Hoax di Sosial Media – Malam minggu (19/08) lalu, Riliv bersama Siberkreasi mengadakan talkshow online terakhir yang merupakan rangkaian program #JadiLebihBaik dalam bermain sosial media melalui pemberdayaan kesehatan mental. Acara ini diselenggarakan sebagai bagian dari upaya peningkatan literasi digital Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam program Makin Cakap Digital. Mengangkat topik hoax di sosial media, peserta diajak untuk memahami akar permasalahan dengan perspektif sebagai content creator yang turut berkontribusi terhadap penyebaran berita di sosial media. Seperti apa insight-nya? Yuk, baca sampai habis!
Hitam Putih Dunia Kreatif
Siapa sih, yang bisa menjamin kebenaran dari konten yang kamu temukan di sosial media dan internet? Pastinya kreator sendiri bukan?
Sayangnya, banyak yang masih mengesampingkan hal ini dan belum menganggap serius dampak dari penyebaran konten-konten hoax di sosial media dalam kehidupan sehari-hari. Adanya tuntuntan virality dan engagement demi tujuan pribadi, mungkin menjadi salah satu alasan umum yang kita temukan. Bahkan sudah seperti rahasia bersama, kita juga dengan sengaja membiarkan konten-konten tidak bertanggung jawab itu mendapatkan panggung dengan like, komen, ataupun subscribed.
Kalau sudah begini, apa yang seharusnya kamu lakukan ?
Sebagai content creator, Wantja mengakui bahwa ada beberapa kreator yang memang dengan sengaja menciptakan konten ‘palsu’ bahkan berdampak pada kerugian immateril bagi para talent. Seperti konten-konten tanya jawab dimana beberapa talent sengaja diminta untuk memberikan jawaban yang memancing perdebatan masyarakat. Padahal, hal ini mampu menimbulkan kesalahan persepsi dimana tidak sedikit talent mendapatkan ujaran kebencian karena karakter yang dibentuk dengan sengaja melalui konten tersebut. Meski begitu Wantja menenkankan bahwa tidak semua kreator menerapkan hal yang sama. Masih banyak kreator yang mampu mengolah kreativitas namun tetap berhasil mencapai tujuan pribadinya.
Karenanya Wantja menekankan pentingnya untuk memiliki perasaan tanggung jawab dan batasan yang ditetapkan diri sendiri dalam proses kreatif setiap kreator. Mengingat besarnya dampak yang mungkin bisa diakibatkan, Wantja membagikan pengalamannya dengan rutin melakukan riset terlebih dahulu dan menambahkan sumber ataupun penegas apakah konten yang kita bagikan adalah fakta atau opini.
Sedangkan untuk kita para penikmat konten atau pengguna aktif sosial media, perlu adanya kesadaran yang penuh dalam bermain sosial media sehingga tidak mudah terbawa arus. Dengan begitu kita mampu berpikir kritis dalam menyerap informasi.
Kenapa? karena dengan mengonsumsi berita hoax nyatanya bisa berdampak pada kesehatan mental kita sendiri.
Dampak Psikologis Hoax di Sosial Media
Seperti yang dijelaskan oleh Amira Eka Pratiwi, M.Psi., Psikolog dalam sesi talkshow kemarin, secara naluriah kita akan lebih menyukai berita bernada negatif. Dalam psikologi hal ini dikenal sebagai konsep negativity bias dimana saat kita menemukan konten dengan nada negatif kita cenderung lebih mempercayainya sebagai insting untuk melindungi diri. Contohnya saja ketika berada pada masa pandemi, banyak konten-konten negatif yang berdampak pada kepanikan massa seperti panic buying. Akibatnya terjadi kelangkaan masker, tabung oksigen, dan beberapa bahan pokok lainnya sebagai efek dari insting setiap individu untuk melindungi diri.
Oleh karena itu, Amira Eka Pratiwi, M.Psi., Psikolog menyarankan kepada para peserta pentingnya untuk menghindari fear mogering atau pendekatan rasa takut sebagai strategi pesan persuasif bagi para kreator. Mengingat dampak psikologis yang terjadi pada tiap individu bisa berbeda-beda apabila sengaja atau tanpa sengaja mengonsumsi berita hoax di sosial media.
Sedangkan bagi para pengguna sosial media, kita perlu menyadari bahwa adanya kemudahan akses internet mengakibatkan penyebaran hoax semakin cepat. Karena itu dirinya menyarankan pentingnya untuk bisa menerapkan slow thinking dalam mengonsumsi informasi. Hal ini merupakan cara berpikir dengan mengambil jeda dari pertukaran informasi yang cepat dengan memberikan waktu bagi otak untuk berpikir kritis serta memahami kondisi emosi kita saat ini seperti apa untuk menilai kesiapan dalam mencerna emosi. Sebab persepsi kita sangat mudah dipengaruhi oleh emosi. Dan kita cenderung percaya pada hal-hal yang lebih mudah ditangkap secara emosional dibandingkan rasional.
Lalu Apakah Kita Butuh Detox Sosial Media untuk Menghindari Hoax?
Pada dasarnya, setiap orang punya batasan dan efek samping yang berbeda dari penggunaan sosial media. Karena itu, perlu pengetahuan mendalam pada diri sendiri terkait efek samping apa yang kita rasakan saat bermain sosial media. Sebagai contoh, Amira Eka Pratiwi, M.Psi., Psikolog menjelaskan bahwa hal sederhana yang bisa kita terapkan adalah memperhatikan emosi apa yang muncul jika kita bermain sosial media.
Jika emosi yang terasa adalah perasaan senang, hal ini dikarenakan karena otak kita memproduksi hormon dopamine dimana perasaan senang yang ditimbulkan itu sangat intens dan cenderung berlangsung singkat atau mudah hilang. Itu kenapa saat kita mencoba untuk mengurangi intensitas bermain sosial media (detox), mood kita bisa turun drastis dan mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Oleh karenanya, Amira Eka Pratiwi, M.Psi., Psikolog lebih menyarankan dibanding untuk detox sosial media secara drastis, ada baiknya kita memiliki aktivitas pengganti seperti hobi baru yang mampu memproduksi hormon serotonin. Yaitu hormon baik yang juga bisa menghasilkan perasaan senang namun dalam jangka waktu lama dibandingkan dopamine.
Dengan begitu, kita akan mengembalikan fungsi otak untuk melatih produksi hormon dopamine dan serotonin secara seimbang. Hal ini juga membantu kamu untuk menghindari kecenderungan gejala kecanduan bermain sosial media sehingga kemungkinan terpapar berita hoax secara tidak langsung juga bisa terhindari.
Jika kamu sudah mencoba berbagai cara dan masih sering merasakan kecanduan sosial media atau lebih parahnya terdampak masalah psikologis akibat paparan berita hoax di sosial media yang menggau aktivitas harian, jangan ragu untuk konselingkan hal ini dengan psikolog profesional bersama Riliv.