Bias gender – Sebenarnya, isu tentang kesetaraan gender yang akhir-akhir ini muncul sudah sejak lama menjadi perbincangan. Di Inggris pada tahun 1880, sebuah gerakan sosial bernama suffragette movement yang dipelopori Emmeline Pankhurst bermaksud menggebrak parlemen Britania Raya. Gerakan sosial ini dipercaya menjadi salah satu penggebrak feminisme modern dengan fokus utama memberikan kesempatan bagi wanita untuk “vote for women.” Sementara itu, gerakan feminisme yang mengupayakan hak pilih wanita di Amerika Serikat ditunjukkan oleh peristiwa unjuk rasa wanita tahun 1848 di Seneca Falls Convention. Tujuan utama dari kedua gerakan sosial ini adalah kesempatan wanita untuk lebih berpartisipasi di bidang politik. Namun tetap saja, masih terdapat bias gender di sekitar kita yang merugikan, terutama kepada wanita. Pertanyaannya adalah, mengapa bias gender bisa terjadi?
Penyebab Munculnya Bias Gender
Secara psikologis, cognitive bias merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk memiliki pola pikir judgmental terhadap suatu hal tertentu, tanpa melihat sisi lainnya. Maka dari itu, bias gender bisa diartikan sebagai kecenderungan seseorang menilai gender seseorang, entah itu disebabkan karena perilakunya, kebiasaan, hingga adat istiadat yang dianutnya.
Contoh bias gender yang sering kita alami adalah di dunia kerja. International Labour Organization (ILO) sudah sering mengupayakan edukasi, pelatihan, dan perlindungan terhadap pekerja wanita dalam situasi ini, namun sayangnya, hingga saat ini masih belum ada perubahan dari pandangan dunia kerja terhadap wanita. Penelitian oleh McKinsey and Company menegaskan bahwa bias gender dalam pola pikir manajer dapat mencegah perempuan maju ke posisi kepemimpinan.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dilansir dari UN Women, wanita di Indonesia memiliki pendapatan 23% lebih rendah dibandingkan pria, padahal mereka memiliki pendidikan yang setara. Lebih jauh lagi, secara statistik global, gender gap di dunia kerja mencapai 16%, yang artinya wanita karir masih belum mendapatkan gaji yang setara dengan pria. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah stereotip.
Stereotip dan Bias Gender
Stereotip sangat dekat dengan bias gender karena merupakan pola berpikir yang sama-sama kurang tepat mengenai suatu hal. Namun, stereotip lebih merujuk kepada pola pikir kolektif. yang berasal dari pengaruh lingkungan dibandingkan bias yang merupakan preferensi personal. Maka dari itulah, bias seseorang bisa dipengaruhi stereotip yang muncul pada golongan tertentu. Apalagi, orang-orang punya kecenderungan mengasosiasikan hal satu dengan hal yang lain.
Oleh sebab itu, bias gender sebetulnya tidak bisa terjadi hanya pada wanita saja. Mereka yang terbiasa hidup dalam lingkungan berpikiran sempit soal peran gender bisa menganggap satu gender lebih kuat atau lebih lemah dari yang lain, tergantung dari gimana masyarakat mengajarkannya.
Mencegah Bias Gender Tak Semudah Itu
Tentu saja, kita belajar dari suffragette movement dan ILO bahwa gerakan sosial dan pelatihan kerja masih belum bisa menghilangkan bias gender. Apalagi, ada bias yang bersifat tidak disadari (implicit bias). Bias yang tak kita sadari bisa menjadi problematik apabila menjadi dasar kita memperlakukan suatu kelompok tertentu secara semena-mena, padahal belum tentu kelompok tersebut sejelek yang kita pikirkan. Contohnya, di dunia kerja belakangan ini, bias gender terhadap wanita karir mungkin nggak kelihatan secara jelas. Namun, fenomena yang tak terlihat ini bisa dibuktikan dari tingkat turnover wanita yang lebih tinggi daripada pria dalam perusahaan.
Oya, kabar buruknya, semua orang pasti akan punya bias. Nggak peduli seberapa toleran orang tersebut, pasti akan ada pengaruh lingkungan yang berperan terhadap munculnya bias dalam dirinya. Tapi, bisa nggak sih bias itu dikurangi?
Mengurangi Bias dengan Mindfulness
Sebenarnya bisa, tapi butuh proses. Dikutip dari artikel Kelly McGonigal dalam Psychology Today, justru upaya kita untuk menekan rasisme dan prasangka pada kelompok tertentu malah bisa jadi bumerang. Maka dari itu, mengurangi bias itu bisa dilakukan dengan memahami diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita harus bisa mengakui bahwa bias itu kita miliki, dan menyadari bahwa setiap orang pasti memilikinya.
Deskripsi tersebut mirip dengan mindfulness, bukan? Yep! Mindfulness ternyata bisa mengurangi cognitive bias karena dalam prosesnya, kita diajari untuk berhati-hati saat menilai dan memutuskan sesuatu. Selain itu, mindfulness juga mengajak kita untuk refleksi diri, memahami perasaan, dan mengakui setiap pikiran yang muncul. Jadi, ketika bias muncul, kita bisa melakukan reframing atau pembingkaian ulang terhadap pikiran tersebut.
Apabila kamu yang membaca ini merasa sebagai wanita yang dirugikan oleh gender bias, ingatlah bahwa kita tidak boleh meyalahkan dunia selamanya. Habisnya, tatanan sosial masyarakat nggak bisa diubah semudah membalikkan telapak tangan. Jadi, daripada pusing mikirin apa yang orang pikir tentangmu, kamu bisa fokus pada hal-hal yang sebaiknya kamu kembangkan dari dirimu. Oiya, jangan lupa, jaga kesehatan mentalmu agar tetap produktif dalam menjalani aktivitas sehari-hari! Nggak perlu repot-repot, karena Riliv punya aplikasi yang berisi banyak fitur self-care khusus buat kamu! Yuk, unduh aplikasinya sekarang!
Referensi:
Maymin, P., & Langer, E. (2021). Cognitive biases and mindfulness. Humanities and Social Sciences Communications, 8, 40. doi:10.1057/s41599-021-00712-1.
Weisberg, J., & Kirschenbaum, A. (1993). Gender and Turnover: A Re-examination of the Impact of Sex on Intent and Actual Job Changes. Human Relations, 46(8), 987–1006. https://doi.org/10.1177/001872679304600805