Mimpi yang Terdalam – Kali ini kita kedatangan salah satu teman kita yang ingin berbagi tentang kisah hidupnya yang inspiratif terkait perjuangannya bangkit dari depresi hingga saat ini. Yuk, dengerin ceritanya!
Hai, semuanya! Perkenalkan, namaku L.
Pernahkah kalian memiliki sebuah mimpi yang terdalam? Mimpi yang begitu ingin kalian capai?
Nah, kali ini, aku ingin berbagi sedikit cerita tentang mimpiku yang terdalam.
Di tahun 2019 yang lalu, tepatnya setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk masuk ke seminari, tempat pendidikan untuk calon pastor. Namun, sejujurnya tidak ada motivasi murni yang melatarbelakangi aku menjadi seorang pastor. Melainkan karena aku merasakan trauma untuk menikah disebabkan latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Terlebih, karena ayahku memiliki sifat yang kasar dan tidak mampu untuk menafkahi keluarga. Aku takut menjadi seperti ayah di kemudian hari apabila menikah.
Maka, pada saat itu, aku berpikir bahwa menjadi pastor adalah pilihan yang terbaik. Alasannya yaitu karena pastor diwajibkan untuk hidup selibat (tidak menikah). Dengan demikian, aku terhindar dari ketakutanku untuk menikah.
Aku tahu, motivasiku ini awalnya tidak berkaitan dengan tujuan sebenarnya dari hidup menjadi pastor. Padahal seharusnya, rata-rata tujuan seseorang menjadi pastor itu adalah panggilan hati, karena ingin mengeratkan hubungan diri dengan Tuhan. Namun kenyataannya, aku memang termotivasi menjadi pastor karena masalah keluarga. Bahkan, ketika diterima di FTTM-ITB pada 2019 dan FMIPA-UB pada 2021, aku tetap berpikir bahwa aku tidak akan pernah bisa memiliki keluarga harmonis di masa depan. Alhasil, kesempatan untuk berkuliah di PTN aku buang begitu saja dan fokus pada kehidupanku di seminari.
Akan tetapi, mengandalkan motivasi takut menikah membuatku merasa semakin membohongi diri. Aku pun semakin menderita. Bahkan, aku sempat melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali.
Pada akhirnya, aku pun memberanikan diri meminta pertolongan kepada seseorang untuk membawaku kepada psikiater. Akhirnya, pada 28 Agustus 2021, psikiater mendiagnosis diriku mengidap depresi kronis. Sejak saat itu, aku meminum obat antidepresan yang diresepkan dokter.
Berkat bantuan obat dan keinginan untuk sembuh, aku pun melakukan refleksi dan pengenalan diri yang lebih dalam. Aku mencoba menggali, apa yang sesungguhnya aku inginkan? Apa sebenarnya yang aku impikan? Apalagi, sekian lamanya aku bergumul dalam ketakutan.
Setelah beberapa waktu, aku pun memutuskan untuk mencoba mendaftar PTN. Aku mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian SIMAK UI Paralel. Tidak mudah bagiku melakukannya, karena aku harus mempelajari kembali pelajaran sekolah yang sudah 3 tahun tidak disentuh semenjak aku memutuskan masuk seminari. Bahkan, aku harus belajar materi soshum karena jurusan psikologi yang aku inginkan berada di rumpun soshum. Alasanku mengambil kelas paralel sangat sederhana, karena aku tidak dapat lagi mengikuti SBMPTN dan SIMAK Reguler karena tahun kelulusan SMA-ku melebihi batas yang dianjurkan.
Selama proses menggeluti ujian ini, terdapat perasaan-perasaan negatif yang muncul. Bukan hanya takut tidak diterima, namun juga penyesalan, perasaan tertinggal, takut akan masa depan, dan yang terutama kekhawatiran mengenai biaya pendidikan. Biaya kelas paralel sendiri rata-rata 3x lebih besar dibandingkan kelas reguler sedangkan keluargaku termasuk tidak mampu karena hanya ibu yang mencari nafkah. Namun, semua kekhawatiran itu kucoba tangkal perlahan-lahan dengan keyakinan bahwa pasti ada jalan dari setiap kesulitan. Prinsipku adalah, “Aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan.”
Oleh karena itu, selain belajar, aku juga mempersiapkan diri dengan mengikuti banyak kegiatan seperti menjadi relawan (volunteership), organisasi, magang untuk membangun CV, serta menabung untuk biaya kuliah. Tidak hanya itu, aku juga tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang calon pastor dengan berkuliah filsafat, karena pada saat itu aku belum secara resmi mengundurkan diri dari seminari.
Tepat setahun sejak psikiater diagnosis mengidap depresi itu, aku telah menghabiskan banyak waktuku mengolah diriku sendiri dan menggali potensi yang aku miliki. Pada akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari seminari. Hari itu merupakan pertama kalinya aku merasa jujur pada diriku sendiri, bahwa motivasi menjalani hidup selibat atau seorang diri tersebut didasari oleh ketakutanku sendiri terhadap trauma.
Dari titik inilah, revelasi mengenai “mimpi yang terdalam” itu muncul. Mimpiku yang terdalam bukanlah untuk menjadi seorang pastor, melainkan membangun keluarga yang harmonis. Bukan berarti menjadi pastor itu sesuatu yang buruk, namun kenyataannya, dorongan itu tidak muncul dari panggilan hatiku, melainkan dari ketakutanku.
Berbekal mimpi itulah, aku mengerjakan ujian SIMAK dengan hati yang gembira dan penuh keyakinan. Hingga akhirnya, syukurlah, pada 14 Juli 2022 lalu, aku telah resmi diterima sebagai mahasiswa psikologi di Universitas Indonesia. Diterimanya diriku di UI ini menandakan bahwa aku telah membuat sebuah langkah kecil yang bermakna dalam hidupku.
Kepada istri dan anak-anakku di masa depan, ketahuilah, bahwa suami dan ayah kalian saat ini sedang berjuang untuk mewujudkan mimpinya!
Sumber cerita: L, kontributor Riliv.
—
Kisah ini ditulis dan telah mendapatkan persetujuan berdasarkan pengalaman nyata dari para pejuang sehat mental terpilih, yang telah mengikuti rangkaian acara MindFest 2022, a mental health event by Riliv. Rangkaian acara ini membawa misi bahwa semua orang berhak untuk #SehatMental dan mendapatkan akses serta layanan kesehatan mental tanpa terkecuali. Terdapat berbagai macam webinar, layanan konseling gratis, video mapping installation, dan masih banyak keseruan lainnya yang bisa kamu dapatkan secara GRATIS.
Karena #UdahSaatnya, kesehatan mental jadi prioritasmu.