Resiliensi adalah – Kehilangan, kegagalan, kesedihan adalah hal yang tak bisa dihindari. Beberapa individu mampu mengatasinya dengan baik, dan beberapa lainnya tidak. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Resiliensi adalah salah satu hal yang menjadi penyebabnya!
Faktanya, resiliensi bukan suatu hal yang sifatnya statis. Resiliensi bisa berfluktuasi seiring waktu. Semua individu dapat meningkatkannya. Jadi, yuk simak artikel Riliv berikut mengenai apa itu resiliensi dan bagaimana meningkatkannya!
Resiliensi: penting dalam mengatasi situasi yang sulit
Para psikolog mendefinisikan resiliensi sebagai kekuatan dan kemampuan individu dalam menghadapi dan bangkit kembali dari situasi-situasi yang sulit. Hal ini dapat berupa perpisahan dengan pasangan, kegagalan, kehilangan pekerjaan, dan masalah lainnya.
Menghadapi dan bangkit kembali dari situasi-situasi yang sulit sering diibaratkan dengan men-drible atau menggiring bola basket.
Â
Individu yang memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dapat diibaratkan seperti bola basket. Tidak peduli berapa kali ia dijatuhkan, ia selalu bisa bounce back ke atas dengan cepat
Mereka dapat dengan mudah melewati sesuatu yang membuat mereka jatuh tanpa harus mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Seperti kata pepatah, fall down for 10 times, stand up for 11 times!
Mereka juga menganggap situasi yang tidak menyenangkan sebagai medium pertumbuhan pribadi. Misalnya, ketika individu gagal mendapat pekerjaan di kantor impiannya, individu yang resilien tidak akan membiarkan rasa sedih dan kecewa menguasai dirinya.
Ia akan berusaha mencari pelajaran dari sebuah kegagalan — mencari tahu apa kekurangan dan kesalahan yang telah ia lakukan dan menentukan yang harus ia lakukan kedepannya.
Dari ilustrasi di atas, tentu membuktikan bahwa resiliensi adalah hal yang penting dalam hidup kita. Resiliensi dapat membantu kita ketika menghadapi masa-masa sulit dan meringankan beban yang kita rasakan.
Resiliensi adalah hal yang bisa dikembangkan, apakah benar?
Tingkat resiliensi antara individu dan individu lainnya pun berbeda-beda. Beberapa faktor yang diyakini memengaruhi resiliensi adalah pola asuh orang tua, kondisi sosio-ekonomi, lingkungan sekitar, problem solving skill, regulasi diri, serta kemampuan individu dalam beradaptasi.
Penelitian membuktikan bahwa individu yang tinggal di lingkungan yang hangat, mendapatkan dukungan yang tepat, dan diasuh dengan cara yang positif cenderung lebih resilien dibanding lainnya.
Namun, bukan berarti individu yang diasuh di lingkungan yang tidak ideal tidak dapat mengembangkan resiliensi. Kabar baiknya, resiliensi bisa dikembangkan dan bukan hal yang tidak bisa diubah seperti gen.
Resiliensi juga bukanlah bentuk kepribadian yang sifatnya menetap. So, it’s never too late to develop it!
Cara meningkatkan resiliensi adalah dengan melakukan 5 hal berikut!
1. Tingkatkan cara berpikir yang sehat
Â
You are who you think you are. Frasa tersebut menjelaskan bahwa apapun yang kita pikirkan memainkan peran yang penting terhadap perasaan, pikiran, dan perilaku kita. Pola pikir yang irasional dapat menghambat individu untuk bangkit kembali dari kesulitan yang ia alami.
Coba bayangkan, ketika kamu baru saja mengalami kegagalan hubungan dan kamu terus berpikir bahwa kamu tidak akan pantas untuk siapapun, apakah pikiran tersebut membantumu untuk bangkit? Tidak. Hal itu tentu akan menambah bebanmu.
Individu yang resilien akan berusaha mencari tahu apa yang harus ia tingkatkan untuk menjalin hubungan yang lebih baik di masa depan. Singkatnya, cobalah untuk meningkatan pola pikir yang realistis.
Ingatkan dirimu bahwa apa yang terjadi pada masa kini bukanlah sebuah indikator masa depan. Kita memang tidak bisa mengubah situasi menyakitkan yang telah terjadi, tapi kita memiliki kuasa untuk mengubah cara berpikir kita pada situasi tersebut.
2. Menerima perubahan yang terjadi dan mengembangkan diri
Perubahan adalah hal yang pasti dalam hidup — baik negatif maupun positif. Teman yang datang dan pergi, rencana masa depan yang tidak berjalan sesuai yang diharapkan, dan perubahan lainnya dapat terjadi.
Penerimaan adalah langkah penting untuk menjadi pribadi yang lebih resilien. Individu yang resilien memandang perubahan sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri. Mereka cenderung lebih cepat beradaptasi. Karenanya, mereka lebih siap menghadapi masa-masa sulit.
