Tak selamanya tepuk tangan itu gemuruh dan Aku cinta kalian adalah ungkapan yang lantang. Begitulah yang dirasakan seluruh peserta seminar bahasa isyarat Hear Me, Feel Me. Hari Minggu, 13 Mei 2018, menjadi berbeda karena seluruh rangkaian acara dibalut dalam kesunyian. Bukan kesunyian yang canggung, namun seluruh peserta seminar yang diadakan oleh Isyarat.co dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga seolah sepakat bahwa antusiasme Teman Dengar dalam memahami Teman Tuli sudah tampak sejak pertama duduk bersama dalam ruangan. Baik Teman Dengar maupun Teman Tuli yang berasal dari berbagai komunitas di Jawa Timur berbaur dan berkesempatan untuk mengenal satu sama lain.
Hear Me, Feel Me merupakan acara semi-formal yang dipandu oleh 2 moderator. Sesi pertama dibuka dengan talkshow oleh Ibu Primatia Yogi Wulandari, M.Si., Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Beliau melempar pertanyaan fundamental kepada peserta: Apa makna komunikasi itu sendiri? Sebelum menjawab, beliau mengajak peserta seminar bahasa isyarat untuk ice-breaking. Salah seorang peserta diminta maju untuk menyampaikan judul sebuah lagu melalui bahasa tubuh dan gerakan tertentu. Gelak tawa terlontar ketika peserta lain berusaha memahami jawabannya. Game tersebut, menurut Ibu Primatia, menunjukkan bahwa tanpa kata, pesan pun dapat tersampaikan. 3 hal yang harus diingat oleh para peserta dalam memahami komunikasi adalah adanya keinginan mendengar, keterbukaan, dan rasa hormat pada lawan bicara agar meningkatkan kepekaan dalam memahami bahasa tubuh.
Peserta harus memiliki keinginan mendengar, keterbukaan, dan rasa hormat pada lawan bicara agar dapat memahami komunikasi.
Usai sesi pertama, tiba-tiba seseorang dari komunitas Tuli maju dan berdiri di depan panggung. Rupanya, antusiasme peserta Tuli sangat tinggi sehingga mereka meminta salah satu Teman Dengar dari komunitas Tuli untuk menerjemahkan paparan pemateri. Moderator pun mengajak Teman Dengar untuk sepakat menggunakan bahasa isyarat “tepuk tangan” sebagai bentuk apresiasi dalam acara ini. Hal ini disambut gembira oleh seluruh peserta; aksi kecil yang membuktikan janji dari seminar bahasa isyarat ini untuk memahami dunia para Teman Tuli.
Sesi kedua yaitu praktik bahasa isyarat dibawakan oleh Bapak Ahmad Nurhadi, S.Pd., praktisi dan konsultan bahasa isyarat. Dalam materinya, Bapak Nurhadi menekankan bahwa tuli bukanlah tuna wicara seperti apa yang diyakini oleh masyarakat. Tuna wicara seolah melabeli Teman Tuli tak dapat berkomunikasi. Padahal semua Teman Tuli dapat berkomunikasi baik melalui oral maupun isyarat.
Selain mengajarkan bahasa isyarat beserta kiatnya, beliau juga menambahkan bahwa Teman Tuli tidak perlu takut melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi maupun langsung bekerja. Beberapa sekolah sudah memfasilitasi Teman Tuli untuk merencanakan pendidikan atau vokasional yang dapat mereka ambil setelah menyelesaikan studi sekolah atas.
“Menurut Bapak, apakah bahasa isyarat seharusnya dipahami semua masyarakat?” tanya salah satu peserta saat sesi tanya jawab.
“Idealnya”, jawab salah satu penyusun kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) tersebut, “bahasa isyarat diterapkan di masyarakat. Setidaknya, kepada orangtua atau penerjemah di televisi. Masyarakat pun memahami kebutuhan Teman Tuli seperti memberikan alat tulis kepada Teman Tuli atau menggunakan isyarat gerak mulut. Tunjukkan kepedulian, karena Tuli bukan dalam konteks edukasi saja, namun bagian dari masyarakat.”
