Setiap pasangan pasti pernah melewati masa sulit pernikahan. Entah karena adanya masalah komunikasi, kesetiaan, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Ketika mengalami masa sulit, banyak dari kita yang akhirnya terjebak dalam keputusasaan atau mencoba lari dari masalah.
Yuk, simak kisah inspiratif Kartika dalam melewati masa sulit pernikahan dengan suaminya yang mengalami depresi berat dan ketergantungan alkohol, hingga mengalami insiden yang hampir merenggut nyawanya:
Awal perkenalan dengan suamiku. Seolah kami memang sudah ditakdirkan untuk bersama
Namaku Kartika. Ini kisahku dan suami mengenai bagaimana kami berusaha melewati masa sulit pernikahan. Aku dan suami pertama kali berkenalan melalui situs kencan online.
Saat itu aku masih kerja di sebuah perusahaan non profit yang fokus di bidang konservasi alam. Mungkin sudah berjodoh, ternyata suamiku merupakan salah satu penyumbang rutin di perusahaan tempatku kerja.
Memiliki minat yang sama, obrolan kami terasa lebih menyenangkan. Awalnya aku nggak berani berharap apa-apa pada hubungan kami, karena jarak yang memisahkan. Ya, aku tinggal di Jakarta. Sementara ia tinggal di Florida, Amerika Serikat.
Namun terlepas dari jarak, kami berdua nggak bisa memungkiri bahwa ‘chemistry’Â di antara kami amat kuat. Empat bulan setelah komunikasi secara intens, kami memutuskan untuk bertemu.
Namun hal itu belum dapat terlaksana karena suami masih terganjal dengan isu tunjangan anak dari perkawinan sebelumnya, yang menyebabkan suami belum bisa keluar dari Amerika hingga tunjangan tersebut selesai dibayar.
Setelah 9 bulan kami berkenalan, kuputuskan untuk mengunjunginya. Maret 2013 saya terbang ke Amerika dan bertemu suami untuk pertama kalinya.
Meski awalnya sempat kuatir ia tidak datang menjemputku, nyatanya ia datang dengan bunga di tangan dan menyambutku dengan senyuman yang paling hangat. Seminggu setelahnya, ia melamarku di taman dengan sangat romantis.
Dua minggu setelahnya, kami menikah. Kami memang mabuk kepayang waktu itu. Semua rasanya seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan.
Kami sangat bahagia. Bagiku, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan
Buatku, kehidupan pernikahan kami sudah mendekati sempurna. Kami punya dua anak yang manis. Satu anak perempuan suami dari pernikahan sebelumnya dan anak laki-laki di usia kedua tahun pernikahan kami.
Meskipun tumbuh dari keluarga broken home, suamiku merupakan sosok suami dan ayah yang nyaris tanpa cela. Ia merupakan suami yang manis, pekerja keras dan amat mencintai anak-anak kami. Pernikahan kami tidak pernah mengalami konflik yang berat.
Namun, ternyata latar belakang suami yang broken home membuatnya menjadi kecanduan alkohol sejak remaja. Ayahnya juga seorang pecandu alkohol dan seringkali kasar, meninggal saat ia berusia 6 tahun.
Ibunya harus berjuang menghidupi keempat anaknya seorang diri, termasuk adiknya yang lumpuh karena sakit selama 16 tahun. Tumbuh di keluarga yang tidak sempurna, membuat alkohol dan depresi menjadi sahabat dekat baginya.
Dari awal menikah, ia sudah menunjukkan niatnya untuk memperbaiki kebiasaan buruknya. Ini berjalan cukup baik. Ia selalu berkata bahwa akulah alasan ia ingin berhenti dari kecanduannya.
Memang masih ada beberapa masa ia nggak berhasil mengontrol kebiasaan minumnya. Kalau sudah begini, biasanya aku dan anak-anak berusaha menjaga jarak.
Awal dari mimpi buruk. Kecanduan suamiku akan alkohol menjadi-jadiÂ
Musim panas tahun 2015, ibu mertuaku meninggal. Suamiku sangat merasa kehilangan dan depresi berat. Ia kembali pada kebiasaan lamanya. Mabuk parah, meracau dan merusak barang.
Musim panas di tahun 2017, suamiku mendorongku hingga terjatuh dan mengguncang tubuh anakku dengan keras saat sedang mabuk. Meskipun sempat melibatkan polisi, namun kami sepakat untuk memperbaiki pernikahan kami.
Untuk mengatasi kecanduannya, ia mengikuti support group dan datang ke psikiater. Suamiku dianalisa mengalami gangguan kecemasan dan depresi akut. Ia juga datang ke psikolog untuk dibantu mengatasi trauma buruk masa lalunya.
