Jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari ketika ponsel berdering. Sembari mengusir kantuk, saya membaca sebuah pesan dari Bunga (bukan nama sebenarnya). Sebuah kalimat singkat yang menusuk dan membangkitkan ketakutan yang primal: “Tolong aku, aku ingin mati.”
Tidak lupa dengan potret lengannya yang dipenuhi luka sayatan, sesuatu yang kita kenal dengan self-harm.
Mengesampingkan kesehatan mental adalah sebuah bahaya laten
Setelah 5 pesan selanjutnya (dan usaha untuk menenangkan), saya mengetahui Bunga adalah mahasiswi semester 5 dan pekerja paruh waktu di sebuah startup. Memiliki banyak teman serta uang saku berlebih, tidak semerta menghindarkan Bunga dari depresi.
Beban kerja berlebih serta penolakan orangtua terhadap pilihan jurusan mendorong Bunga menangis setiap malam.
Bunga memilih langkah berani untuk menceritakan permasalahan kepada teman-temannya, namun naas semua hanya dibalas “Kamu kurang bersyukur, jangan mengeluh, dong.”
Merasa tidak asing? Kamu tidak sendirian; dari 14 juta penderita gangguan kecemasan, depresi, dan trauma, sangat sedikit yang menyadari bahwa mereka mengalami gangguan mental. Hal ini jelas menunjukkan kondisi Indonesia yang darurat kesadaran kesehatan mental.
Ungkapan seperti “Kamu kurang ibadah” atau “Kamu melebih-lebihkan masalah” seolah menegaskan bahwa gangguan mental adalah sesuatu yang tabu.
Data menunjukkan bahwa hanya 10% yang mencari bantuan ke psikolog. Sisanya? Kyai dan dukun menjadi pilihan alternatif.
Posisi millennial dalam tren kesehatan mental masa kini
Diambil dari Unsplash
“Tren bunuh diri pada remaja kian meningkat. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan dalam menghadapi masalah.” Hal tersebut diungkap oleh Ilham Nur Alfian, M.Psi, Psikolog, ketua Himpunan Psikologi Jawa Timur saat berdiskusi dengan Riliv.
Ibarat pohon, para pemuda belum memiliki akar yang kuat sehingga mudah terseret oleh masalah yang ada. Kurangnya dukungan menyebabkan pengambilan keputusan ekstrim dalam menyelesaikan sesuatu, seperti bunuh diri.
Tentang generasi millennial, Ilham berpendapat bahwa mudahnya akses informasi mengenai kesehatan mental membentuk kesadaran psikologis yang lebih baik. “Namun dalam prakteknya, informasi yang diterima kerap kali menawarkan solusi yang instan.
Hal ini yang perlu diwaspadai oleh para millennial.” tambahnya. Kemudahan koneksi dengan orang baru, tidak diimbangi dengan kewaspadaan bahwa relasi tersebut belum tentu bersifat positif.
Hal ini yang mendorong pemuda terlibat dalam masalah, seperti cyberbullying. Tipu daya solusi instan juga menghalangi para pemuda menyelesaikan masalah secara perlahan sehingga kegagalan kecil pun berpengaruh terhadap kesehatan mental mereka.
Data konseling menunjukkan banyaknya muda-mudi menuju layanan kesehatan mental. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan dilematis: apakah memang generasi millennial semakin sadar kesehatan mental, ataukah memang justru semakin banyak yang bermasalah?
Curahan hati psikolog dalam isu kesehatan mental
Diambil dari Unsplash
Bukan rahasia lagi bahwa stigma “orang gila” menghambat masyarakat mengakses layanan kesehatan mental. Padahal, kebutuhan kesehatan mental merupakan sesuatu yang harus diakses bila dibutuhkan.
Hal ini adalah tantangan bagi kesejahteraan psikolog yang menyajikan pelayanan berbasis permintaan.
“Bila kesadaran untuk konsultasi psikologis belum berkembang di suatu masyarakat, tentu akan berdampak pada profesi psikolog.” Ilham menjelaskan.
“Psikolog siap menangani masalah klien, namun akan menjadi persoalan bila tidak ada klien yang mengeluh ke psikolog itu sendiri.” tambahnya.
Namun memaksakan keyakinan bahwa ‘Oh kamu mengalami sebuah masalah’ juga berlawanan secara etis dan keliru. Hal ini membutuhkan kehati-hatian ekstra sebagai psikolog.
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai profesi psikolog juga menimbulkan tantangan profesionalitas. Masyarakat hanya memahami bahwa mereka membutuhkan bantuan dan perlu ditangani segera.
