosial membuat kita merasa lebih baik ataupun ketika media sosial justru membuat kita semakin stres.
Dengan melakukan hal tersebut, kita pun akan memiliki kendali yang lebih bijak atas diri kita sendiri.
4. Coba untuk menuliskan perasaan yang sedang dialami
Menulis di media sosial memang menyenangkan. Namun, perlu kita sadari bahwa tidak semua orang di media sosial benar-benar peduli tentang apa yang kita rasakan.
Selain itu, kalau media sosial memang lebih banyak memberikan pengaruh negatif saat kita bersedih, bukankah akan lebih baik kalau dihindari saja?
Sebagai gantinya, kita bisa coba untuk menuliskan perasaan yang sedang dialami pada buku atau catatan, seperti menulis buku harian.
Meskipun terdengar sepele, aktivitas ini bisa membantu kita menumpahkan perasaan negatif kita, sehingga membuat kita merasa lebih baik. Cara ini juga efektif untuk dilakukan ketika kita sedang merasa nggak punya teman untuk berbagi cerita.
5. Meditasi juga bisa membantu
Mempraktikkan meditasi bisa membantu kita untuk merasa lebih baik, karena meditasi berperan dalam menurunkan tingkat stres yang sedang kita rasakan.
Kalau media sosial terasa melelahkan dan kita sedang sedih, marah, ataupun kecewa, meditasi bisa menjadi salah satu alternatif untuk dilakukan.
Kalau kita masih pemula dalam meditasi, jangan khawatir, Dear! Saat ini, kita bisa mendapat akses layanan meditasi dengan mudah melalui aplikasi Riliv. Fitur meditasi tersebut juga memberikan panduan langkah-langkah dalam bermeditasi sesuai kebutuhan kita.
Apakah toxic positivity di media sosial berbahaya?
Apakah toxic positivity di media sosial berbahaya? (Photo by George Pagan III on Unsplash)
Sama seperti toxic positivity di dunia nyata, toxic positivity di dunia maya pun berpotensi membahayakan kesehatan mental kita, Dear.
Apalagi kalau kita tidak tahu cara yang tepat dan bijak untuk menghadapinya. Maka, kita harus berusaha mengendalikan diri sebaik mungkin sebagai salah satu langkah antisipasi toxic positivity di media sosial.
Apabila semua cara sudah dilakukan, tetapi kita nggak kunjung membaik, kita perlu berkonsultasi ke profesional, seperti psikolog, ya, Dear!
Selain membantu untuk menurunkan tingkat stres yang kita alami, konsultasi ke psikolog juga bisa berperan dalam mengatasi efek toxic positivity akibat media sosial.
Bersikap positif dan optimis memang penting, tapi nggak ada salahnya juga kalau kita sedih, marah, atau kecewa, Dear!
Semua perasaan negatif tersebut merupakan tanda bahwa kita adalah manusia biasa yang tetap bisa terluka. Meminta bantuan juga bukan berarti kita kalah, loh! Justru tindakan tersebut menunjukkan kalau kita sedang memperjuangkan kesejahteraan mental kita.
Referensi:
- Muller, R. (2019). Toxic Positivity Could Be the Reason You Get Sad After Looking at Social Media. Thrive Global. Disadur dari https://thriveglobal.com/stories/avoid-toxic-positivity-social-media-stress-sadness/
- Scott, K. (2020). Toxic Positivity on Social Media and How to Avoid It. ABC Life. Disadur dari https://www.abc.net.au/life/toxic-positivity-on-social-media-and-how-to-avoid-it/12432790
Ditulis oleh Nur Nisrina Hanif Rifda, temanmu bercerita.