Kehidupan kami kembali membaik. Suamiku nggak pernah mabuk lagi. Namun rupanya kebahagiaan kami nggak bertahan lama. Musim panas 2018, suamiku kembali merasa depresi saat kutinggal pulang ke Indonesia bersama anakku selama enam minggu. Ia merasa kesepian dan mulai minum alkohol lagi.
Saat aku kembali ke Amerika, aku mendapati kecanduan suamiku menjadi lebih parah dari sebelumnya. Bulan September 2018, suamiku overdosis dan mabuk karena minum 2 lusin bir bersamaan dengan konsumsi 12 butir obat gangguan kecemasan miliknya.
Pikirannya langsung kacau. Di bawah pengaruh alkohol dan obat ia mengancam membunuhku, mencekik, mendorong tubuhku, merusak perabotan yang kami miliki, menghancurkan telepon genggamku, bahkan memukul anak-anak.
Ia menusukku dengan pisau dapur. Bukan hanya luka fisik yang kudapat. Mentalku lebih terluka
Malam itu, ia bukanlah laki-laki yang kunikahi. Itu bukan dia. Itu iblis. Dalam keadaan marah dan takut, aku berlari sekuat tenaga ke luar rumah, berteriak minta tolong ke tetangga kami.
Melihat itu, suamiku makin panik. Ia mengambil pisau dapur dan menusuk punggung, leher dan tanganku berkali-kali. Darah dimana-mana. Mungkin aku sudah mati kalau saja nggak ada yang menolong.
Aku mengalami banyak luka fisik. Namun mentalku lebih terguncang. Begitu pula dengan anak-anak. Kutinggalkan karir dan kehidupanku di Indonesia untuk bersamanya, namun ini yang kudapatkan? Baik aku dan anak-anak tidak ada yang pantas mendapatkan ini.
Setelah insiden tersebut, suamiku dipenjara. Dengan bantuan pemerintah setempat, aku dan anak laki-lakiku pindah ke kota lain, sementara anak perempuan suamiku dikembalikan ke ibunya. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan, anakku mendapat sekolah gratis dan kami diberi beberapa tunjangan hidup lainnya.
Meskipun nggak mudah bagi kami untuk melewati ini, namun dengan bantuan dan dukungan beberapa sahabat dan orang terdekat, kami berhasil menata hidup kami kembali. Tentu saja tidak ada yang instan dalam prosesnya.
Kubiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan selama beberapa waktu. Tak apa. Kunikmati saja prosesnya. Kubiarkan air mata ini membasuh luka hatiku sementara waktu.
Kucoba untuk nggak mengambil keputusan apapun di saat sedang emosional. Aku nggak mau keputusan itu nantinya membuatku menyesal di kemudian hari. Kucoba untuk mengikuti hati kecil, namun tetap berusaha rasional.
Anak dan Tuhan merupakan kekuatanku melewati masa sulit pernikahan kami
Anak dan berserah diri kepada Tuhan adalah kekuatan terbesarku untuk bangkit dari keterpurukan. Saat kita merasa pasrah dan ikhlas, Tuhan akan bekerja dengan cara-Nya.
Segala kemudahan yang kami dapatkan setelah tragedi tersebut merupakan bentuk pertolongan Tuhan atas hidup kami.
Setelah mengalami beberapa pertimbangan, aku putuskan untuk tidak bercerai dengan suami. Mungkin terdengar bodoh bagi sebagian besar orang. Namun siapa dan bagaimana pasangan dan rumah tangga kita, hanya kita yang tahu.
Bagiku tidak semudah itu untuk meninggalkan sebuah hubungan pernikahan. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, apalagi kalau sudah ada buah hati.
Aku masih melihat banyak celah perbaikan pada pernikahan kami. Suamiku memang telah melakukan kesalahan fatal dalam prosesnya memperbaiki diri, dan kini ia telah menerima ganjarannya.
Semoga tragedi kemarin menjadi titik balik dan pengingat agar ia tak lagi kembali pada kecanduannya. Saat ini kami berpisah untuk saling memperbaiki diri. Aku masih memiliki keyakinan besar terhadap suamiku, ayah dari anak-anakku.
Untuk itulah kuberi kesempatan kedua baginya. Demi keluarga kecil kami.
Sumber:
Wawancara dengan narasumber, Kartika. Nama dan tempat disamarkan atau permintaan narasumber.
Sri Resy Khrisnawati. Having 100 dreams and 1001% faith it will come true before her dying day.
Discussion about this post