Tiktok Body Count – Apa yang sebenarnya dimaksud body count dalam Tiktok? Dilansir oleh Popbuzz, tren body count yang sedang viral di Tiktok termasuk kontroversial. Dalam istilah film, body count mengacu kepada jumlah korban bagi pembunuh berantai. Namun, dalam Tiktok, body count mengacu pada jumlah orang yang diajak berhubungan seksual, entah oleh laki-laki atau perempuan.
Kontroversi muncul ketika banyak orang-orang di Tiktok yang memanfaatkan tren ini untuk bertanya kepada orang asing tentang berapa kali mereka berhubungan seks, demi mengetahui body count mereka. Bagi beberapa orang, tren Tiktok body count ini bisa dibilang kurang sopan dan offensive karena setiap individu punya hak untuk menutupi aib. Nah, sisi negatif tren ini akan kita bahas bersama-sama.
Membuka Aib dan Kesehatan Mental, Apa Kaitannya?
Setiap orang, baik yang sehat mental maupun tidak, memiliki hak untuk mengatur privasinya. Dengan kata lain, mereka berhak secara bebas menyimpan rahasia yang mereka pikir sebuah aib. American Psychological Association pernah menegaskan tentang pentingnya menjaga kerahasiaan klien ketika mereka menyampaikan permasalahan psikologisnya kepada praktisi kesehatan mental, sebab hal tersebut bisa mengganggu perkembangan hubungan psikoterapi yang didasarkan pada asas saling percaya antara klien dan psikolog, begitu pula dengan Kode Etik Psikologi Indonesia.
Shoba Sreenivasan dan Linda E. Weinberger dari Psychology Today menyampaikan bahwa dengan adanya privasi, seseorang bisa menyimpan dan memproses pikiran, perasaan, serta perilakunya tanpa tunduk pada pandangan dan pendapat orang lain. Seseorang akan sesekali membutuhkan status anonim untuk melindungi dirinya dari gangguan yang tidak diinginkan. Seperti yang kita tahu, setiap orang punya batasnya masing-masing dalam menentukan mana informasi personal dan mana yang bisa menjadi konsumsi publik. Maka dari itu, privasi seseorang bersifat kontekstual. Jika privasinya diserang, hal ini akan mengancam dirinya. Seseorang akan rentan mengalami cyberbullying yang bisa mengakibatkan gangguan kecemasan, depresi, dan keinginan bunuh diri.
Namun sayangnya, media sosial menimbulkan permasalahan tentang hal ini. Tren yang muncul di Tiktok tadi, misalnya, adalah bentuk pelanggaran privasi yang berupa publikasi informasi personal tanpa consent atau persetujuan dari orang-orang bersangkutan. Menurut Øyvind Kvalnes, seorang filsuf dan profesor di Departemen Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, etika berinternet, terutama bermedia sosial, perlu diterapkan supaya kita tidak melanggar peraturan tentang penyebaran data pribadi yang bisa menyinggung pihak-pihak tertentu. Maka dari itu, sebagai netizen, ada baiknya kita semua bertanggung jawab dalam menjaga kerahasiaan data dan informasi personal.
Menyikapi Tren Tiktok Body Count yang Menyerang Privasi
Tentunya, tidak bisa semudah itu menghindari tren negatif yang merugikan kita. Dilansir dari Smart Social, penggunaan media sosial berlebihan bisa menimbulkan adiksi dan risiko kesehatan mental yang muncul dari membandingkan diri dengan orang lain. Yang terburuk lagi, beberapa predator seksual yang mencari korban anak di bawah umur juga bisa memasuki Tiktok karena kebijakan privasi Tiktok yang cenderung tidak ketat. Maka dari itu, kita harus bisa membentengi diri sebaik-baiknya dari segala negativity yang muncul dari penggunaan Tiktok.
Kvalnes mengusulkan kita untuk meninjau ulang berbagai aspek saat bermedia sosial, yakni sebagai berikut:
- Memperhatikan legalitas informasi. Artinya, dalam menyebarkan atau menyampaikan informasi melalui media sosial, kita harus mencari tahu landasan hukum tindakan tersebut. Misalnya, apakah tindakan tersebut berpotensi menyalahi UU ITE atau tidak.
- Secara etis, kita harus bisa meninjau apakah tindakan kita tersebut bisa diterima oleh masyarakat atau tidak. Sebagai contoh, tren body count ini malah justru menimbulkan kontroversi, sehingga kurang diterima masyarakat.
- Menggali sejauh apa tindakan kita berdampak pada reputasi kita sendiri. Jika tidak, maka sebaiknya mengurungkan tindakan tersebut.
- Melakukan refleksi tentang nilai-nilai pribadi yang mungkin bertentangan dengan kegiatan tersebut. Jika menyalahi nilai pribadi, sebaiknya urungkanlah kegiatan tersebut.
- Secara moral, ada baiknya kita memikirkan konsekuensi tindakan tersebut terhadap orang lain. Jika tindakan tersebut lebih banyak merugikan, ada baiknya kita tidak melanjutkannya.
- Jika kamu sedang mengembangkan brand, tinjaulah seberapa manfaat kegiatan yang bersangkutan bagi usaha atau brand yang kamu jalankan. Bagaimanapun juga, pandangan orang lain akan brand kita ikut menurun bila kita mengikuti tren negatif, bukan?
Lalu, bagaimana jika kita masih belum lepas dari tren tersebut dan terus menerus gelisah dengan keadaan di sekeliling kita? Mungkin ada baiknya kita berbicara dengan profesional mengenai masalah ini.
Riliv dengan layanan psikologi profesionalnya siap mendengarkan keluh kesahmu selama bermedia sosial. Pendampingan dari psikolog dan konselor siap membantumu menavigasi kegiatan bermedia sosial dengan lebih mindful dan mawas diri. Yuk, bergabung dengan Riliv supaya kamu lebih sehat mental!
Referensi:
- Kumar, V. L., & Goldstein, M. A. (2020). Cyberbullying and Adolescents. Current pediatrics reports, 8(3), 86–92. https://doi.org/10.1007/s40124-020-00217-6
- Kvalnes, Ø. (2020). Ethical Dilemmas of Social Media – and How to Navigate Them. Retrieved from Norwegian Business School: https://www.bi.edu/research/business-review/articles/2020/07/ethical-dilemmas-of-social-media–and-how-to-navigate-them/
- Stuart, A., Bandara, A., & Levine, M. (2019). The psychology of privacy in the digital age. Social and Personality Psychology Compass, 13. https://doi.org/10.1111/spc3.12507