Menetapkan Tujuan – Membuat goal, target, to-do-list, agenda, resolusi tahun baru, acapkali kita lakukan, namun biasanya berakhir sebagai wacana dan rencana tanpa kemajuan nyata. Mungkin saja pada awalnya kita bersemangat melakukan aksi nyata untuk mewujudkan goal tersebut, namun akhirnya kita kehilangan niat dan kemauan untuk menyelesaikannya.
Pas ulang tahun atau pas tahun baru, eh nyesel kok ngejar ini itu belum pada kesampaian ya. Ternyata ALASAN di balik tiap goal atau target itu jadi kuncinya lho guys. Banyak hal dalam hidup yang ingin kita kejar dan selalu ada alasan di balik pengejaran target tersebut.
Meskipun individu tidak selalu menyadari atau mengungkapkan demi apa suatu hal dilakukan, alasan inilah yang biasanya dikepoin orang. Kenapa mau pacaran sama si A? Kenapa kok kuliah gak pilih jurusan B? Kenapa kok artis C mau jadi politisi? Kenapa guru D mau mengajar di daerah terpencil?
Selain sebagai bahan kepo, alasan kita mengejar suatu tujuan menentukan sejauh mana tujuan tersebut akan mengalami kemajuan dan sejauh mana tercapainya tujuan tersebut meningkatkan kebahagiaan kita.
Mengapa seseorang menetapkan tujuan dalam hidupnya?
Untuk memahami tentang kenapa tujuan harus ditetapkan, kita akan mulai mengenal dulu berbagai jenis alasan/motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Menurut salah satu teori psikologi, yaitu teori determinasi diri (self-determination theory), setidaknya ada empat jenis motivasi kita dalam melakukan sesuatu (Deci & Ryan, 2000; Ryan & Deci, 2000).
- Motivasi ekstrinsik
Seseorang disebut punya motivasi ekstrinsik kalau alasan mengejar suatu tujuan bukan untuk mencapai tujuan itu sendiri, melainkan untuk hal lainnya. Misalnya, Andi ingin kuliah di jurusan psikologi. Tapi, alasan sebenarnya yang dikejar adalah untuk bisa deket sama pacar yang juga ambil jurusan psikologi. Andi sebenarnya nggak suka sama jurusan psikologi, cuman yang penting bisa barengan pacar terus. - Motivasi introjected
Motivasi yang didasari keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lainnya. Suatu hal dikejar bukan karena ingin reward-nya tapi karena menghindari hal yang tidak diinginkan. Hal tidak diinginkan ini sangat bervariasi mulai dari rasa bersalah bila tidak melakukan hal itu, khawatir digunjingkan tetangga, diomeli orangtua, takut tidak lulus, demi nyenengin atasan, supaya gak dianggap ketinggalan tren sama teman-teman. Misalnya, Bella sebenarnya tidak ingin kuliah, tapi orangtua ingin Bella kuliah jurusan apa saja. Bella akhirnya daftar berbagai jurusan, namun akhirnya diterima di jurusan psikologi. Ya sudah, Bella menjalani kuliahnya demi menuruti keinginan orang tuanya saja. Jadi, mengejar sesuatu dengan motivasi introjected ini akan melindungi harga diri seseorang dari rasa tidak nyaman tadi. - Motivasi identified
Ada hal-hal yang dikejar karena hal itu dinilai penting dan berguna meskipun seseorang tidak sepenuhnya menyukai hal itu. Misalnya, Candra tidak terlalu menyukai jurusan psikologi. Tapi, Candra merasa ilmu psikologi akan bermanfaat dan penting untuk mengembangkan karyawan di perusahaannya. - Motivasi intrinsik
Seseorang dengan motivasi intrinsik mengejar sesuatu karena memang hal tersebut adalah hal yang disukai, dinikmati, menantang, dan menyenangkan, tanpa adanya iming-iming, embel-embel, atau “udang di balik batu” lainnya. Contohnya nih, Desi ingin kuliah di jurusan psikologi karena memang seneng banget bisa belajar kepribadian manusia.
Dari empat motivasi di atas, mana yang bikin lebih bahagia?
Jawabannya adalah motivasi identified dan motivasi intrinsik, guys! (Milyavskaya, Nadolny, & Koestner, 2015; Ryan & Deci, 2000; Sheldon & Houser-Marko, 2001). Mau tahu kenapa?
Beberapa penelitian menemukan bahwa motivasi ekstrinsik dan motivasi introjected berhubungan dengan kecemasan yang lebih tinggi, perlunya mengerahkan tenaga lebih besar karena memaksakan diri.