Misalnya, seorang individu yang gagal melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi tentu akan merasa sedih dan kecewa. Namun, individu yang resilien menerimanya dengan bijak dan mencari pelajaran dari kegagalan yang ia alami.
Bersedih atas hal-hal yang tidak dapat diubah adalah hal yang sia-sia. Akan lebih baik jika kamu segera merencanakan apa yang akan kamu lakukan untuk mencapai hal yang kamu inginkan.
3. Kelola emosi dengan cara yang sehat
Situasi-situasi yang sulit tentu menimbulkan berbagai macam emosi negatif. Marah, sedih, kecewa, dan merasa putus asa adalah hal normal yang dirasakan oleh manusia. Akan tetapi, individu yang resilien tidak membiarkan hal itu menguasai dirinya dan segera move on.
Carilah cara yang tepat untuk mengelola emosi negatif yang kamu rasakan karena sebuah kegagalan. Cara setiap orang tentu berbeda-beda. Ada yang memilih untuk mendengarkan musik, bermain game, atau menulis jurnal. Cara lainnya yang bisa kamu coba adalah dengan meditasi online.
Selain itu, beri diri sendiri batas waktu untuk merasakan seluruh emosi negatif dan berjanjilah untuk tidak memikirkannya lagi di luar waktu tersebut.
4. Carilah dukungan sosial dari orang terdekat
Â
Penelitian menjelaskan bahwa faktor utama dalam resiliensi adalah dukungan dan perhatian dari orang terdekat — keluarga maupun teman. Hubungan yang di dalamnya terdapat cinta dan dukungan dapat membantu meningkatkan tingkat resiliensi individu.
Beberapa individu mungkin akan mengisolasi diri ketika mengalami situasi-situasi yang sulit. Membicarakan hal yang membuatmu bersedih mungkin akan terasa nggak nyaman. Tapi, dukungan sosial ini ternyata penting banget.
Oleh karena itu, berbagilah dengan orang yang paling kamu percaya, entah itu keluarga, teman, atau pasangan yang dapat mendukungmu untuk meningkatkan resiliensi. Kamu juga bisa mencoba curhat online dengan psikolog profesional agar lebih objektif dalam melihat permasalahan yang sedang kamu hadapi.
5. Merawat diri sendiri
Tidak hanya emosi, situasi-situasi yang sulit juga dapat memengaruhi fisikmu. Beberapa individu mungkin akan mengalami kesulitan tidur, nafsu makan yang menurun, dan tidak memiliki motivasi untuk merawat dirinya sendiri.
Padahal, merawat diri sendiri juga penting untuk menjaga kesehatan fisik. Kamu dapat melakukannya dengan makan yang teratur dengan gizi yang seimbang, tidur yang cukup, atau melakukan olahraga yang ringan.
Merawat diri dapat membantumu untuk meningkatkan resiliensi, memperkuat tubuh untuk beradaptasi dengan situasi yang sulit, dan mengurangi resiko kecemasan atau depresi. Oleh karena itu, jangan lupa merawat diri ya!
Akhir kata, semoga lima tips di atas dapat membantu. Akan tetapi, jangan khawatir apabila kamu belum bisa meningkatkan resiliensi dengan cara-cara di atas. Mencari bantuan profesional saat kamu membutuhkannya juga sangat penting untuk meningkatkan resiliensimu!
Tenaga kesehatan mental profesional juga dapat membantumu untuk menentukan strategi yang tepat untuk bangkit dari situasi tidak menyenangkan. Kamu dapat melakukan konseling online dengan psikolog melalui aplikasi Riliv.
“I am not what happened to me, I am what I choose to become.”
–Carl Jung
Baca Juga:
Resiliensi Kerja: Mengapa Ini Penting Untuk Dimiliki Karyawan!
Penyebab Diskriminasi Sosial dari Sudut Pandang Psikologi!
5 Contoh Keluhan Karyawan yang Harus Diatasi oleh HR
Referensi:
- American Psychology Association. (2012). Building Your Resilience. Retrieved from https://www.apa.org/topics/resilience
- Lipkin, N. (2016). The 8 Behaviors of Resilient People. Retrieved from https://thinkgrowth.org/the-8-behaviors-of-resilient-people-a3d1acdeb8f1
- Maraboli, S. (2020). Resilience in Positive Psychology: Bouncing Back & Staying Strong. Retrieved from https://positivepsychology.com/resilience-in-positive-psychology/
- Tian, L., Liu, L., dan Shan, N. (2018). Parent–Child relationships and resilience among chinese adolescents: The mediating role of self-esteem. Frontiers in Psychology. 9, 1030. doi: 10.3389/fpsyg.2018.01030
- Wignal, N. (2020). 5 Things Emotionally Resilient People Don’t Do. Retrieved from https://medium.com/personal-growth/5-things-emotionally-resilient-people-dont-do-66ec17a40d1c
Ditulis oleh Yusrina Sabila Zaujati Hanifah, someone who is still trying to be resilient whatever how bad the situation is.