Halo pembaca Riliv. Namaku Nana (bukan nama sebenarnya). Aku akan membagikan ceritaku bagaimana aku melawan mental illness. Aku dilahirkan sebagai anak yang pendiam namun serba ingin tahu, juga tomboy. Sejak dulu, teman – temanku kebanyakan laki – laki.
Masa kecilku bisa dibilang indah
Aku dan teman – temanku bermain bola, main kelereng, main gelembung sabun, naik ke pohon jambu, bersepeda, main petak umpet, dan masih banyak lagi. Masa kelas satu dan dua SD-ku masih berjalan normal. Aku masih bermain dengan sahabat laki – lakiku, Gerald dan Rey (bukan nama sebenaranya) dan aku merasa bahagia.
Rankingku selalu masuk tiga besar dan secara berturut – turut, di kelas dua dan tiga semester satu, aku rangking satu. Hingga akhirnya pada kelas tiga SD, aku berteman dengan salah satu teman perempuan di kelasku. Aku yang memang lebih senang menyendiri, sering membaca buku di belakang kelas ketika jam istirahat.
Si teman perempuan ini, sebut saja Mia (bukan nama sebenarnya) merasa kasihan karena aku sering menyendiri di belakang kelas. Pada awalnya dia sangat baik padaku. Dia mengajakku mengobrol dan jajan bareng. Tapi, ada sedikit masalah ketika aku berteman dengan teman yang lain. Dia sering marah ketika aku ngobrol dengan teman yang lain.
Aku mulai merasa tidak nyaman berteman dengan Mia
Dia mulai sering meminta uang jajanku setiap hari. Bahkan uang jajanku habis olehnya. Sialnya, ketika aku berteman dengan Mia, aku otomatis masuk ke lingkaran setan. Aku masuk ke grup perempuan yang terdiri dari teman – teman Mia. Grup tersebut terdiri dari lima orang termasuk aku.
Mia dan kawan – kawannya sering memusuhiku ketika aku melakukan hal yang salah. Misalnya, ketika aku satu kelompok dengan Mia pada untuk menggambarkan gambar yang telah dicontohkan oleh guru, aku dimusuhi karena tidak bisa menggambar. Gerald dan Rey sering memperhatikanku dari jauh. Mereka pun berpikir aku ditindas oleh Mia. Tentu saja aku merasa sangat terpuruk saat itu.
Tak mampu melawan mental illness, aku mulai tidak nyaman di sekolah
Aku mulai tertekan dan sering sakit. Seringkali ketika Mia dan kawan-kawannya memusuhiku aku jatuh sakit dan tidak masuk sekolah. Aku sering mencari alasan untuk tidak masuk sekolah agar tidak bertemu dengan Mia.
Dia menguasai semua yang aku punya, mulai dari pensil warna, buku paket, pensil, penghapus, dan pulpen. Aku sering merasa sedih dan murung. Aku merasa apa yang dilakukan olehku selalu salah. Setiap bulan pasti aku tidak masuk sekolah karena sakit. Aku sering menangis setiap hari sepulang sekolah. Aku sering menangis ketika aku dapat surat kaleng dari Mia dan ia mulai memusuhiku.
Perasaanku saat itu sangat gloomy. Bahkan aku tidak bisa bahagia ketika seharusnya aku bahagia. Setiap hari aku hanya murung dan menangis. Orang tuaku marah ketika aku menangis karena aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan.
Kelas empat hingga enam SD adalah masa terberat dalam hidupku saat itu
Ketika aku sering diintimidasi oleh Mia dan orang tuaku sering memarahiku karena aku sering menangis, aku berpikir untuk kabur dari rumah. Aku mengemasi baju seragam, mukena, sejadah, buku, dan Al – Qur’an. Aku pergi pagi hari di hari Minggu. Aku berjalan tanpa arah tujuan, tanpa membawa makanan dan uang saku.
Namun ada yang membuat aku tergerak untuk kembali ke rumah. Akhirnya aku kembali ke rumah ketika adzan Maghrib. Perasaan sedih terus menghantuiku. Aku merasa tidak berguna karena dimusuhi dan aku merasa tidak dihargai. Nilaiku pun mulai menurun. Aku pun tidak bisa jajan ketika istirahat karena uangku habis oleh Mia. Sebenarnya aku bisa jajan, tapi ketika Mia tidak masuk sekolah.
Aku sudah merasa tidak bahagia dengan hidupku. Aku pun berdoa kepada Tuhan untuk mencabut nyawaku. Aku sempat mencoba untuk membunuh diriku dengan menahan napas. Aku mencoba mengunci kamar mandi dan menahan napasku, tapi aku masih hidup. Aku mencoba masuk ke dalam kardus bekas kulas dan menahan napasku, aku pun masih hidup.
Aku pun mulai benci diriku sendiri
Aku menjadi orang yang rendah diri. Untungnya, ketika aku SMP, tidak ada intimidasi dari teman sehingga aku kembali merasa bebas dan kesehatan mentalku sedikit membaik. Aku pun mulai ikut organisasi di sekolah dan berteman dengan banyak orang.
Kesehatan mentalku memburuk ketika aku SMA. Sekelompok teman perempuan secara tidak langsung sering mem-bully–ku karena aku pendiam. Aku mulai merasa benci pada diriku lagi. Aku baru saja bebas dari belenggu dan kembali terperangkap dalam perasaan gloomy.
Namun, aku mulai berjuang agar mentalku kembali sehat. Aku harus meraih mimpiku. Aku pun mulai menata diri walaupun perasaanku hancur. Aku mencoba mulai menghargai diriku dalam hal sekecil apapun. Aku mulai menuliskan perasaanku di laptop agar meringankan beban perasaanku. Aku pun mulai mencari teman yang dapat membawaku ke arah yang positif.
Hingga saat ini, aku masih berjuang melawan mental illness
Masih sering merasa terpuruk. Namun, aku mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan padaku. Aku mulai berteman yang dengan orang – orang yang memberikan energi positif dan mulai mencari kegiatan positif seperti menjadi volunteer, mengajar anak – anak membaca.
Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Tuhan menyayangi kita dan kita pun harus menyayangi diri kita sendiri.