Tuli tidak terbatas dalam konteks edukasi saja, namun juga bagian dari masyarakat
Di akhir sesi, peserta berkesempatan mempraktikkan bahasa isyarat yang sudah dipelajari. Baik Teman Dengar maupun Teman Tuli berusaha ‘menyanyikan’ sebuah lagu dengan bahasa isyarat yang dipandu oleh Bapak Nurhadi. Meskipun tidak seluwes Teman Tuli, para Teman Dengar tampak gembira dengan usahanya menerapkan bahasa isyarat.
Kekaguman Teman Dengar dan Teman Tuli pun memuncak saat Surya Sahetapy, aktivis bahasa isyarat, menjadi pembicara terakhir seminar bahasa isyarat. Melalui penerjemah, Surya menjelaskan bahwa dia sangat bersemangat dalam memberikan edukasi terkait bahasa isyarat kepada Teman Dengar. Dia membagikan pengalamannya saat berada di Australia dan mengagumi bagaimana kebutuhan masyarakat difabel dapat terfasilitasi. Tidak hanya Teman Dengar, para Teman Tuli pun tidak sabar melontarkan beberapa pertanyaan terkait pandangan Surya tentang masyarakat difabel Indonesia. Surya mengapresiasi seminar bahasa isyarat yang membaurkan Teman Dekat dan Teman Tuli; menurutnya inti dari diskriminasi adalah keengganan untuk mengerti satu sama lain. Hal tersebut, menurut Surya, dapat diatasi dengan adanya pertukaran siswa dari sekolah umum ke luar biasa dan sebaliknya.
“Bahasa isyarat tidak hanya untuk Teman Tuli, tetapi juga bisa diterapkan Teman Dengar, seperti saat berenang atau menonton konser yang berisik.” ujar pria yang akan melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat tersebut. “Memang, mayoritas merasa malu dan tertekan dengan bahasa isyarat. Tetapi Tuhan mengambil pendengaran saya, tidak mungkin saya minta lagi. Karena itu saya mau belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi.” Kalimat tersebut disambut oleh riuhnya isyarat tepuk tangan. Surya juga menjelaskan bahwa bahasa isyarat dapat diekspresikan sebagai seni; beberapa Teman Tuli dari komunitas menjelaskan bahwa mereka juga tergabung dalam aktivitas teater tuli. Sebelum mengucapkan selamat tinggal, para peserta seminar bahasa isyarat diminta untuk foto bersama dengan seluruh pembicara sembari sesekali berlomba selfie dengan Surya.
Tuhan mengambil pendengaran saya, tidak mungkin saya minta lagi. Karena itu saya mau belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Karim, CEO dari Isyarat.co menjelaskan bahwa seminar bahasa isyarat Hear Me Feel Me diadakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas terhadap Teman Tuli. “Teman Tuli ingin didengar, tetapi mereka memiliki cara komunikasi sendiri yaitu bahasa isyarat. Harapannya, acara ini dapat mengajak Teman Dengar agar memahami kebutuhan Teman Tuli. Tidak perlu takut atau ragu. Teman Tuli juga tidak perlu minder, ayo percaya diri dalam berkomunikasi. Mari bersama-sama merangkul satu sama lain.”
Hal yang sama diamini oleh Antonius, Teman Dengar yang tergabung dalam Komunitas Aksi Tuli Sidoarjo sekaligus penerjemah dalam Hear Me Feel Me. “Aku ingin Teman Tuli tidak usah takut, khawatir, atau rendah diri untuk berkarya dan berinovasi di masyarakat. Teman Dengar juga perlu memahami bahasa isyarat untuk menambah kemampuan berpikir dan bertindak. Aku juga berharap tidak ada diskriminasi Teman Tuli di masyarakat.”
Komunikasi yang berbeda bukanlah penghalang dalam menjalin harmoni. Hear Me Feel Me berhasil membuka cakrawala Teman Dengar untuk semakin memahami kebutuhan Teman Tuli dan sebaliknya, bahasa isyarat yang menjadi topik bahasan pada seminar ini mendorong Teman Tuli untuk percaya diri dalam menunjukkan identitasnya. Layaknya cinta yang tak dibatasi ekspresi, mari bersama-sama mewujudkan integrasi masyarakat Dengar dan Tuli tanpa diskriminasi!
—
Ingin acaramu diulas dan ditampilkan dalam Riliv Story? Kirimkan ulasan acara (file Word) + dokumentasi beserta biodata singkat acara dan penyelenggara ke e-mail story@riliv.co dengan subjek #YourStory – Review (Nama Acara). Tidak dipungut biaya.
Discussion about this post