Asian hate – Belakangan ini, kamu pasti sering mendengar istilah Asian Hate. Istilah ini muncul seiring dengan meningkatnya tindakan kekerasan terhadap orang Asia, khususnya orang Asia-Amerika.
Apakah kamu penasaran bagaimana Asian Hate bisa terjadi? Tindakan kekerasan apa saja yang dialami orang Amerika keturunan Asia? Lalu, mengapa ada tagar #StopAsianHate? Apa itu? Lantas, apa hubungan Asian Hate dengan prasangka?
Tenang, pertanyaanmu akan segera terjawab. Simak artikel ini untuk mengetahui info lebih lanjut mengenai Asian Hate!
Bagaimana Asian Hate bermula?
Sebenarnya, Asian Hate sudah ada jauh sebelum pandemi Covid-19. Sentimen anti-Asia sudah ada sejak abad ke-19. Saat itu, orang keturunan Asia di Amerika dianggap menjijikkan. Hingga muncul Undang-Undang Pengecualian China yang menguatkan perlakuan rasisme terhadap keturunan Asia-Amerika.
Kemudian di tahun 2020, pandemi muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok. Hal tersebut membuat warga Asia, terutama China disalahkan. Tindakan tak menyenangkan terhadap keturunan Asia-Amerika semakin meningkat. Apalagi sejak mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut virus Covid-19 sebagai virus China dan Kung Flu.
Semakin hari, kasus Asian Hate semakin meluas
Setiap hari, kasus Asian Hate di Amerika Serikat terus meluas. Sejak Maret 2020 hingga Juni 2021, tercatat ada sekitar 9.000 tindakan rasialisme yang terjadi. Insiden yang terjadi pun beragam. Mulai dari tindakan verbal seperti cacian dan ejekan, hingga tindakan fisik seperti diludahi, pemukulan, bahkan penembakan.
Kasus paling parah merupakan penembakan yang dilakukan oleh Robert Aaron Long di panti pijat di kota Atlanta, 16 Maret 2021 silam. Delapan orang tewas dalam insiden tersebut. Enam di antaranya merupakan wanita keturunan Asia.
Sayangnya, tak semua korban bisa melapor
Meski sering mengalami perlakuan tak menyenangkan, tidak semua korban melaporkan perbuatan tersebut ke polisi. Penelitian dari AAPI menunjukkan bahwa korban lebih cenderung melaporkan insiden yang dialami ke komunitas orang Asia-Amerika daripada ke polisi. Halangan budaya dan bahasa, rasa takut akan status imigrasi, trauma, perasaan ‘tidak enakan’, serta ketidakpercayaan kepada polisi menjadi alasan di balik keengganan untuk melapor.
Tak sedikit orang Asia-Amerika yang merasa ragu untuk mencari bantuan dari pihak berwenang. Sebab mereka berpikir polisi tidak akan menyelesaikan masalah. Melapor ke polisi hanya menimbulkan masalah baru, sebab sering kali polisi tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama jika tindakan rasisme yang diterima adalah tindakan verbal yang sulit dibuktikan.
#StopAsianHate: Kampanye anti kekerasan bagi orang Asia
Stop Asian Hate merupakan slogan yang digunakan untuk menanggapi tindakan kekerasan terhadap orang Asia-Amerika yang semakin sulit dibendung.
Sepanjang 2021, berbagai aksi Stop Asian Hate digelar di seluruh Amerika Serikat. Bahkan, aksi juga berlangsung di belahan dunia lainnya. Tak hanya itu, dukungan terhadap orang Asia juga meluas di media sosial. Tagar #StopAsianHate menjadi tren di Twitter. Tak ketinggalan, BTS juga ikut meramaikan dukungan dengan mentwit pengalaman diskriminasi yang pernah mereka alami sebagai orang Asia.
Asian Hate tidak akan terjadi jika masyarakat tak percaya prasangka
Susie Lan Cassel, seorang profesor yang fokus pada sejarah China-Amerika, mengatakan bahwa orang Asia-Amerika tak pernah benar-benar dianggap sebagai orang Amerika. Anggapan tersebut muncul dari prasangka bahwa dahulu mereka dianggap sebagai orang yang menjijikkan, pembawa penyakit, dan hiperseks, khususnya wanita Asia.
Prasangka tersebut menimbulkan stereotip, bahwa seluruh orang Asia-Amerika menjijikkan dan membawa penyakit. Alhasil muncullah xenofobia, yaitu kebencian terhadap orang asing.
Saat ini, pandangan terhadap orang Asia-Amerika agak berubah. Mereka dianggap sebagai kaum terpelajar dan pekerja keras yang kebal terhadap rasisme. Padahal, tak sedikit orang Asia-Amerika yang menerima perlakuan rasis. Namun saat mereka mencoba membicarakan perlakuan yang diterima, orang-orang akan mengabaikannya.
Asian Hate tidak akan terjadi jika masyarakat tak memercayai prasangka. Sebab, prasangka hanyalah pemikiran tak berdasar. Prasangka terhadap suatu kelompok tertentu akan membuat pandanganmu terhadap mereka bias. Belum tentu prasangka yang beredar itu benar, bukan?
Selama kamu masih percaya prasangka, tindakan rasisme akan terus berlangsung. Karena itulah, mulai dari sekarang, ayo berhenti memandang sebuah kelompok hanya dari satu sisi. Ayo hidup indah dalam perbedaan!
Riliv bekerjasama dengan Indika Foundation mendukung masa depan Indonesia yang damai, inklusif dan memiliki semangat toleransi. Tujuan ini akan dicapai melalui pemberian pendidikan karakter yang mengajarkan kemampuan bernalar kritis, menghormati perbedaan, mengasah empati dan kecerdasan sosial emosional.
Riliv dan Indika Foundation memiliki program kerjasama #MakeItEQual yang bisa Anda akses sebagai berikut:
- 10000 kode voucher free meditasi dengan menggunakan kode voucher makeitequal
- 100 artikel kecerdasan emosional dan mindfulness
- 15 modul dan e-book kecerdasan emosional dan mindfulness
- 3 workshop #MakeItEQual
Informasi lebih lengkap mengenai program #MakeItEQual silahkan kunjungi laman RILIV MAKE IT EQUAL untuk mengakses seluruh fasilitas dari kerjasama di atas!
Referensi:
- Abrams, Zara. (2021). The mental health impact of anti-Asian racism. apa.org
- Deng, Grace. (2021). Why aren’t Asian Americans in Ohio reporting hate incidents amid a national surge? The answer is complicated. dispatch.com
- Hiro, Brian. (2021). Ask the Expert: Combating Asian Hate and Stereotypes. news.csusm.edu
- Martin & Yoon. (2021). From BTS to Britain, Anti-Asian Racism Gets New Attention Outside the U.S. wsj.com
- stopaapihate.org. Stop APPI Hate
Ditulis oleh Syifa Salsabila Ramadhani
Baca Juga:
Self Loathing: Waspadai 5 Penyebab Membenci Diri Sendiri