Slut-shaming – Ih, apaan sih pakai baju terbuka, kayak cewek murahan!
Coba, deh, pikir baik-baik. Perkataan seperti itu mungkin suka terngiang di kepala kita, terutama cewek-cewek. Seringkali berpakaian terbuka di masyarakat kita masih diasosiasikan dengan hal yang negatif. Namun sebetulnya, pembahasan kita kali ini jauh lebih parah dari itu, bahkan sampai membuat banyak wanita menjadi korban pelecehan seksual karenanya. Mari merapat, Ladies!
Apa Itu Slut-shaming?
Secara etimologis, kata slut dalam bahasa Inggris berarti wanita yang memiliki banyak pasangan seksual, sehingga disamakan dengan “wanita panggilan,” “pelakor,” atau, yah… “wanita murahan.” Maka dari itu, istilah slut-shaming sering merujuk kepada anggapan bahwa seorang wanita yang percaya diri dengan seksualitasnya adalah tidak beradab, bermoral rendah, dan semacamnya. Padahal, tanpa kita sadari, ucapan bahwa seseorang itu “wanita murahan,” adalah sebuah bentuk pelecehan seksual secara verbal. Hal ini dikarenakan kita memberikan label terhadap sebuah fenomena atau individu tertentu secara ofensif untuk melukai hati mereka.
Menurut psikoterapis Stella O’Malley, slut-shaming tidak hanya menyerang wanita dewasa, melainkan juga remaja, dan bisa jadi dilakukan oleh anak remaja seusianya, apalagi yang berjenis kelamin laki-laki.
Meskipun demikian, kita nggak bisa serta merta menyimpulkan bahwa semua laki-laki suka melakukan slut-shaming dan nggak semua yang melakukan slut-shaming adalah laki-laki. Malahan, sebetulnya, slut-shaming juga bisa dilakukan oleh sesama wanita. Nggak peduli status sosial, orientasi seksual, maupun tingkat pendidikan wanita, hal ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Lalu, bagaimana slut-shaming bisa terjadi?
Ekspresi Gender dan Stigma Masyarakat
Sebelum kita deep dive lagi, coba deh kita mikir dari perspektif yang lebih ringan mengenai peran gender cewek dan cowok. Misalnya, pernah nggak kamu melihat cewek berani confess duluan ke cowok? Mungkin pernah, tapi nggak sebanyak cowok yang confess duluan. Kenapa? Karena masyarakat terpaku pada stereotip bahwa cewek itu nggak boleh mengekspresikan minat seksualnya.
Selain itu, menurut psikolog Geoffrey Miller, slut-shaming terjadi karena stigma masyarakat yang menganggap ekspresi seksual wanita adalah sesuatu yang tabu, dan bahwa perempuan yang memiliki interest seksual dengan banyak laki-laki tanpa komitmen telah mengurangi “kesakralan” seks sebagai sebuah ritual yang menandakan komitmen. Padahal sebetulnya, kalau dilihat dari sisi cowok, kasus slut-shaming itu nggak jauh-jauh juga dari simp-shaming. Arti simp-shaming sendiri adalah ejekan bagi cowok yang berusaha keras memikat para wanita, baik itu dengan mempertontonkan harta, memberi perhatian berlebih, atau mengubah penampilannya jadi lebih keren. Lalu, apa persamaannya dengan slut-shaming?
Dari perspektif wanita, simp-shaming juga sama merendahkannya seperti slut-shaming, karena seolah-olah cewek yang dikasih perhatian cowok itu dianggap menarik secara seksual saja, diabaikan statusnya, dan tidak dipedulikan achievement-nya. Jadi, yah, bisa dibilang ejekan itu juga melukai harga diri wanita. Sementara dari perspektif pria, hal itu menandakan adanya toxic masculinity yang masih berkembang di masyarakat, di mana masyarakat masih memandang cowok itu harus jadi dominan dan nggak boleh takluk sama pesona cewek. Menurut teori biososial, baik slut-shaming atau simp-shaming terjadi karena terdapat peran gender yang disepakati masyarakat. Apabila cewek atau cowok melangkahi peran gender ini, mereka akan dianggap tidak normal atau menyimpang.
Stop Slut-shaming dari Sekarang!
Apabila kita meninjau lebih lanjut kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, sepajang tahun 2020 hingga 2021, peningkatan kasusnya sangat drastis. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia mencatat setidaknya ada 25.200 kasus kekerasan seksual yang terjadi. Oleh karena termasuk dalam kategori pelecehan seksual, sudah sepatutnya slut-shaming dihentikan agar kasus ini tidak merambat kepada kekerasan seksual. Terlebih, kekerasan seksual dalam bentuk apa pun bisa mengakibatkan problematika kesehatan mental bagi wanita. Beberapa contoh akibat dari pelecehan seksual yang diterima wanita, apalagi yang masih di bawah umur, adalah self-harm, depresi, dan tindakan berbahaya yang dipicu keinginan bunuh diri.
Memang nggak semudah itu bagi kita untuk menghentikan slut-shaming, mengingat bias gender di masyarakat juga bisa menjadi faktor pendukung perilaku tersebut. Untuk itu, bagi para korban, konseling dan intervensi psikologi sangat dibutuhkan. Menurut Kode Etik Himpunan Psikologi Indonesia, konseling psikologi berguna untuk membantu masalah psikologis yang dihadapi klien dan berfokus pada aktivitas preventif. Sedangkan intervensi psikologi berguna untuk mengubah keadaan klien, sehingga memperkecil kemungkinan risiko yang terjadi.
Nah, untuk kamu atau kerabat kamu yang punya pengalaman mengenai pelecehan seksual, segeralah menghubungi psikolog terdekat untuk memperoleh pendampingan psikologis. Jangan cemas, aplikasi Riliv menyediakan fitur untuk menghubungi psikolog apabila kamu membutuhkannya. Yuk, berani ceritakan masalahmu bersama psikolog Riliv!
Referensi:
Endendijk, J. J., van Baar, A. L., & Deković, M. (2020). He is a Stud, She is a Slut! A Meta-Analysis on the Continued Existence of Sexual Double Standards. Personality and social psychology review : an official journal of the Society for Personality and Social Psychology, Inc, 24(2), 163–190. https://doi.org/10.1177/1088868319891310
Goblet, M., & Glowacz, F. (2021). Slut Shaming in Adolescence: A Violence against Girls and Its Impact on Their Health. International journal of environmental research and public health, 18 (12), 6657. https://doi.org/10.3390/ijerph18126657
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.
Hustache, S., Moro, MR., Roptin, J. et al. (2009). Evaluation of psychological support for victims of sexual violence in a conflict setting: results from Brazzaville, Congo. International Journal of Mental Health Systems, 7(3). https://doi.org/10.1186/1752-4458-3-7