Suatu ketika, kita sedang mengalami hari yang buruk. Dimarahi atasan, bertengkar dengan pacar, hingga harus pulang dengan berjalan kaki karena tidak punya cukup uang untuk membayar ongkos kendaraan umum. Kita sedih dan memutuskan untuk bercerita dengan teman. Eh, tapi malah mendapat respons, “Kamu tuh harus berpikiran positif dan jangan mengeluh!” Seketika, kita tertegun dan bertanya-tanya, “Benarkah aku kurang menerima diri secara positif?”
Padahal, setelah melalui hari yang buruk tersebut, kita hanya ingin didengarkan dan berharap bisa merasa lebih baik usai bercerita. Namun ternyata, respons yang didapatkan malah membuat kita semakin galau. Apakah salah jika kita merasa sedih?
Fenomena seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita. Menerima keadaan diri secara positif memang penting, tapi jangan sampai kita terjebak dalam toxic positivity, loh, Dear! Simak penjelasan mengenai ciri penerimaan diri secara positif yang membedakannya dari toxic positivity berikut ini!
Menerima diri secara positif akan membuat kita menghargai setiap jenis emosi yang kita miliki
Sebagai manusia, kita pasti memiliki emosi positif dan negatif yang muncul berganti-ganti sesuai dengan kondisi. Menerima keadaan diri secara positif mengandung arti bahwa kita mampu mengelola segala jenis emosi yang kita miliki. Bukan berarti kita tidak boleh sedih atau marah.
Sedangkan toxic positivity akan menuntut kita untuk hanya menerima emosi positif saja. Contohnya, “Aku gak boleh sedih, gak boleh marah, biar tetap kelihatan baik di mata orang-orang,” Kalau seperti itu terus, pasti rasanya melelahkan, ya?
Membuat kita sadar bahwa semua emosi itu penting
Banyak kejadian yang pasti akan memantik kemunculan emosi negatif dalam diri kita. Ketika kejadian tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman, maka kita punya hak untuk mengekspresikan diri. Emosi negatif ini penting dan akan membantu kita untuk melepaskan tekanan yang diakibatkan oleh kejadian tidak menyenangkan tadi.
Agar tidak terjebak dalam toxic positivity, kita perlu menyadari bahwa semua emosi itu penting, ya, Dear!
Memberi ruang pada rasa sakit
Kita harus memberi ruang untuk rasa sakit (Photo by Road Trip with Raj on Unsplash)
Ketika kita sedang mengalami kegagalan, kehilangan seseorang yang kita cintai, atau baru saja mengalami pelecehan, kita pasti merasa sakit hati. Toxic positivity akan menuntut kita untuk cepat-cepat melupakan rasa sakit itu dan membuat kita seolah baik-baik saja. Padahal, bertindak gegabah tanpa memberi ruang untuk memulihkan diri juga tidak baik, loh, Dear!
Cobalah untuk memberi ruang bagi rasa sakit tersebut. Kita bisa coba melakukan meditasi untuk menenangkan diri. Apalagi saat ini, sudah banyak platform yang membantu kita melakukan meditasi sederhana, contohnya seperti Riliv. Yuk, dicoba!
Memahami perasaan kita tidak sesederhana itu
Kita seringkali mendapatkan respons, “Positive thinking aja!” di saat kita sedang butuh meluapkan perasaan negatif yang kita miliki. Padahal, perasaan manusia tidak seperti tombol on-off pada sakelar lampu yang bisa kita nyalakan atau padamkan sesuka hati. Jika kita menggunakan kalimat sederhana tadi sebagai respons atas perasaan negatif kita, hal itu bisa menjadi tanda toxic positivity, loh, Dear?
Penerimaan diri sendiri secara positif akan membuat kita lega, bukan sebaliknya
Ketika kita mampu menerima keadaan diri secara positif, kita akan merasa lega. Namun, jika kita justru merasa terkekang, tidak bebas, atau bahkan stres, kita perlu memeriksa sekali lagi. Benarkah kita sudah melakukan penerimaan diri secara positif? Ataukah sebenarnya kita sedang terjebak dalam toxic positivity?
Itulah beberapa penjelasan tentang perbedaan antara menerima keadaan diri secara positif dengan toxic positivity. Memang tidak mudah, ya, Dear, untuk dapat menerima keadaan diri secara positif. Hal ini bisa disebabkan karena kita sudah terlalu sering mendengar kalimat-kalimat yang seolah memacu kita untuk berpikiran positif, padahal sebenarnya mengekang kebebasan kita untuk mengekspresikan perasaan.
Kita harus selalu ingat bahwa kita memiliki berbagai bentuk perasaan yang berbeda-beda. Senang, sedih, kecewa, marah, terharu, hingga perasaan-perasaan lain yang bahkan tidak bisa kita definisikan. Meskipun demikian, semua perasaan tersebut sama berharganya. Menerima keadaan diri secara positif akan membantu kita untuk mampu mengelola seluruh perasaan tersebut dengan baik.
“In order to love who you are, you can not hate the experiences that shaped you,” -Andrea Dykstra
Referensi:
- Simplified Psychology. Toxic Positivity: The Harmful Habit to Stop Immediately. Disadur dari https://drallisonanswers.com/happiness/toxic-positivity/