Retinol – Teman-teman yang membaca artikel ini pasti sepakat dengan penulis bahwa Indonesia sedang digempur dengan banyaknya skin care routine yang bertebaran di media sosial. Berkat para influencer di medsos itulah, orang-orang di luar sana berbondong-bondong membeli produk-produk yang menurut klaim bisa mencerahkan kulit, anti-ageing, hingga mencegah pigmentasi. Salah satu bahan yang sedang viral akhir-akhir ini adalah retinol.
Menurut ahli, retinol merupakan salah satu bentuk vitamin A. Bahan aktif ini bisa membuat kulit lebih awet muda dan bebas jerawat. Beberapa bahan lainnya seperti peptides dan salicylic acid juga bisa digunakan untuk anti-ageing dan mengatasi jerawat.
Namun, pernah nggak sih kalian berpikir, mengapa orang-orang bisa tergila-gila dengan retinol dan bahan-bahan aktif lainnya dalam skin care? Apa artinya fenomena ini?
Jawabannya jelas. Hal ini menunjukkan suatu perubahan yang positif dalam peradaban umat manusia! Bagaimanapun juga, munculnya tren skin care routine berkaitan dengan fakta anak muda semakin mengutamakan self care.
Tapi, apa sih sebetulnya self care itu?
Self care berarti meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang membantu kamu hidup dengan baik dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Maka dar itu, dalam konteks kesehatan mental, self care atau perawatan diri dapat membantu kita mengelola stres, menurunkan risiko terjangkit penyakit, dan mengelola energi dalam melakukan aktivitas.
Skin care routine sebagai bentuk self care
Melakukan skin care routine, berolahraga, meditasi, dan makan makanan sehat juga termasuk ke dalam kategori self care. American Psychological Association sendiri menganjurkan praktisi mental health untuk senantiasa memperhatikan kesejahteraan pribadinya dengan melakukan perawatan diri, sebab hal tersebut berarti menjunjung kode etik profesional. Yah, siapa sih yang mau datang berkonsultasi dengan psikolog yang nggak memperhatikan penampilannya? Selain memberi kesan yang baik di mata klien, praktisi psikologi dianjurkan menerapkan self care untuk mendorong sikap yang serupa pada kliennya. Apalagi, layaknya tenaga profesional lain, praktisi kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, dan konselor pun juga rentan akan terjadinya burnout yang disebabkan oleh pekerjaannya.
Skin care routine, sebuah konsumerisme?
Memang, melakukan self care itu bukanlah sesuatu yang selfish. Namun, bila dikaitkan dengan lifestyle masyarakat modern, munculnya tren skin care routine di masyarakat juga punya pengaruh negatif. Ironisnya, semakin orang-orang sadar bahwa mereka harus tampil menarik dan sehat, semakin banyak pula duit terbuang untuk melakukan perawatan diri yang mahal. Tentunya, hal ini tidak jauh dengan definisi dari konsumerisme itu sendiri.
Menurut American Psychological Association, konsumerisme sering dikaitkan dengan perilaku conspicuous consumption, di mana individu berusaha memperoleh dan menampilkan barang-barang mahal sebagai sarana untuk mempertahankan status sosial.
Itulah mengapa, media sosial bisa merusak citra dari self care. Dari yang semula mendorong positive impact, kini menjadi urgensi untuk membeli barang-barang tak perlu karena fear of missing out. Peran media sosial sebagai sarana promosi produk bisa menguntungkan pebisnis. Namun bagi individu, media sosial bisa memicu impulsivitas dan perilaku kompulsif.
Lihat saja, para influencer maupun brand ambassador yang mempromosikan khasiat dari skin care yang mengandung bahan-bahan aktif ada di mana-mana. Tak jarang pula di media sosial kita melihat iklan-iklan yang mengklaim bahwa retinol bisa mengatasi segala permasalahan kulit. Dan apa yang mereka dapatkan dari promosi itu? Jelas, mereka melakukan simbiosis mutualisme dengan pra brand. Mereka mendapatkan engagement, para brand mendapatkan duit kita.