Pada kenyataannya, ada etika prosedural berupa batasan masalah yang ditangani oleh psikolog bersangkutan. Kompetensi yang dikuasai menjadi pertimbangan apakah klien perlu ditangani atau dirujuk ke rekan sejawat.
“Tak jarang sarjana psikologi yang belum berhak menangani klien pun diminta menangani intervensi. Permasalahan klasik ini yang masih harus dituntaskan hingga sekarang.” ungkap Bapak Ilham.
Bagaimana dengan langkah nyata psikolog dalam mengedukasi masyarakat? Selebrasi kesehatan mental seperti Millennial Wellness Day merupakan upaya Himpunan Psikologi Jawa Timur menunjukkan kepedulian terhadap problematika masyarakat.
Di Surabaya sendiri, psikolog sudah terjangkau di tingkat Puskesmas untuk menutup jurang antara masyarakat dengan akses kesehatan mental.
Riliv hadir untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan mental secara daring tanpa perlu bertemu tatap muka dengan psikolog langsung. Selain itu juga terdapat fitur meditasi Riliv Hening yang bisa kamu akses dengan mudah kapanpun dan dimanapun.
Kepada para “Bunga” – kabarmu kini dan nanti …
Mencari bantuan kesehatan mental memang bukan perkara mudah. Namun, menemukan dukungan sosial yang tepat juga krusial bagi pencari bantuan.
“Pastikan bahwa dukungan sosial yang mereka miliki tidak menambah permasalahan lain.” saran Bapak Ilham. “Dukungan sosial berkontribusi pada pengambilan keputusan agar tidak tergesa-gesa.”
Di sisi lain, resiliensi atau kemampuan untuk bangkit merupakan faktor penting yang harus dimiliki setiap orang.
Sekecil apapun permasalahan, bila tidak dibekali resiliensi yang kuat, maka seseorang tidak dapat bangkit dan pilihan bunuh diri menjadi mungkin untuk diambil. Keyakinan bahwa akan selalu ada jalan keluar perlu ditanamkan sejak dini.
Permasalahan muncul bukan hanya karena situasi, namun bagaimana seseorang menghadapinya.
Keluarga menjadi salah satu faktor protektif terpenting yang dapat menghambat gangguan mental pada pemuda.
“Kesannya, pemuda mulai menjauh karena teknologi. Padahal riset dan pengalaman menunjukkan bahwa keluarga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan mental. Harapannya, pemuda millennial mulai terlibat dalam aktivitas keluarga dan membentuk kepercayaan terhadap fungsi keluarga masing-masing.” ujar Ilham.
Mungkin kamu adalah “Bunga” dengan atau tanpa kamu sadari. Mungkin saudara atau tetanggamu juga. Bulan Kesehatan Mental akan segera usai, namun tak perlu menunggu lebih lama lagi–jadilah yang pertama dalam mencari bantuan kesehatan mental.
Di Hari Kesehatan Mental Dunia kali ini kita sedang dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai. Tetap sehat mental di kondisi dan situasi saat ini merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah.
Jangan lupa untuk terus memperhatikan diri sendiri, teman-teman serta keluargamu. Hadir selalu untuk dirimu dan mereka serta pastikan dirimu dan orang-orang di sekitarmu sehat mental.
Kesempatan terbaik untuk mengunjungi psikolog adalah saat kamu pertama merasakan masalah. Kesempatan terbaik selanjutnya? Sekarang!
“Selamat Hari Kesehatan Mental, Young People!”
Referensi:
- https://www.merdeka.com/peristiwa/pekerja-media-dan-industri-kreatif-rawan-terkena-depresi.html
- https://indonesiana.tempo.co/read/114087/2017/07/28/indahmustikasari94/fenomena-bunuh-diri-pentingnya-kesadaran-kesehatan-mental
- https://gaya.tempo.co/read/1054737/kesehatan-mental-kapan-harus-diwaspadai-tilik-gejalanya/full&Paging=Otomatis
- https://www.jpnn.com/news/data-kemenkes-14-juta-orang-di-indonesia-gangguan-jiwa?page=2
- https://ugm.ac.id/id/berita/9715-minim.psikolog.ribuan.penderita.gangguan.jiwa.belum.tertangani
- Kertas Posisi SINDIKASI: Kerja Keras Menukar Waras (Milik Pribadi)
Marine. Seorang introvert yang hobi mengembara di bumi maupun imajinasinya. Bisa diikuti di http://ketukansunyi.blogspot.com