Victim blaming – Belakangan ini, kasus kekerasan seksual yang marak terjadi pada anak-anak muda, khususnya perempuan, melahirkan berbagai kontroversi. Tentunya ada yang membela korban, namun nggak sedikit yang menyalahkannya alias victim blaming. Tapi, mengapa sih ada orang-orang yang melakukan victim blaming?
Alasan Korban Selalu Salah di Mata Masyarakat
Membiarkan pelecehan seksual, bullying, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya adalah contoh dari rendahnya pengetahuan dan minimnya pandangan empatik masyarakat kita mengenai tindakan kekerasan itu sendiri. Yang lebih aneh lagi, masyarakat akan cenderung mengkritik korban dengan alasan, “Lah, seharusnya kamu nggak berpakaian menggoda,” atau sejenisnya. Padahal, mindset seperti inilah yang keliru. Dalam bahasa filsafat, bias kognitif ini disebut dengan just world fallacy.
Sesat Pikir Just World Fallacy
Just world fallacy adalah suatu keadaan di mana masyarakat merasionalisasi suatu hal yang buruk yang terjadi di sekitar kita. Dalam kasus tertentu, masyarakat akan cenderung menganggap korban pantas mendapatkan hal buruk yang terjadi padanya. Kenyataannya, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal buruk itu terjadi. Namun, masyarakat cenderung melakukan penyederhanaan berlebih tentang sebuah peristiwa dan konsekuensinya.
Just world fallacy ternyata juga menunjukkan bahwa orang-orang itu “cemen” alias nggak bertanggungjawab. Secara logika, orang yang “cemen” pasti nggak mau mengakui kesalahannya, kan? Alhasil, mereka punya kecenderungan menyepelekan sesuatu yang pada dasarnya serius, dengan maksud melepaskan diri dari penyesalan yang diakibatkan perilaku mereka.
Tanpa Kita Sadari, Kita Bisa Melakukan Victim Blaming!
Victim blaming memang sering dilakukan secara terang-terangan, namun kita juga bisa melakukannya secara terselubung. Contohnya, dalam kasus ringan aja, deh! Kamu kecopetan di bandara, kemudian lapor sama polisi. Polisi bersedia membantu kamu mencari pencopetnya buat kamu. Namun, alih-alih dapat afirmasi yang menenangkan atas masalahmu, kamu malah disindir karena nggak menyimpan duitmu dengan benar.
Penyalahan Korban yang Bersifat Generasional
Belakangan ini, kita pasti sering mendengar banyak laporan terjadinya pelecehan seksual lewat media sosial. Mulai dari tahun 2021 hingga sekarang, jumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan semakin meningkat, dengan total jumlah kasus terakhir sebanyak 338.496 kasus yang dilaporkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Namun, banyaknya kasus yang dilaporkan bukan berarti penurunan stigma terhadap kekerasan itu sendiri.
Terkait hal di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa victim blaming bisa jadi hasil pendidikan dan budaya turun temurun di masyarakat. Ini dikonfirmasi sebuah studi tahun 2021 yang dilakukan terhadap mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia. Pandangan yang mendominasi hasil riset tersebut adalah si korban pantas disalahkan karena gaya berpakaiannya yang provokatif dan nggak sesuai norma. Studi lain tahun 2017 juga melaporkan bahwa victim blaming merupakan hasil dari internalisasi nilai-nilai yang disebarkan oleh media terhadap kekerasan seksual, yang mendasari munculnya rape culture (pembiasaan tindak kekerasan seksual) di masyarakat.
Bystander Effect dalam Victim Blaming
Lerner dan Simmons (1966) mencatat dalam eksperimen mereka bahwa dalam suatu kesempatan, saat seseorang ditempatkan dalam posisi bystander (penonton) dan posisi otoritatif, ada perbedaan respon terhadap individu yang dihukum. Bila individu ditempatkan sebagai bystander, mereka akan menganggap bahwa individu lainnya memang pantas mendapatkan hukuman. Sementara individu yang memiliki posisi otoritatif (diberi kesempatan menolong) akan cenderung membela si terhukum.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa jika kita menganggap diri kita helpless (tidak bisa melakukan apa-apa), kita akan cenderung bersikap pasif terhadap apa yang terjadi pada korban kekerasan. Inilah yang dinamakan bystander effect. Hal yang sama bisa terjadi saat kita melihat korban kecelakaan, lalu enggan menolong karena kita nggak bisa melakukan CPR. Inilah kerugian menjadi bystander.* Kita tidak mampu memutus rantai kekerasan terhadap korban karena kita terlalu mencemaskan apa yang tak mampu kita lakukan.
Membuka Empati bagi Korban Melalui Emotional Disclosure
Victim blaming adalah sikap yang semestinya kita hindari agar bullying dan kasus-kasus kekerasan seksual tidak menyebar kembali. Menurut penelitian tahun 2015, victim blaming bisa dihentikan apabila kita bisa melakukan emotional disclosure terhadap korban. Dengan kata lain, kita harus bisa membangun empati terhadap mereka yang mengalami kekerasan seksual, terutama bagi perempuan. Bukan hanya soal kasihan, tetapi juga menempatkan diri di posisi mereka untuk merasakan seperti apa hidup di bawah tekanan.
Namun, satu hal yang tak kalah penting: jangan pernah ragu untuk melapor! Apabila sulit bagi kita menolong korban secara langsung, setidaknya jangan menjadi bystander untuk mereka yang membutuhkan kita. Coba lihat-lihat, yuk! Mungkinkah di sekitar kalian ada teman atau kerabat yang membutuhkan pertolongan berupa pendampingan psikologis? Jika ada, segera hubungi psikolog untuk berkonsultasi, ya! Psikolog Riliv siap mendengarkan keluh kesahmu!
Referensi:
Fitri, A., Haekal, M., Almukarramah, A., & Sari, F. (2021). Sexual violence in Indonesian University: On students’ critical consciousness and agency. Gender Equality International Journal of Child and Gender Studies, 7, 153-167. https://doi.org/10.22373/equality.v7i2.9869.
Hafer, C. L., Rubel, A. N., & Drolet, C. E. (2019). Experimental evidence of subtle victim blame in the absence of explicit blame. PloS one, 14(12). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0227229
Harber, K. D., Podolski, P., & Williams, C. H. (2015). Emotional disclosure and victim blaming. Emotion (Washington, D.C.), 15(5), 603–614. https://doi.org/10.1037/emo0000056
Lerner, M.J., & Simmons, C.H. (1966). Observer’s reaction to the “innocent victim”: compassion or rejection? Journal of personality and social psychology, 4 2, 203-10.
Thacker, L.K. (2017). Rape Culture, Victim Blaming, and the Role of Media in the Criminal Justice System. Kentucky Journal of Undergraduate Scholarship, 1(1), 89-99.