Tokoh Feminisme– Kesetaraan gender masih menjadi kudapan dingin yang tidak tersentuh sama sekali, entah karena kita sudah bosan atau memang rasanya itu-itu saja.
Mari kita hangatkan kudapan tersebut dengan mengenang dan menghayati perjuangan para tokoh feminisme berikut.
Ini dia 5 tokoh feminisme yang Riliv berhasil rangkum
1. Marry Wollstonecraft: Tokoh Feminisme Liberal Kesetaraan Pendidikan Bagi Perempuan
Apakah kalian familiar dengan tokoh feminisme liberal ini? Mary Wollstencraft menuangkan kegelisahannya dalam bukunya yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman, ketika hak perempuan dirampas untuk bisa bekerja di luar rumah.
Saat industri kapitalisme merajalela, perempuan borjuis dinilai tidak cocok ikut berpartisipasi dalam pekerjaan yang kompetitif dan kasar. Kulit mereka bisa belang dan tidak sehat lagi. Mereka dikurung seperti burung yang tugasnya hanya menanti makanan atau upah yang dibawa oleh suami mereka yang berkerja.
Perempuan yang hanya berdiam di rumah tidak bisa mengembangkan potensinya, khususnya kemampuan bernalar (reasons) dan berpikir rasional (rational powers) sehingga tidak menjadi pribadi yang bijak (lacked of virtues).
Wollstonecraft bersikeras bahwa perempuan dan juga laki-laki berhak mendapatkan kesempatan dan pendidikan yang sama untuk berkembang menjadi agen otonom. Perempuan yang benar-benar berpendidikan akan menjadi penyumbang utama kesejahteraan masyarakat.
Tokoh feminisme lilberal ini menghadirkan visi seorang wanita yang dapat mengambil keputusan secara mandiri bagi diri sendiri dan memiliki kemampuan untuk menentukan nasib sendiri.
2. Simone de beauvoir: Tokoh Feminisme Eksistensial
One is not born, but rather becomes, a woman.
Simone de Beauvoir, The Second Sex
Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre adalah relationsip goals pada masanya. Mengapa tidak? Pemikiran mereka melampaui ruang dan waktu bahkan masih relevan sampai sekarang. Sepasang kekasih ini melahirkan karya Being and nothingness (Jean-Paul Sartre) dan The Second Sex (Simon de Beauvoir).
Simone de Beauvoir, seorang tokoh feminisme eksistensialis, percaya bahwa manusia lahir tanpa tujuan sehingga harus mencari tujuan hidupnya sendiri. Tapi, eksistensi wanita tidak ditentukan oleh dirinya sendiri melainkan laki-laki sehingga laki-laki dianggap sebagai manusia (man/ the self) sedangkan wanita adalah liyan (other/ the second sex).
Peta Pemikiran Simone de Beauvoir
- Kebanyakan dari mereka yang pernah menulis tentang manusia adalah laki-laki
- Nilai laki-laki (maleness) menjadi sebuah standar
- Laki-laki mendefinisikan perempuan sesuai dengan standar laki-laki
- Laki-laki dianggap sebagai manusia (human being) sedangkan wanita adalah perempuan (female)
Lantas, apa yang harus dilakukan perempuan untuk menemukan tujuannya dan menjadi manusia seutuhnya?
Saran Simone de Beauvoir untuk Perempuan
- Bagaimanapun wanita harus tetap bekerja. Bekerja membuat wanita berdaya dan mandiri
- Wanita perlu berwawasan dan intelektual dengan banyak belajar (diskusi, baca buku, dll) dan juga menekuni bidang yang disukai (passion)
- Wanita harus mandiri secara ekonomi
- Wanita harus terlibat dalam agenda-agenda perubahan, pemberdayaan dan kreativitas dalam rangka mengembangkan pola pikir (improving their minds)
3. Evelyn Reed: Tokoh Feminisme Marxisme Klasik
Mungkin tidak banyak yang tahu tentang Evelyn Reed. Mungkin juga terdengar asing ditelinga kalian istilah tokoh feminisme marxisme klasik. Memang, Evelyn Reed terinspirasi dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels.
Berbeda dengan Mary W. dan de Beauvoir, Reed, dalam bukunya, Women: Caste, Class, or Oppressed Sex?, menjelaskan bahwa penindasaan pada perempuan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki tapi juga oleh perempuan borjuis.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, uang yang memiliki power. Sistem ekonomi ini tentunya juga menindas laki-laki. Para perempuan borjuis mendukung suami yang borjuis untuk mempertahankan kepemilikan pribadi (private property), pencatutan (profiteering), militer, rasisme, dan eksploitasi perempuan.
