Masih segar di ingatanku peristiwa Minggu, 13 Mei 2018 tentang ledakan bom di Surabaya. Bagi umat Kristiani, hari Minggu terasa syahdu. Namun kali ini, tanpa melihat langit abu-abu menggantung, aku dapat merasakan ini adalah Minggu paling kelabu. Aku dan keluargaku berencana berangkat menuju sebuah gereja yang terletak di area Darmo. Namun sebelum keluar rumah, budeku yang berdomisili di Kediri tiba-tiba menelpon kami dan menanyakan keadaan kami. Aku, ibu dan bapak sontak bingung karena merasa tidak ada yang salah dengan Surabaya pagi itu. Ternyata sudah ramai di televisi berita ledakan bom di gereja Katolik Santa Maria di daerah Ngagel. Yang jaraknya cuma sekitar 3 km dari kampus. Ada sedikit perasaan lega karena aku tidak jadi mengikuti sebuah seminar pada tanggal yang sama di kampus. Namun kekalutanku bertambah mengingat banyak temanku juga beribadah di sana. Puji Tuhan, tak satupun dari temanku terlibat dalam peristiwa biadab tersebut.
Sempat bimbang, apakah kami jadi beribadah di area Darmo karena adanya kabar susulan bahwa ada peledakkan di 2 gereja Kristen. Dengan kepasrahan pada Yang Maha Kuasa dan tetap percaya bahwa Surabaya aman sentosa, kami pun berangkat. Tak disangka semenit sebelum mulai ibadah aku membaca di grup Katolik kampus bahwa telah ditemukan 4 bom yang sudah berhasil dijinakkan. Kalian tahu? Aku merasa semakin deket sama kematian, Guys. Bisa jadi masih ada bom lain yang aktif bukan? I felt like I will be ready for death. But, I’m wrong. Ibadah bisa berlangsung lancar sampai penutup namun petugas mengharuskan kami segera keluar karena gereja harus steril. Aku dan umat lainnya tidak keluar melalui dalam gereja untuk menuju ke parkiran namun melalui jalan raya yang telah ditutup aksesnya dari pengguna jalan. Tinggalah kami para pejalan dan sejumlah polisi dengan senjata api di dada.
Ramai di sosial media berita mengenai peristiwa bom di Surabaya yang dalam semalam bertambah menjadi 5 titik peledakkan. Mulai dari berita portal online, twitter, instagram muncul semua kabar dari korban jiwa sampai kedatangan Bu Risma yang bertolak dari Madinah. Kota bonek mulai mengampanyekan hastag #kamitidaktakut juga #Suroboyowani. Seharusnya aku lebih kuat. Tapi, enggak kawan. Aku takut sekali. Jika mengingat teori kebutuhan Maslow, hirarki kedua dari lima tingkatan sedang dalam masalah. Aku merasa keamanan dan keselamatanku terancam saat itu. Kegalauanku atas kebutuhanku di hirarki nomor dua membuatku memenuhi hirarki kebutuhan yang pertama yaitu kebutuhan fisik. Aku ingat hari itu aku makan banyak sekali, minum beberapa botol air dingin dan tidur siang. Sesuatu yang jarang aku lakukan setelah kuliah. Ku kira setelah bangun, semua sedihku akan hilang. Ternyata masih ramai di televisi berita hari itu, mengingatkanku sekali lagi bahwa gedung yang lebur tengah teriring dengan hati yang hancur.
Seperti halnya tingkatan kebutuhan Maslow yang tidak bisa didapatkan secara urut, aku mendapat banyak dukungan dari keluarga, sahabat dan relasi yang berempati kepadaku. Tingkatan ketiga yaitu kebutuhan akan cinta dapat sedikit demi sedikit memupuk rasa amanku. Mengingatkanku sedikit, bahwa rasa aman bukan hanya soal keadaan tapi juga rasa kekeluargaan. Ketika menulis artikel ini, aku sudah merasa aman. Tapi teruntuk kalian yang membaca kisahku ini dan mungkin kebetulan kalian adalah salah satu dari sahabat atau keluarga saksi mata, korban maupun aparat keamanan yang terlibat langsung dalam peristiwa duka ini, aku berharap kalian terus memberi dukungan. Liputi mereka dengan kehangatan rasa cinta hingga trauma menghilang perlahan.
Dapatkan Bantuan Psikolog Sekarang
Referensi:
https://www.simplypsychology.org/maslow
Aurelia Dias, still trying to be fearless in the pursuit of what sets her soul on fire. She likes to have a deep talk with random person through IG especially about healthy life.
Discussion about this post