Cerita Pejuang Depresi – Hai, Rilivers! Kembali lagi pada segmen Your Story. Kali ini ada cerita dari salah satu teman kita yang berjuang dengan kesehatan mentalnya. Penasaran ceritanya seperti apa? Mari simak bersama!
Halo… sebut saja aku R! Yak, seperti yang saya sebutkan dalam judul di atas, saya adalah pejuang. I’m a Warrior!
Mengapa demikian? Mari saya jelaskan.
Sejujurnya, saya merasa tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Saya tahu ada yang salah dengan diri saya, tapi hal itu sudah berlangsung lama. Saya paham bahwa kebanyakan dari kalian pasti menganggap hal yang saya rasakan itu di luar akal sehat, bahkan bisa jadi tidak normal. Namun pada saat saya pertama mengetahuinya, saya belum tahu cara menangani masalah ini.
Saya rasa jika saya hanya berdoa dan menguatkan ibadah, itu sudah cukup. Namun, ternyata tidak. Itu masih sangat kurang. Saya harus melakukan sesuatu agar saya bisa merasa lebih baik dan tidak tersesat dalam pemikiran saya sendiri.
Kekhawatiran saya pada kondisi ini dimulai pada tahun 2016. Saya pergi ke dokter umum saat itu untuk memeriksa kondisi saya. Ternyata, kondisi yang saya alami berada di luar kemampuan dokter umum untuk menanganinya. Mereka pun menyarankan saya untuk datang ke psikiater, tetapi saya tidak datang karena alasan tertentu yang tidak bisa saya ungkapkan dalam cerita ini.
Namun akhirnya, di awal tahun 2022, saya memutuskan datang ke psikiater karena kondisi saya benar-benar harus ditangani.
Benar saja. Setelah beberapa pertemuan, kondisi saya mulai membaik. Sampai hari ini saya merasa lebih baik dari sebelumnya.
Pengalaman ke psikiater itu membuat saya sadar, bahwa saya mengalami PTSD, anxiety disorder, dan psychotic depression.
Itu benar, saya tidak baik-baik saja. Namun, saya masih tetap ingin berjuang menjadi lebih baik. Berperang dengan diri sendiri itu memang sangat menyiksa. Di sisi lain, orang-orang di luar sana bisa begitu kejam terhadap diri saya.
Ya, saya pernah mengalami hal-hal yang membunuh reputasi, sikap dan kepercayaan saya kepada orang lain, impian, kehidupan percintaan, kehidupan sosial, serta hubungan dengan keluarga dan teman dekat.
Namun seperti yang saya katakan, saya tidak ingin menyerah pada keadaan itu. Sampai detik ini, saya terus mengatakan pada diri sendiri bahwa saya tak ingin cerita ini berakhir dengan buruk. Saya tahu, bahwa di balik kabut hitam yang menaungi hidup saya, masih ada keindahan dalam warna yang tersisa untuk dilihat. Karena itulah saya ingin terus berjuang. Saya ingin merasa lebih baik dari sebelumnya.
Di akhir cerita, saya ingin memberitahukan kepada semua orang bahwa kampanye kesehatan mental bukanlah berita palsu. Penyakit mental bukanlah lelucon, ini adalah perjuangan internal yang kita perjuangkan setiap hari. Penyakit mental itu nyata, seperti halnya penyakit jantung atau kanker.
Setiap orang yang Anda temui sedang berjuang dalam pertempuran yang tidak Anda ketahui. Karena itu, bersikaplah baik selalu pada mereka.
Nah, mungkin itu saja yang ingin saya sampaikan. Saya harap cerita ini bisa menjadi bagian dari panduan bertahan hidup teman-teman semua dan semakin banyak pejuang depresi seperti saya yang berhasil melalui semuanya.
Sumber cerita: R, kontributor Riliv.
—
Kisah ini ditulis dan telah mendapatkan persetujuan berdasarkan pengalaman nyata dari para pejuang sehat mental terpilih, yang telah mengikuti rangkaian acara MindFest 2022, a mental health event by Riliv. Rangkaian acara ini membawa misi bahwa semua orang berhak untuk #SehatMental dan mendapatkan akses serta layanan kesehatan mental tanpa terkecuali.
Karena #UdahSaatnya, kesehatan mental jadi prioritasmu.