Merasa Putus Asa – Terkadang kita sering merasa berada dalam titik terendah. Pada saat itu, kita merasa putus asa dan apa yang kita lakukan tidak dapat merubah keadaan. Titik terendah setiap orang pasti berbeda, misalnya ada yang putus asa lantaran hubungannya kandas atau ada pula yang putus asa lantaran selalu gagal mengubah nasib. Tentunya masih ada banyak skenario lain yang menunjukkan bahwa siapa pun kita, pasti pernah merasa putus asa.
Apabila saat ini kamu sedang putus asa, tidak apa-apa. Riliv punya 5 tips berikut untuk membantumu kembali bangkit dari keputusasaan. Cek tips berikut ini!
Merasa putus asa di dunia yang fana itu membutuhkan refleksi hidup
Seringkali kita mendengar tentang betapa fananya hidup. Baik itu disampaikan oleh pemuka agama atau hanya sebatas obrolan sehari-hari. Meskipun terkesan klise, ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam. Semua yang kita lakukan hanya bersifat sementara dan tidak kita bawa mati. Mengetahui hal itu membuat kita menjadi rendah hati menerima kenyataan hidup ini.
Gagal lebih terhormat daripada tidak mencoba
Perasaan putus asa yang kita rasakan bisa jadi disebabkan oleh kegagalan dalam meraih impian besar kita. Impian tersebut justru kadang tidak realistis. Menjadi presiden, misalnya. Hal itu tentu saja juga mejadi impian orang lain. Ada persaingan untuk bisa meraih impian itu. Kegagalan seseorang adalah keberhasilan bagi orang lain. Be fine with that.
Baca Juga: 5 Lagu Yang Bantu Kamu Lebih Percaya Diri!
Bantah putus-asamu dengan merayakan kemenangan-kemenangan kecil

Pikiran putus asa dapat berujung pada perasaan depresi yang berkepanjangan. Saat kita berfikir “tidak ada hal yang bisa kulakukan untuk merubah ini”, kita mulai tenggelam dalam lingkaran keputus-asaan. Pada saat itulah, kita perlu membantah pikiran-pikiran tersebut.
Langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan merayakan kemenangan kecil yang telah kamu raih. Mengikuti konferensi di dalam negeri adalah capaian kecil dibanding mereka yang sudah melancong ke luar negeri. Meski begitu, sadarilah bahwa kemenangan kamu bisa meraih konferensi itu patut dirayakan untuk dirimu sendiri.
Kamu tidak sendiri, merasa putus asa bisa jadi epidemi
Psychology Today menerangkan bahwa putus asa bisa menjadi epidemi yang menjangkit suatu negara. Dalam artikel tersebut, beliau menjelaskan bahwa di Amerika sedang terjadi epidemi keputusasaan.
Warga Amerika merasakan perasaan putus asa yang lebih tinggi dibanding negara-negara lain lantaran kebijakan publik di Amerika yang sangat individualistis. Jaminan sosial di Amerika tidak mencakup orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Hal tersebut kemudian berimbas pada meningkatnya atmosfir keputus-asaan di negara tersebut.
Artikel tersebut menunjukkan kepada kita bahwa siapapun dapat merasa putus asa. Oleh karenanya jangan berkecil hati dan merasa sendirian. Orang lain di sekitar kita juga merasa demikian. Bahkan, bisa jadi orang-orang yang terlihat paling menderita di sekeliling kita justru orang yang memiliki api harapan paling terang.
Sambung silaturahmi dengan keluarga dan teman dekat

Seringkali perasaan putus asa membuat kita enggan bersosialisasi. Kita menjadi murung dan cenderung mengurung diri. Padahal hal tersebut justru membuat kita menjadi lebih menderita. Cobalah menyambung kembali silaturahmi, khususnya dengan keluarga. Ceritakan kepada ayah, ibu, saudara, atau pasanganmu tentang keresahan yang sedang kamu rasakan. Terbukalah dengan mereka.
Jadi, ketika suatu saat kamu mulai merasa putus asa, ingatlah tips dari Riliv ini. Apabila kamu merasa butuh teman untuk berbagi cerita, jangan ragu untuk menggunakan layanan konsultasi psikologi Riliv untuk melakukan curhat online. Psikolog profesional kami siap mendengarkan keluh kesahmu tanpa adanya penghakiman. Yuk atasi keputusasaanmu dengan optimisme dan Riliv yang siap membantumu!
Referensi
- Benjamin Radcliff. (2015). An Epidemic of Hopelessness? | Psychology Today. Diakses pada April 15, 2018, dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-economy-happiness/201511/epidemic-hopelessness
Handy is a shamelessly rebellious researcher. He is currently working on adapting psychological scales into Indonesian. Reach him out via insta @handy.et.al
Baca juga:
Jenis HRD yang Penting untuk Struktur Perusahaan