Ditulis oleh Yuri Mahirta Sari, diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq, M.Psi., Psikolog
Bertengkar dengan Atasan – Bertengkar dengan atasan seringkali menjadi alasan utama seseorang memilih untuk resign dari pekerjaannya. Fakta bahwa kamu sedang membaca artikel ini, mungkin karena kamu sedang mengalami hal yang sama, bukan? Untuk itu, Riliv akan membantumu agar kamu tidak perlu resign terutama jika kamu bekerja di bidang yang sudah kamu sukai. Yuk, simak tulisan di bawah ini!
Bertengkar dengan Atasan Itu Normal, Nggak, Sih?
Jawabannya, jelas normal. Dalam setting profesional, ide yang bertentangan satu sama lain bisa jadi penyebab kamu bertengkar dengan atasan maupun karyawan lainnya. Selain itu, konflik atau pertengkaran dalam organisasi dapat didorong juga oleh kepribadian yang saling bertolak belakang, atau perspektif yang berbeda.
Namun, nggak semua konflik berakhir negatif, karena konsekuensi positif yang diakibatkan konflik dapat juga terjadi. Namun, tetap saja, konsekuensi positif dari konflik tidak serta merta didapatkan. Harus melalui proses yang panjang bila konflik tidak ingin menghambat kinerja dan teamwork dalam organisasi. Di samping itu, semua orang dalam organisasi harus terlibat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi, baik itu antar atasan dan karyawan, sesama atasan, maupun sesama karyawan.
Tips Mengelola Emosi Saat Bertengkar dengan Atasan
Ketika pertengkaran tidak terhindarkan lagi, akan sulit bagi kita untuk mundur, karena dalam posisi berkonflik, stimulus di hadapan kita sering menjadi pendorong untuk melepaskan emosi negatif. Sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk bereaksi terhadap situasi tertentu dan mempertahankan dirinya saat sesuatu mengancamnya. Maka dari itu, kunci utama dari menghadapi pertengkaran dengan atasan adalah memanajemen emosi. Bagaimana tepatnya pengelolaan emosi yang benar saat konflik terjadi? Yuk, simak bersama!
1. Evaluasi dirimu terlebih dahulu
Dalam bekerja, pintar dalam bidang saja tidak cukup. Kamu butuh menguasai emotional intelligence yang berfungsi agar kamu dapat belajar memanajemen konflik, terutama dengan atasanmu. Dengan mempelajari emotional intelligence, kamu juga akan belajar self-awareness atau kesadaran diri. Secara umum, pengertian self-awareness adalah persepsi yang jelas tentang kepribadian kamu, termasuk kekuatan, kelemahan, pemikiran, keyakinan, dan motivasimu.
Apabila kamu sudah memiliki kesadaran terhadap dirimu sendiri, kamu bisa dengan mudah mengevaluasi dirimu supaya lebih paham dan tidak terkecoh dengan situasi atau seseorang. Sehingga, ketika mendapati sebuah konflik dengan siapapun, termasuk atasan, kamu akan melakukan evaluasi diri terlebih dahulu, dan menghindari melakukan hal yang merugikan.
2. Mengenali dan membaca emosi orang lain dengan hati-hati
Konflik bisa memicu emosi negatif yang sebenarnya bisa dihindari. Ketika berada dalam sebuah konflik, kamu mempunyai pilihan untuk membiarkan emosimu mempengaruhi setiap kata atau keputusan, atau kamu bisa melatih emotional intelligence dengan cara yang sudah dibahas pada poin pertama.
Selain itu, berusahalah untuk melihat atasanmu sebagai manusia, bukan dengan jabatannya sebagai atasan di kantormu. Carilah informasi seperti apa yang membuatnya merasa tidak nyaman, apa yang dia butuhkan, dan cobalah untuk menjadi solutif.
3. Luangkan waktu untuk menganalisis akar masalah
Selain evaluasi diri, cobalah untuk membuat list pertanyaan, seperti, apa yang keliru? Kenapa konflik bisa terjadi? Apakah konflik tersebut hanya dari sisi atasan atau bagaimana? List pertanyaan tadi bisa membantumu untuk melihat suatu masalah dengan gamblang. Kamu bisa meminta orang lain yang terpercaya guna membantumu mendapat sudut pandang baru.
Ketika kamu sudah menemukan akar permasalahannya, kamu bisa membuat keputusan untuk tetap lanjut bekerja di kantormu atau pindah di tempat lain. Memang seperti jalan buntu, tapi atasan bisa membuat sebuah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat, terlebih ketika mereka sudah punya standar untuk pegawainya.
4. Buat jadwal untuk bertemu dan sediakan beberapa opsi solusi
Pengelolaan emosi dalam konflik tidak hanya dari diri sendiri, tapi juga orang lain yang berselisih dengan kita. Maka dari itu, daripada kamu harus merasa risih ketika harus bertemu dengan atasanmu karena masalah belum selesai, berinisiatiflah untuk mengajaknya bertemu terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, konflik antar kedua belah pihak akan mereda jika ada keinginan untuk memperbaiki keadaan, bukan? Jadi, dengarkanlah dan minta maaflah meski kamu bukan yang memicu konflik. Setelah itu, cobalah untuk menceritakan pandanganmu terhadap apa yang terjadi.
Meminta maaf dan mendengarkan tidak hanya dilakukan jika kamu yang salah, ya! Sikap itu akan menunjukkan bahwa kamu sedang berusaha untuk bertanggungjawab dan memilih untuk segera menyelesaikan konflik.
