Emotional abuse – Hubungan interpersonal, baik dalam keluarga, antar pasangan, maupun antar sahabat, pasti memiliki ups and downs-nya masing-masing. Ada kalanya kalian berkonflik, tapi kemudian baikan. Yah, bisa dibilang, hal ini wajar saja terjadi. Namun, jika konfliknya justru mengarah pada emotional abuse, mungkin sebaiknya kamu pikir dua kali buat melanjutkan hubungan dengan orang tersebut. Biar makin paham, yuk kita bahas bersama, apa saja contoh dan tanda-tandanya emotional abuse di sekitar kita!
Beberapa Contoh Emotional Abuse
Emotional abuse adalah perilaku yang bersifat menyakiti seseorang secara emosional, baik itu secara terang-terangan maupun tersembunyi. Biasanya, mereka yang abusive akan mengontrol tindakan kita, membuat kita merasa bersalah, atau mempermalukan kita di hadapan umum. Beberapa perilaku yang termasuk emotional abuse antara lain sebagai berikut:
1. Gaslighting
Gaslighting adalah tipe emotional abuse yang paling sering kita dengar di sosmed. Istilah ini mengacu kepada sikap menyalahkan dan membuat orang lain mempertanyakan validitas memori dan pemikirannya terkait sesuatu. Ketika di-gaslight seseorang, kamu bakal dibikin bingung. Karena menurut dia, kamu selalu melakukan sesuatu yang salah. Dia juga nggak mau mengakui perasaanmu maupun mendengar alasanmu dalam bentuk apa pun. Pernah mengalaminya sama orang terdekat? Time to run, Bestie!
2. Possessiveness
Pasangan, teman, atau orang tua yang protektif bisa diartikan sebagai pribadi yang caring. Namun, jika mereka selalu membatasi hubungan kamu dengan orang lain dan mudah cemburu waktu kamu jalan sama orang selain mereka, inilah yang dinamakan sikap posesif, dan itu sama sekali berbeda dengan caring. Biasanya, orang yang posesif akan membuat kamu merasa nggak punya siapa-siapa kecuali mereka, karena mereka nggak pengen kamu meninggalkan mereka. Mereka juga berani ikut campur dalam urusan pribadi kamu. Bahkan, ketika kamu berniat buat menjauh, mereka akan bersikap seolah-olah mereka sudah berubah untuk mempertahankan kamu.
3. Memarahi Berlebihan
Dibandingkan yang lain, bentuk emotional abuse yang satu ini kentara banget. Namun ironisnya, bagi kita yang tinggal di Indonesia, sikap orang tua yang memarahi anaknya sudah merupakan kebiasaan yang umum di masyarakat, apalagi kalau mereka menganggap anaknya “nakal” dan “susah diatur.” Walaupun demikian, memarahi anak secara berlebihan bukanlah sesuatu yang baik jika dilakukan terus menerus dengan dalih “memberi pelajaran,” karena hal ini justru akan berdampak buruk pada pertumbuhan emosional anak. Perlu diingat bahwa relasi orang tua dan anak bisa mempengaruhi tingkat kepercayaan diri anak, sehingga bila orang tua kurang menunjukkan afeksi yang seharusnya, akan muncul perasaan nggak berdaya dan kesulitan anak untuk bersosialisasi dengan baik.
4. Emotional Blackmail
Sikap yang satu ini bisa dibilang gabungan dari gaslighting dan possessiveness, dan bakal bikin kamu mempertanyakan realitas karena nggak yakin dengan apa yang sudah kamu alami. Emotional blackmail adalah bentuk manipulasi yang ditujukan untuk mengontrol perilaku kamu, sehingga kamu menuruti perintah orang lain. Mereka juga akan memanfaatkan kebaikan hatimu buat mengasihani mereka, sehingga kamu nggak bisa menyakiti mereka. Terus kalau kamu mulai berani melawan, mereka akan membuat kamu merasa bersalah.