Ketika mengalami kegagalan, akhirnya menyalahkan orang lain atau keadaan sekitarnya. Pada akhirnya, kemajuan yang dialami tidak bertahan lama, lebih mudah menyerah, dan bergonta-ganti tujuan.
Misalnya, Andi yang nggak suka psikologi tetap kuliah psikologi karena ingin dekat pacarnya yang masuk psikologi (motivasi ekstrinsik). Hanya ketika ada pacar, Andi jadi semangat dan rajin belajar.
Masalahnya, pacar kan gak selalu ada tiap waktu. Andi harus berkonsentrasi ekstra untuk mengikuti perkuliahan di psikologi ketika pacar lagi nggak masuk kuliah karena sakit. Belum lagi kalau Andi putus sama pacar, sementara kuliah di psikologi masih beberapa tahun lagi untuk lulus. Andi bisa jadi kehilangan komitmen nyelesain kuliah ini kalau nggak nemuin motivasi lainnya.
Bella yang kuliah psikologi karena nggak ada pilihan lain dan demi kemauan ortu (motivasi introjected) juga jadi berusaha keras untuk menyukai kuliah psikologi. Mungkin saja kadang nyalahin temen, dosen, atau kampus, kalau lagi kesel, susah ngerjain tugas, atau pas dapat nilai jelek. Karena Bella merasa, dia kuliah demi pembuktian ke orang tua, bukan dari keinginan Bella sendiri.
Selanjutnya, motivasi identified dan motivasi intrinsik berhubungan dengan rasa ingin tahu dan kemauan belajar yang lebih tinggi. Meskipun mengalami kegagalan, individu akan berusaha menyelesaikan dengan cara positif dan tetap tekun mencapai tujuan.
Tentu saja, hasilnya individu akan lebih bahagia dan menghasilkan kemajuan yang lebih pesat. Ketika ada beberapa target yang harus kita kejar, kita cenderung akan memprioritaskan target yang dilatarbelakangi oleh motivasi identified atau motivasi intrinsik. Karena secara alami, kita lebih enjoy dan paham betul apa pentingnya bila target tersebut tercapai.
Balik lagi ke contoh kisah di atas, Candra yang merasa ilmu psikologi akan bermanfaat dan penting untuk mengembangkan karyawan di perusahaannya, dan Desi yang kuliah di jurusan psikologi karena memang seneng banget bisa belajar kepribadian manusia, akan lebih bahagia dan lebih mengalami kemajuan dalam mencapai tujuannya daripada Andi dan Bella. Candra dapat menemukan apa nilai kuliah di psikologi buat diri dan tujuannya, sementara Desi menjalani hal yang dia sendiri sukai tanpa paksaan/dorongan dari kondisi di luar dirinya.
Nah, sekarang balik lagi ke diri kita. Sebelum menetapkan suatu tujuan atau target, coba ambil waktu deh untuk merenungkan. Demi apa kita mengejar ini dan itu? Apakah motivasi ekstrinsik, motivasi introjected, motivasi identified, atau motivasi intrinsik yang jadi motivasi kita? Bila saat ini ada target/goal yang lagi mandeg, coba cek lagi mungkin motivasi ekstrinsik atau introjected yang jadi sebabnya. Because your “why” determines your goal progress and your well-being.
Masih ingin mencari tahu apa yang ingin kamu gapai dalam hidupmu? Mungkin ke psikolog adalah kuncinya! Yuk, segera konseling dengan ahlinya lewat aplikasi Riliv!
References:
- Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227-268. doi: 10.1207/S15327965PLI1104_01
- Milyavskaya, M., Nadolny, D., & Koestner, R. (2015). Why do people set more self-concordant goals in need satisfying domains? Testing authenticity as a mediator. Personality and Individual Differences, 77, 131-136. doi:10.1016/j.paid.2014.12.028
- Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Intrinsic and extrinsic motivations: Classic definitions and new directions. Contemporary Educational Psychology, 25(1), 54-67. doi:10.1006/ceps.1999.1020
- Sheldon, K. M., & Houser-Marko, L. (2001). Self-concordance, goal attainment, and the pursuit of happiness: Can there be an upward spiral? Journal of Personality and Social Psychology, 80(1), 152-165. doi:http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.80.1.152
Ditulis oleh Livia Yuliawati, S.Psi, M.A., Ph.D. (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ciputra). Diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq, M.Psi., Psikolog.
Konten ini merupakan kerjasama antara Fakultas Psikologi Universitas Ciputra dengan Riliv. Riliv adalah startup konseling online dengan psikologi nomor 1 di Indonesia. Riliv senantiasa mengajak masyarakat untuk lebih sadar dengan kesehatan mental mereka. Silahkan kirim cerita atau artikel kesehatan mental ke story@riliv.co.