Setelah itu, lanjutkan poin yang kamu sampaikan dengan solusi ya. Apabila kamu tidak memberikan opsi solusi, jatuhnya nanti justru terkesan complain dan menyebalkan, bahkan bisa menyebabkan argumen.
5. Pahamilah konflik politik di perusahaanmu
Tips terakhir ini berkaitan dengan upaya preventif, karena lingkungan juga bisa menjadi pemicu emosi negatif kita. Ada kalanya lingkungan kerja menjadi toxic karena melindungi yang sudah jelas melakukan kesalahan dan membuat konflik terjadi. Sehingga, kamu perlu memahami kondisi politik di perusahaan, agar tidak keliru mengambil keputusan yang justru akan menjadi boomerang bagi dirimu sendiri.
Pertimbangkan dirimu sebelum kamu memutuskan untuk berdiskusi dengan atasanmu langsung. Bisa jadi, keputusan tadi hanya akan membuatmu semakin tidak nyaman untuk bekerja dan menjadi bahan gosip karyawan lain.
5 Gaya Mengelola Pertengkaran Antar Karyawan yang Wajib HRD Ketahui
Itu tadi 5 cara menghadapi pertengkaran dengan atasan jika dilihat dari sisi emosional karyawan. Namun, tak cukup segitu saja, lho! Mengingat pengaruh konflik yang begitu kuat terhadap organisasi, kita akan membutuhkan pengelolaan konflik guna menengahi pihak-pihak yang berselisih, dan kemudian menghasilkan outcome yang memuaskan bagi kepentingan bersama.
Menurut Ronquillo, et. al. (2021), beberapa gaya yang bisa digunakan oleh human resource department (HRD) dalam perusahaan untuk mengelola konflik, antara lain:
- Penghindaran/avoiding. Jika sebuah konflik sudah tereskalasi, ada baiknya tidak menggunakan gaya ini. Bagaimanapun juga, mengabaikan konflik adalah usaha meredam intensitas konflik. Namun, jika dibiarkan terus menerus, kedua belah pihak yang berkonflik bisa saling terugikan.
- Kompetisi. Untuk gaya mengelola konflik ini, satu pihak akan menang, dan satu pihak akan kalah. Memang akan menyelesaikan konflik, tetapi tidak akan mendukung pendekatan terpadu untuk memecahkan masalah.
- Akomodasi. Dalam gaya manajemen konflik ini, satu pihak menang dan satu pihak kalah. Satu pendapat diterima, dan pendapat lainnya hilang. Resolusi akan menguntungkan satu orang daripada semua yang terlibat. Bagi orang yang mengelola konflik, ini menjadi titik yang menyakitkan dan menyebabkan kebencian. Meskipun dapat menyelesaikan konflik, bisa jadi banyak pihak yang terlibat merasa kurang puas dengan outcome-nya.
- Kompromi. Meskipun kompromi berarti kedua pihak yang berkonflik saling mengalah, tidak ada pihak yang akan sepenuhnya puas. Hasilnya akan menimbulkan kebencian di antara mereka yang terlibat. Dalam resolusi, masing-masing pihak mengorbankan sebagian dari solusinya. Sebagian besar resolusi dapat diabaikan, dan hasil terbaik mungkin tidak berlaku.
- Kolaborasi. Menurut Ronquillo, ini adalah penyelesaian konflik yang paling adem, karena semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk sebuah penyelesaian. Mereka juga diajak mendengarkan secara aktif, berkomunikasi, dan membuka pikiran untuk menghasilkan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak.
Selain menggunakan 5 gaya di atas, ada baiknya HRD juga menyediakan fasilitas employee assistance program. Gunanya untuk membantu karyawan yang bersangkutan bercerita tentang permasalahannya dan mendapatkan dukungan moral. Bagaimanapun juga, konflik di antara rekan kerja dapat berpengaruh pada kinerja karyawan yang terlibat. Oleh karena itu, melalui employee assistance program, diharapkan karyawan memiliki safe space untuk lebih terbuka dengan dirinya sendiri dan mendapatkan saran dari profesional terkait problem yang dialaminya, sehingga bisa kembali produktif.
Penutup
Nah, itu dia beberapa hal yang perlu kamu lakukan saat berkonflik dengan atasan. Lalu, bagaimana jika perselisihan dengan atasan sudah sampai ke tingkat personal, sehingga mengganggu kesehatan mental kita? Nah, itu artinya, sudah waktunya kamu menghubungi profesional! Konsultasikan dengan ahli psikologi industri dan organisasi yang bisa membantumu dalam mengelola emosi dan perilaku saat berkonflik dengan atasan. Yuk, unduh Riliv sekarang agar kamu bisa konsultasi dengan mudah dan cepat!
Referensi:
- McKee, A. (2014). When Fighting with Your Boss, Protect Yourself First. Retrieved from Harvard Business Review: https://hbr.org/2014/07/when-fighting-with-your-boss-protect-yourself-first
- Overton, A. R., & Lowry, A. C. (2013). Conflict management: difficult conversations with difficult people. Clinics in colon and rectal surgery, 26(4), 259–264. https://doi.org/10.1055/s-0033-1356728
- Ronquillo, Y., Ellis, V. L., & Toney-Butler, T. J. (2022). Conflict Management. In StatPearls. StatPearls Publishing.