Nah, apabila dirangkum dari uraian di atas, beberapa pertanda seseorang mengalami abusive relationship dalam bentuk emosional adalah sebagai berikut:
- Kesulitan berkomunikasi atau berdialog dengan orang yang abusive.
- Merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.
- Tidak tahu apa yang harus dilakukan.
- Mempertanyakan persepsinya sendiri terhadap hubungan.
- Merasa tidak dihargai.
- Sulit membangun relasi sosial yang sehat dengan orang lain.
Sulitnya Mendeteksi Emotional Abuse
Oleh karena emotional abuse nggak sebegitu terlihatnya dibandingkan physical abuse, kamu mungkin nggak menyadarinya secara langsung. Apalagi, jika kamu sudah tinggal atau berdinamika cukup lama dengan orang yang abusive tersebut. Dalam beberapa kasus KDRT yang terjadi pada wanita, mereka yang mengalami abuse dari pasangannya akan enggan mengakui munculnya tindakan abusive tersebut, karena dianggap sudah biasa. Inilah yang dinamakan battered woman syndrome.
Di sisi lain, riset melaporkan bahwa sejumlah faktor yang melatarbelakangi sulitnya meninggalkan hubungan abusive adalah keadaan ekonomi, norma masyarakat yang masih memihak abuser (khususnya dalam pernikahan), dan urusan hukum yang sulit. Terlebih lagi, trauma bonding bisa muncul antara korban dengan abuser, sehingga menciptakan sebuah ilusi dalam benak korban bahwa mereka bukanlah siapa-siapa tanpa abuser-nya. Inilah mengapa seseorang yang mengalami abusive relationship akan cenderung merasa bergantung pada abuser.
Ingat, Kamu Nggak Sendirian, Kok!
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, emotional abuse itu berbahaya jika dibiarkan, karena bisa berdampak pada self-esteem dan self-worth kamu. Maka dari itu, dalam menghadapi emotional abuse, kamu harus bersikap berani. Hanya itulah satu-satunya cara yang paling bisa kamu lakukan. Sebab mau bagaimanapun juga, abusers akan berusaha menjatuhkan kamu. Mereka akan mencari berbagai cara supaya kamu nggak bisa me-reclaim kekuatanmu.
Yang kedua, selain keberanian, melawan tindakan abusive itu juga membutuhkan sedikit refleksi diri. Jadi, coba, deh, dengarkan sejenak suara kecil dalam dirimu! Jika kamu merasa ada yang salah dari hubungan yang kamu alami saat ini, itulah pertanda bahwa kamu harus segera menyelamatkan diri. Namun, jika kamu kesulitan mengenali suara kecil tadi, bantuan profesional bisa membantumu.
Ya, jika kamu sudah mulai mengalami gejala-gejala adanya emotional abuse, ada baiknya kamu menghubungi psikolog secepat mungkin. Psikolog akan membantu kamu mengenali risiko, mengajakmu berpikir ulang tentang hubungan yang kamu jalani, serta memfasilitasimu dalam membangun kembali self-esteem yang hancur karena abusive relationship.
Ingin konseling psikologi dengan mudah? Yuk, download dan install aplikasi Riliv! Nggak hanya melayani konsultasi dengan profesional, Riliv juga punya segudang self-care seperti meditasi, journal, dan musik pengantar tidur yang bisa membantumu meningkatkan well-being secara psikologis.
Referensi:
- Krauss, S., Orth, U., & Robins, R. W. (2020). Family environment and self-esteem development: A longitudinal study from age 10 to 16. Journal of personality and social psychology, 119(2), 457–478. https://doi.org/10.1037/pspp0000263
- Patra, P., Prakash, J., Patra, B., & Khanna, P. (2018). Intimate partner violence: Wounds are deeper. Indian journal of psychiatry, 60(4), 494–498. https://doi.org/10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry_74_17