Siapa tahu, yang kamu butuhkan bukanlah retinol!
Kalau dipikir-pikir, tidak semua orang membutuhkan retinol sebagai bahan aktif dalam skin care routine-nya, lho! Menurut Cleveland Clinic, retinol bisa menyebabkan efek samping berupa gatal-gatal, iritasi, dan kulit kering. Maka dari itu, penggunaan retinol harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Maka dari itu, saran dermatologis juga dibutuhkan apabila kamu memiliki kulit yang sensitif dengan zat-zat aktif seperti retinol.
Akan tetapi, bila mindset kamu sudah terbangun dengan “aku harus beli ini” dan “aku harus punya itu,” tanpa sadar kamu sudah termakan iklan yang menunjang perilaku kompulsif. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengkaji lebih lanjut terkait produk tertentu dan monitoring diri sendiri. Khususnya, dalam mencari tahu apakah kita benar-benar membutuhkan suatu barang tertentu atau hanya karena pengen ikut-ikutan tren.
Dilansir oleh Nantel dan Strahle (1986), monitoring diri yang rendah menunjukkan kurangnya perhatian kita terkait kesesuaian perilaku sosial, dalam hal ini mengutamakan self care secara ekstrim. Padahal, self care itu bukan berarti membebani dirimu untuk menjadi sempurna dan mengikuti apa yang viral secara membabi buta. Di samping memperbaiki penampilan fisik, kamu juga harus memperbaiki diri secara internal. Misalnya, latihan regulasi emosi, menenangkan diri dari kecemasan, dan mengenal potensi diri sendiri.
Ehm, bukan berarti Riliv melarang kamu merawat diri agar tampil menarik, ya! Namun, jadikanlah rutinitas self care itu sebagai cara menghargai diri sendiri dengan penuh kesadaran. Sebab, itulah esensi dari mindfulness yang selama ini sering Riliv sebut dalam artikel-artikel Riliv Story lainnya.
Baca juga: 3 Tips Mindfulness Saat Bekerja, Mulai dari Cara Sederhana!
Bagaimana, Guys? Apakah di antara kamu ada yang menerapkan skin care routine dalam keseharianmu? Selain skin care, kamu juga bisa menambahkan meditasi, Journaling, dan latihan pernafasan untuk mengurangi kecemasan di sela-sela aktivitasmu, lho! Yuk, mari terapkan self care yang sehat dan mudah bersama Riliv!
Referensi:
- Bellieni C. V. (2018). Consumerism: a threat to health?. Journal of the Royal Society of Medicine, 111(4), 112. https://doi.org/10.1177/0141076818763332
- Doran, J. (2014). The unspoken truth about self-care. Retrieved from American Psychological Association: https://www.apa.org/gradpsych/2014/04/corner
- Nantel, J. A., & Strahle, W. (1986). The Self-Monitoring Concept: a Consumer Behavior Perspective. Advances in Consumer Research, 13, 83-87.
- National Insitute of Mental Health. (n.d.). Caring for Your Mental Health. Retrieved from National Insitute of Mental Health: https://www.nimh.nih.gov/health/topics/caring-for-your-mental-health
- Pellegrino, A., Abe, M., & Shannon, R. (2022). The Dark Side of Social Media: Content Effects on the Relationship Between Materialism and Consumption Behaviors. Frontiers in psychology, 13, 870614. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.870614
- Sissenich, N. (2021). Consumerism Is Not Self-Care. Retrieved from The Science Survey: https://thesciencesurvey.com/editorial/2021/04/23/consumerism-is-not-self-care/
- Sutton, J. (2021). 10 Self-Care Tips for Psychologists, Therapists & Counselors. Retrieved from Positive Psychology: https://positivepsychology.com/self-care-therapists/