Reed mendukung para perempuan yang tertindas (protelar) untuk membentuk aliansi bersama laki-laki yang tertindas juga. Reed percaya bahwa musuh utama perempuan proletar bukanlah patriarki tetapi, pertama dan terutama, kapitalisme. Berakhirnya kapitalisme membuat pria dan wanita dapat bekerjasama dalam kepedulian.
4. Dorothy Dinnerstein: Tokoh Transformatif Ekofeminisme
Aliran ekofeminisme mungkin masih terdengar asing di telinga kalian. Seperti yang kalian tahu, kata ‘eko’ (baca: ekologi) merujuk pada lingkungan. Pada dasarnya, bumi adalah mother of nature yakni tempat yang memberikan kita sumber daya untuk keberlangsungan hidup. Akan tetapi, negara disimbolkan sebagai patriarkisme yang menindas alam sehingga memengaruhi kehidupan perempuan di lingkungan tersebut.
Para tokoh feminisme aliran ini, salah satunya Dinnerstein, menolak anggapan dikotomis antara peran perempuan dan laki-laki. Perempuan sebagai mother of nature yakni merawat, melestarikan dan menyediakan sumber daya sehingga perempuan cocok untuk mengurus rumah tangga dan anak saja. Sementara, laki-laki dianggap sebagai men of culture yakni bekerja di luar rumah untuk membangun budaya dan peradaban (civilization).
Menurutnya, laki-laki dan perempuan bisa saling bertukar peran. Laki-laki membawa culture ke dalam nature (membantu & membangun rumah tangga), sedangkan, perempuan membawa nature ke dalam culture (bekerja di luar rumah untuk berkontribusi pada masyarakat luas).
Dengan demikian, perempuan dan laki-laki sama-sama mencapai kesetaraan.
Baca Juga:
7 Tips Menghargai Diri Sendiri, Do it Now!
5. Michel Foucault: Tokoh Feminisme Post-strukuralisme
Menurut Foucault, tokoh aliran feminisme post-strukturalisme dan dalam bukunya History of Sexuality Vol. 1, adanya ketabuan membicarakan seksualitas disebabkan karena masyarakat seolah merasa memiliki kuasa (power) untuk mengatur masyarakat lainnya, khusunya minoritas.
Apa yang dianggap benar oleh masyarakat umum akan menjadi sebuah hegemoni yang opresif sehingga muncul ketidakadilan (inequality). Masyarakat menjadi polisi moral. Mereka memaksa kita untuk berperilaku seperti yang dikehendaki.
Bayangkan jika ternyata masyarakat memegang teguh ketidakadilan dalam peran laki-laki dan perempuan, maka hal ini akan terus menjadi lingkaran setan dalam masyarakat.
Michel Foucault berusaha mengingatkan kita bahwa manusia memiliki otonomi (self-agency) untuk menjadi apa yang kita inginkan selama menumbuhkan wisdom dalam diri ataupun khalayak ramai. Manusia boleh membentuk persepsi atas dirinya sendiri tanpa memandang usia, golongan, dan ras.
Kesimpulan
Berikut 5 tokoh feminisme yang Riliv berhasil rangkum. Mari kita bangun masyarakat yang ramah akan gender dan persoalan-persoalan sosial yang lain. Sudah saatnya kita membuat aksi damai untuk melanggengkan kepedulian terhadap sesama manusia.
Riliv bekerja sama dengan Indika Foundation mendukung masa depan Indonesia yang damai, inklusif dan memiliki semangat toleransi. Tujuan ini akan dicapai melalui pemberian pendidikan karakter yang mengajarkan kemampuan bernalar kritis, menghormati perbedaan, mengasah empati dan kecerdasan sosial emosional.
Riliv dan Indika Foundation memiliki program kerjasama #MakeItEQual yang bisa Anda akses sebagai berikut:
- 10000 kode voucher free meditasi dengan menggunakan kode voucher makeitequal
- 100 artikel kecerdasan emosional dan mindfulness
- 15 modul dan e-book kecerdasan emosional dan mindfulness
- 3 workshop #MakeItEQual
Informasi lebih lengkap mengenai program #MakeItEQual silahkan kunjungi laman RILIV MAKE IT EQUAL untuk dapatkan seluruh keuntungan program kerjasama ini.
Referensi:
-
Tong, R., & Botts, T. F. (2018). Feminist thought: A more comprehensive introduction. Routledge.
Ditulis oleh Yogie Andreas
Baca Juga:
Selain Ramah, Ini Karakter Positif Orang Indonesia Lainnya!