Kekerasan Seksual pada Anak – Seringkali, berita tentang kekerasan seksual berseliweran di media sosial. Dilansir dari Republika, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, per tahun 2022, kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak sebagai korbannya telah meningkat signifikan sebesar 16.106 kasus. Lalu, sebagai orang tua, guru, atau caregiver, bagaimana kita bisa mengenali tanda kekerasan seksual pada anak-anak?
Faktor-faktor Penyebab Maraknya Kekerasan Seksual pada Anak
Dalam sebuah artikel The Guardian yang ditulis Suzanne Moore, kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang muncul di masyarakat sebetulnya berakar dari budaya patriarki dan kecenderungan masyarakat mengabaikan hal-hal tersebut. Tentu saja, yang paling banyak mengalaminya adalah wanita, apalagi jika mereka termasuk pihak-pihak yang tidak punya power di masyarakat. Namun, nasib anak-anak pun juga tidak lebih baik dari orang dewasa. Menurut UNICEF, di Indonesia, kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual ternyata banyak yang belum terlaporkan. Di tahun 2022, sekitar 56% kasus eskploitasi anak secara seksual terjadi melalui platform online, dengan total korban sebanyak 500.000 anak.
Pertanyaannya, kenapa hal ini bisa tidak terlaporkan? Ternyata, ada kecenderungan bagi korban untuk takut speak up tentang kekerasan seksual yang dialaminya. Mereka merasa malu dengan pengalaman yang mereka alami, merasa denial atau tidak menyadari apa yang mereka alami, dan takut konsekuensi yang akan terjadi jika mereka mengakuinya. Apalagi, stigma mengenai korban pelecehan dan kekerasan seksual di masyarakat masih tinggi. Bukan hanya mendapat sanksi sosial, mereka juga akan takut hal itu mempengaruhi kehidupan mereka di sekolah, tempat kerja, atau keluarga.
Selain itu, menurut CDC, kekerasan yang terjadi pada anak, baik secara fisik, emosional, maupun seksual, bisa terjadi karena keluarga yang bermasalah. Entah karena orang tuanya memiliki gangguan mental, sering menyalahgunakan obat dan alkohol, mengalami masalah ekonomi, memiliki pendidikan yang rendah, dan budaya yang mengakar di masyarakat bahwa anak-anak harus patuh dan dihukum jika tidak mematuhi orang tuanya.
Gejala dan Tanda Kekerasan Seksual pada Anak
Beberapa tanda kekerasan seksual bisa tampak secara fisik, misalnya munculnya memar-memar pada tubuh anak, masalah pada organ reproduksi, atau luka-luka yang tampak di sekitar area genital. Namun, secara psikologis, kekerasan seksual bisa mempengaruhi anak-anak dalam perubahan perilaku yang bisa kita amati.
Dlansir dari Rainn.org, ada baiknya orang tua maupun caregiver waspada jika anak menunjukkan sikap berikut ini:
- Tampak lebih pendiam, bahkan menampakkan gejala-gejala depresi.
- Mulai mengutarakan keinginan bunuh diri atau self-harming.
- Sering bolos sekolah atau mengalami penurunan performansi akademik.
- Suka melarikan diri dari rumah.
- Biasanya lebih sering mandi atau membersihkan diri.
- Sering mengalami mimpi buruk.
- Tiba-tiba memahami atau mengembangkan perilaku seksual yang kurang lazim pada anak seusianya.
- Menjadi mudah takut atau mengalami fobia terhadap hal-hal tertentu.
Dampak Kekerasan Seksual pada Anak
Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual bisa mengalami trauma hebat. Menurut studi neurokognitif, ada penurunan kesadaran spasial serta penurunan kinerja kognitif umum dan memori pada anak yang mengalami kekerasan seksual dibandingkan dengan individu normal yang diakibatkan oleh trauma ini. Selain itu, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual juga akan mengalami kesulitan bersosialisasi dengan orang lain. Mereka tidak suka jika ada orang mendekati mereka, entah itu orang tua atau teman sebayanya.
Solusi terbaik menangani trauma anak karena kekerasan seksual adalah membicarakannya dengan psikolog khusus perkembangan anak. Melalui terapi dan konseling, anak-anak akan belajar untuk menangani trust issues dengan orang lain, belajar membangun hubungan sosial yang produktif, dan meningkatkan self-esteem-nya sehingga ia bisa kembali menjalani hidup seperti anak-anak pada umumnya. Tentu saja, hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Yang terpenting adalah dukungan dari keluarga, orang tua, maupun caregiver sangat penting bagi proses pemulihan anak dari trauma kekerasan seksual yang dialaminya.
Ingin bicara dengan psikolog mengenai permasalahan anak? Hubungi psikolog lewat Riliv, bisa di mana saja dan kapan saja!
Referensi:
- Engel, B. (2017). Why Don’t Victims of Sexual Harassment Come Forward Sooner?. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-compassion-chronicles/201711/why-dont-victims-of-sexual-harassment-come-forward-sooner
- Independent Inquiry Child Sexual Abuse. (2022). The effects of child sexual abuse. Retrieved from Independent Inquiry Child Sexual Abuse: https://www.iicsa.org.uk/reports-recommendations/publications/inquiry/interim/nature-effects-child-sexual-abuse/effects-child-sexual-abuse
- Mayo Clinic. (n.d.). Child Abuse. Retrieved from Mayo Clinic: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/child-abuse/diagnosis-treatment/drc-20370867
- Shrivastava, A. K., Karia, S. B., Sonavane, S. S., & De Sousa, A. A. (2017). Child sexual abuse and the development of psychiatric disorders: a neurobiological trajectory of pathogenesis. Industrial psychiatry journal, 26(1), 4–12. https://doi.org/10.4103/ipj.ipj_38_15